Kisah pilu seperti yang dialami Saras dan Rose, pasti sudah sering kita dengar.
Bukan pula sekali dua.
Masih banyak perempuan korban KDRT di sekitar kita. Yang bukan melulu dipukul, ditampar, ditendang oleh sang suami.
Karena, yang disebut KDRT tak hanya itu.
Ada pula kekerasan dari segi psikis (diselingkuhi, didiami, dianggap tidak ada), verbal (menggunakan kata-kata kasar), ekonomi (tidak dinafkahi, uang istri diambil tanpa persetujuan), atau seksual (dipaksa berhubungan intim ketika istri sedang tidak ingin, sexual abuse), juga layak disebut KDRT.
Tapi, kenapa KDRT sampai bisa terjadi?
Kenapa pasangan yang semula—saling menyayangi—bahkan suami yang seharusnya melindungi istri malah justru berbalik menyakitinya?
Baca Juga: Jangan Ragu, Psikolog Bisa Bantu Pecahkan Masalah Kita dan Pasangan dengan 4 Tahap Ini
LELAKI SELALU DI ATAS
Menurut Nirmala Ika K., M.Psi., psikolog dewasa yang bertindak sebagai koordinator eksekutif Yayasan Pulih, terjadinya KDRT dengan korban perempuan bisa jadi adalah buah dari budaya patriarki yang berakar di Indonesia.
Sebab, menurut Ika, patriarki yang tidak disadari sudah memberi porsi peran lebih superior pada laki-laki ketimbang perempuan.
Ini yang akan membuat laki-laki merasa terciderai posisinya apabila perempuan kemudian jauh lebih unggul.