NOVA.id - Sejak meninggalnya Ani Yudhoyono pada hari Sabtu (1/6) lalu, sang suami, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tampak masih merasakan duka yang mendalam.
Ani Yudhoyono, kekasih hati yang menemani SBY selama 43 tahun pernikahan mereka, meninggal dunia karena penyakit kanker darah yang dideritanya.
Selama 5 hari, kita membaca dan melihat bagaimana SBY sebagai suami dan pria yang ditinggal mati pasangan tersayangnya, tak kuasa menahan tangis dan kesedihan.
Sampai-sampai hari ini, di hari pertama Lebaran, SBY terpaksa tidak bisa menjalankan sholat Ied karena kondisinya yang menurut Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Cikeas, Bogor pada wartawan, kurang sehat.
Baca Juga: Sepulang Pemakaman Ani Yudhoyono, SBY Tak Berhenti Menangis: Sedih Sekali Rasanya!
Kita jadi ingat ucapan SBY usai pemakaman yang diabadikan oleh Jansen Sitindaon dalam akun Instagramnya, “Ini Lebaran pertama saya tanpa Ibu Ani. Sedih sekali rasanya.”
Berduka itu normal. Berduka adalah respons yang sehat terhadap kehilangan, termasuk dalam diri laki-laki.
Hanya saja, dunia sosial telah menciptakan gambaran ideal bahwa laki-laki yang semacam itu adalah laki-laki yang tak mampu mengendalikan emosinya. Cengeng.
Kunci dari kesehatan jiwa yang lebih baik, adalah menormalkan para pria berduka dan memberi mereka ruang untuk bisa membicarakannya tanpa takut dipermalukan atau dianggap “kurang laki”.
Jangan dulu tergesa-gesa menutup artikel ini, karena cerita pasangan Feldman akan membantu kita memahami beberapa perbedaan dalam cara pria dan wanita berduka saat ditinggal mati pasangannya.
Cerita Sam Feldman
Sebuah artikel di The New York Times menulis kisah yang kurang lebih sama, tentang pasangan Sam dan Gretchen Feldman.
Tahun 2008, Ny. Feldman meninggal karena kanker, meninggalkan sang suami dan pernikahan 53 tahun.
Teman-teman Sam Feldman mengenalnya sebagai pribadi yang riang, tapi usia ditinggal sang istri, dia mengakui ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun.
Baca Juga: Selalu Berdampingan dengan Ani Yudhoyono, SBY: Sebelah Saya Selalu Ada Ibu, Sekarang Kosong
“Kecuali dua anak perempuanku, aku tak bisa berpaling ke siapa-siapa lagi,” katanya.
“Menurutku, perempuan tidak bisa memahami kepedihanku. Dan jujur saja, aku datang dari generasi yang merasa kurang nyaman menunjukkan kesedihan dan kerapuhan kami ke lawan jenis,” jelas Sam.
Oke, di sini kita mulai melihat kesamaan SBY dan Sam Feldman, kan?
SBY dan Sam sama-sama pria yang kehilangan pasangan yang dicintainya, juga karena kanker.
SBY dan Sam sama-sama sudah menjalani pernikahan puluhan tahun.
Dan…Penelitian terus menunjukkan bukti bahwa SBY dan Sam jadi contoh mengapa laki-laki dan perempuan berduka dengan cara yang berbeda.
Bagi Duda, Rasanya Seperti “Dipotong”
Di Amerika Serikat, apa yang dialami Sam (dan di dalam negeri, SBY), memicu lahirnya kelompok-kelompok kedukaan untuk pria, yang sebagian besar terhubung dengan rumah sakit dan pusat-pusat perawatan.
Bagi laki-laki, ditinggal mati pasangan tak hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga psikis.
Dalam sebuah paper dalam The Review of General Psychology terbitan tahun 2001, para psikolog di Universitas Utrecth, Belanda, mendapati bahwa para duda memiliki tingkat kemungkinan yang tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan jiwa dan fisik, disabilitas, dan kematian daripada janda.
Baca Juga: Menjanda, Ini Cara Tepat Sampaikan Status Single Parent ke Anak
Oke, sekarang coba ingat-ingat sosok perempuan yang Anda kenal, yang pernah atau sedang menjalani kedukaan karena suaminya meninggal.
