NOVA.id - Kalau negosiasi naik gaji di perusahaan sekarang tak mungkin dilakukan, mengapa tak mulai lirik perusahaan lain saja?
Berbicara soal gaji, barangkali sampai di sini kita telah bisa menyepakati satu hal, bahwa kenaikan gaji selama berkarier memanglah diperlukan.
Masalahnya, bila kita telah berupaya melakukan negosiasi gaji di tempat kerja sekarang namun tak dikabulkan, bagaimana kita bisa mewujudkan impian kita untuk naik gaji?
Padahal, bekerja di perusahaan ini saja sudah mau lebih dari dua tahun.
Bukankah sudah layak dipertimbangkan untuk naik gaji?
Oh, tenang! Mungkin inilah saatnya kita melirik opsi menjadi si kutu loncat.
Baca Juga: Bikin Bangga, Ini Momen Rapper Rich Brian Bertemu Presiden Jokowi di Istana BogorBaca Juga: Bikin Bangga, Ini Momen Rapper Rich Brian Bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor
Eh, bukannya bikin reputasi buruk?
Tunggu dulu.
Banyaknya peluang dan munculnya industri-industri baru yang biasanya menawarkan gaji lebih tinggi dari perusahaan tempat kita sekarang bekerja, tentu bisa jadi jalan keluar bagi kita yang punya gaji mentok di perusahaan sekarang.
Baca Juga: Bikin Bangga, Ini Momen Rapper Rich Brian Bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor
Apalagi, bila kita bisa beradaptasi, menikmati pekerjaan dan lingkungan baru nantinya tentu bisa membawa harapan tersendiri bagi perjalanan karier kita.
Pertanyaannya, jika kemudian pindah perusahaan menjadi pilihan, maka kita haruslah bersiap dengan julukan “kutu loncat”.
Kok, belum lama kerja, sudah mau pindah saja?
Baca Juga: Deretan Potret Ridwan Kamil dari Jomblo Hingga Jadi Gubernur Jawa Barat
Jangan salah paham.
Sejatinya, tak ada yang salah dengan menjadi seorang “kutu loncat”.
Selama alasannya demi pencapaian yang lebih baik, maka sah-sah saja.
Baca Juga: Tak Punya Hati! Orang Tua Ini Tega Jual Anaknya di Situs Jual Beli Online dengan Harga Rp493 Ribu
Semua tentu bergantung pada bagaimana kita melihat dan menangkap peluang yang ada.
“Menjadi kutu loncat jelas ada positif dan negatifnya. Untuk yang bersangkutan, positifnya tentu bisa naik gaji, naik posisi, dan sebagainya. Nah, negatifnya kemungkinan pengembangan untuk dirinya jadi belum dapat.
Belum lagi negatifnya bisa diartikan bahwa ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, diragukan loyalitasnya pada perusahaan,” ujar Tiwin Herman M.Psi., konsultan karier dari PT Global Leadership Indonesia.
Baca Juga: Akui Museum Sebagai Rumahnya, Bantahan Barbie Kumalasari: Punya Orang Tua Angkat Gua!
Aulia, teman kita, nyatanya saja bisa menjadi salah satu kutu loncat yang sukses menaikkan gaji.
Dalam waktu singkat saja, dia sudah pindah perusahaan sebanyak empat kali!
“Aku selama dua tahun kayaknya udah empat kali pindah perusahaan, deh. Iya—gaji—pasti naik he-he-he. Dulu aku belum paham naiknya berapa aja, kalau sekarang lebih selektif, sih,” ujarnya.
“Sebelum mau upgrade gaji, aku pastikan dulu sebelum resign kalau sudah ada bekal berlebih. Maksudnya, kalau mau pindah kerja, skill apa yang jadi nilai tambah aku selain kriteria umum. Itu bisa jadi alat aku untuk nego gaji jadi lebih besar dan it works,” ujarnya.
Baca Juga: Tak Punya Hati! Orang Tua Ini Tega Jual Anaknya di Situs Jual Beli Online dengan Harga Rp493 RibuBaca Juga: Tak Punya Hati! Orang Tua Ini Tega Jual Anaknya di Situs Jual Beli Online dengan Harga Rp493 Ribu
Yup! Jika berkaca pada Aulia, nyatanya menjadi orang yang sering berpindah kerja tak selalu negatif, kan?
Apalagi, kalau kita bisa seperti Aulia: selalu memelajari sesuatu yang baru demi mengembangkan diri dan mendapatkan “harga” lebih tinggi di perusahaan lain.
Pertanyaannya kemudian, berapa lama, sih, waktu kerja yang dibutuhkan sebelum akhirnya “meloncat”? Boleh seperti Aulia?