Umumnya para janda akan sering bicara soal perasaan ditinggalkan, tapi para duda cenderung mengalami kehilangan layaknya “pemotongan”.
Seakan-akan mereka kehilangan sesuatu yang mengatur dan menyatukan dirinya.
Harvard Bereavement Study (studi kedukaan yang dilakukan Harvard) melakukan investigasi di akhir tahun ’60-an soal duka karena kehilangan pasangan.
Dari investigasi tersebut ditemukan bahwa para duda melihat kematian istri sebagai tragedi dari berbagai sisi.
Baca Juga: Rasyid Rajasa Ungkap Kepedihan Hatinya Setelah 1 Tahun Ditinggal Sang Istri
Sebab mereka kehilangan sosok yang memberikan rasa proteksi, dukungan, dan kenyamanan.
Para peneliti mencatat bahwa para pria dalam studi ini amat mengandalkan para istri untuk mengelola kehidupan domestik mereka, mulai dari tugas-tugas rumah tangga sampai membesarkan anak.
Duka para pria seperti campuran yang menggumpal, jelas Dr. Michael Caserta, ketua Center for Healthy Aging di Universitas Utah, Amerika Serikat saat dihubungi The New York Times via email.
Sedih ini “menggumpal” karena selain kehilangan orang yang paling disayang, mereka juga tidak bisa menyatakan perasaan sedih yang mendalam itu.
Lalu, bagaimana soal kemampuan laki-laki untuk move on?
Laki-Laki Juga Bisa Susah Move On
Ada juga perbedaan dalam lamanya laki-laki berduka dibanding perempuan, dan lamanya mereka butuh waktu untuk move on.
“Dulu kita mengira laki-laki sembuh dari kedukaan dengan cepat, sedangkan perempuan baru bisa melewatinya setelah waktu yang cukup lama,” kata George A. Bonanno, seorang profesor psikologi klinis di Universitas Columbia, New York.
Kata Dr. Bonnanno, bagi laki-laki yang seringkali mencari penyelesaian “secepat kilat”, mengarungi gelombang-gelombang kesedihan karena kehilangan tapi di saat yang sama juga berharap akan masa depan yang lebih baik, jadi hal yang membuat mereka frustrasi.
Baca Juga: Dylan Sahara Meninggal Dunia, Sifat Asli Sang Istri Ini Buat Ifan Seventeen Susah Move On
Perempuan Bicara, Laki-Laki Berbuat
Sherry Schachter, direktur pelayanan kedukaan di Rumah Sakit Calvary di Bronx sekaligus ahli kedukaan selama 25 tahun, menambahkan penjelasan.
“Kalau perempuan berduka secara alamiah dengan terbuka menyatakan perasaannya; laki-laki adalah penduka yang ‘instrumental’.
“Mereka tidak nyaman membicarakan perasaannya, dan mereka memilih untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi kepedihan hatinya.”
Baca Juga: Tak Pernah Bicarakan Kematian Putri Diana, Pangeran Harry Pendam Sendiri Kesedihannya
Seperti Sam Feldman tadi, yang akhirnya memulai sebuah kelompok kedukaan yang anggotanya bertemu tiap dua minggu sekali.
Dalam salah satu pertemuan, seorang pensiunan nelayan berusia 85 tahun mulai bicara tentang perasaannya ditinggal istri dari 54 tahun pernikahan dengan suara yang pelan dan wajah tertunduk.
“Saya tidak tahu soal kondisi kalian,” kata si pensiunan nelayan sambil melirik cepat ke arah peserta pria lainnya.
“Tapi buat saya, rasanya bukan makin mudah, tapi makin sulit,” dan peserta lainnya mengangguk setuju.
Kadang yang dibutuhkan atau diinginkan seorang laki-laki yang berduka, hanyalah telinga yang bersedia mendengar.
Dengan lebih memahami bagaimana laki-laki berduka, semoga kita sebagai perempuan bisa juga lebih paham bagaimana membantu mereka.
They’re human after all.
Doa kami untuk Pak SBY agar tetap sehat dan diberi kekuatan untuk melewati kedukaannya terhadap Bu Ani Yudhoyono.
Mungkin curhat dengan Pak Habibie bisa membantu, Pak? (*)