Baca Juga: Akui Museum Sebagai Rumahnya, Bantahan Barbie Kumalasari: Punya Orang Tua Angkat Gua!
“Untuk pegawai baru, sangat dimaklumi kalau baru satu sampai dua tahun kemudian pindah kerja. Nah, untuk level managerial, diperlukan waktu lebih dari tiga tahun,” jelas Tiwin.
“Sebab tahun pertama kan digunakan untuk ‘melihat situasi’, tahun kedua memutuskan atau membuat kebijakan, tahun ketiga untuk melihat apakah kebijakan yang dibuat berhasil, tahun keempat untuk evaluasi, tahun kelima untuk memperbaiki yang belum sempurna,” jelasnya.
Lantas, kapan kita tahu bahwa sudah saatnya kita pindah?
“Tentu dengan memerhatikan career path di perusahaan itu. Ada atau tidak? Kalau tidak ada berarti kemungkinan untuk promosi kecil, kan? Ya, bisa pindah kerja,” saran Tiwin.
Okelah, sekarang kita sudah tak lagi menganggap bahwa menjadi kutu loncat adalah sesuatu yang salah.
Namun perkara kemudian, ke manakah kaki kita akan melangkah?
Baca Juga: Fotonya Kerap Dituding Editan, Inul Daratista Ungkap Fakta di Balik Tubuh Langsingnya
Bila bidang pekerjaan kita tidak terikat hanya dalam satu industri, tentu, kita memiliki kesempatan yang terbuka lebar di mana-mana.
Kita bisa melamar di tempat-tempat yang menawarkan gaji lebih tinggi, plus menawarkan keuntungan-keuntungan lain seperti jarak yang lebih dekat dengan rumah, misalnya.
Ambil contoh, bagian keuangan atau HRD yang pastilah ada di setiap perusahaan, di tipe industri mana saja.
Lebih banyak pilihan, bukan?
Baca Juga: PK Ditolak MA, Ibunda Tak Ikhlas Jika Baiq Nuril Ditahan Lagi
Nah, bila kita memiliki keahlian khusus, memang, tak semua industri pada akhirnya membutuhkan skill kita.
Tapi bukan berarti kita tidak bisa pindah ke industri lain.
“Misalnya seorang arsitek di perusahan kontraktor, ia ingin mencari hal lain, ia bisa mencari di industri makanan. Pekerjaannya tetap sama yaitu arsitek, hanya industrinya yang beda. Bedanya, di industri jasa konstruksi dia supervisor, maka di industri makanan dia bisa melamar jadi manager,” jelas Tiwin.
Baca Juga: Kecil tapi Glamor, Harga Tas Luna Maya Saat OOTD di Jepang Capai Puluhan Juta Rupiah
Masalah justru bakal timbul kalau kita “nekat” mencari kerja di bidang pekerjaan yang benar-benar berbeda dari apa yang kita lakoni sebelumnya.
Misal, kita bermain di industri media dengan menjadi jurnalis, lalu melamar di industri yang sama menjadi seorang HRD.
Bukannya malah naik gaji, bisa-bisa kita akan mendapat penawaran “baru” karena dianggap fresh graduate.
Sehingga, alih-alih “menyeberang” karier, masih jauh lebih baik bila kita sekadar “menyeberang” industri.
Yah, kalaupun mau menjajal profesi yang benar-benar baru, pastikan kita telah punya cukup kemampuan untuk melakoninya.
Dan… kalau kita benar-benar ingin naik gaji, pilihlah perusahaan yang memang bisa membayar kita lebih tinggi.
Baca Juga: Perempuan dengan Bokong Besar Ternyata Lebih Sehat dan Pintar lo!
“Beda perusahaan, kan, bisa jadi tools untuk naik gaji. Misalnya, dari perusahaan kecil ke perusahaan besar. Dari perusahaan dengan pegawai 120 pindah ke perusahaan dengan pegawai 1.200. Nah, yang diurus kan lebih banyak, bisa jadi alat untuk naik gaji. Bisa juga kita menjual keahlian kita,” jelas Tiwin.
Tentu, pilihan meloncat ke mana ini haruslah didukung dengan riset yang jelas mengenai jenis pekerjaan, perusahaan atau industri, serta standar gaji yang ditawarkan.
Fungsinya apa?
Baca Juga: Berdarah Indonesia, Alta Lauren Gunawan Jadi Perempuan Pertama dalam Paspampres Amerika Serikat
Jelas untuk menghindarkan kita “terpeleset” saat meloncat.
Jadi bagaimana?
Sudah siap mencari loncatan baru?
Atau mau wait and see dulu di perusahaan yang sekarang?(*)