Fakta dan Cerita Kasus KDRT di Indonesia, dari Artis Sampai Mungkin Sahabat Kita

By Jeanett Verica, Selasa, 17 September 2019 | 13:33 WIB
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (Laksono Hari Wiwoho)

NOVA.id - Kasus KDRT yang dialami artis Indonesia, Tiga Setia Gara, dalam rumah tangganya menggemparkan media sosial.

Lewat unggahan di Instastory-nya, Tiga Setia Gara menangis dan meminta pertolongan atas kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan sang suami, seorang warga negara asing.

Peristiwa yang dialami Tiga mengingatkan kembali kita, perempuan, pentingnya berani bicara, melawan, juga mencegah dan mengobati jika terlibat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, yang salah satunya adalah KDRT.

Baca Juga: Menangis Minta Tolong Alami KDRT Hingga Kakinya Pincang, Artis Tiga Setia Gara Minta Dipulangkan ke Indonesia

Masyarakat Indonesia, termasuk para artis, turut mengemukakan pengalaman dan pendapatnya tentang kekerasan yang juga pernah mereka alami.

Salah satunya pernah dikisahkan langsung pada NOVA, oleh Maizidah Salas.

**

Setiap jam 1 atau 2 siang, Salas selalu digebuk suaminya.

Kalau tak digebuk, Salas pasti ditempeleng, dibenturkan kepalanya, bahkan disiram air panas.

Saat sedang hamil pun, kandungan Salas tak luput dari ayunan tangan dan tendangan kasar suami.

Baca Juga: 4 Fakta Tiga Setia Gara, Lady Rocker yang Mirip Nikita Mirzani hingga Panggil Ray Sahetapi Papa

Jika siksaan itu absen pada jam-jam tersebut, Salas otomatis bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa aku belum juga dipukul hari ini?”

Hal ini terus berlangsung, hampir setiap hari, selama 2,5 tahun—sebelum akhirnya si suami pergi untuk tinggal dengan perempuan lain.

Demi dapur yang harus terus ngebul, Salas pun terpaksa terbang ke Korea, bekerja sebagai TKI, selama 18 bulan.

“Kejadiannya sudah lama (tahun 1992-1995). Lebih menyiksa lagi karena dulu saya diam dan belum ada Undang-Undang KDRT.

"Tapi diam itu karena aku bingung. Enggak melawan saja hampir mati, bagaimana melawan?” cerita Salas dengan suara bergetar.

Baca Juga: Dulu Sempat Alami KDRT, Wulan Guritno Banting Tulang Biayai Sekolah Anak ke Luar Negeri

Kisah lain juga datang dari Rose (bukan nama sebenarnya).

Dua puluh delapan tahun usianya, muda, tapi sudah menjanda akibat KDRT yang menimpa.

Konon, Rose jadi sasaran makian dan tinju karena si mantan suami merasa terancam kalau melihat istri yang gajinya lebih besar, otaknya lebih pintar.

Untunglah, setelah menahan derita sekian lama, ia akhirnya keluar dari masa bungkam.

Baca Juga: Perempuan Berhak Dapat Gaji Tinggi, Ini 3 Cara Ampuh Negosiasi Gaji!

Ia melawan. Ia bicara.

“Yang membuat aku benar-benar melawan secara fisik waktu itu, karena aku adalah perempuan yang melahirkan keturunan dia dan enggak pantas diinjak-injak atau mendapat segala bentuk kekerasan, baik verbal atau fisik," kisah Rose.

"Jujur, aku sendiri pun jadi trauma. Makanya, aku berusaha waras. Aku jenuh juga karena sudah bertahun-tahun.

"Walaupun bukan selalu fisik, lisan yang kasar itu juga termasuk kekerasan, kan?” aku Rose.

Kisah pilu seperti yang dialami Saras dan Rose, pasti sudah sering kita dengar.

Bukan pula sekali dua.

Masih banyak perempuan korban KDRT di sekitar kita. Yang bukan melulu dipukul, ditampar, ditendang oleh sang suami.

Karena, yang disebut KDRT tak hanya itu.

Baca Juga: Maia Estianty Pernah Alami KDRT, Kini Viral Video Al Ghazali Diduga Dorong Pacarnya Hingga Tersungkur!

Ada pula kekerasan dari segi psikis (diselingkuhi, didiami, dianggap tidak ada), verbal (menggunakan kata-kata kasar), ekonomi (tidak dinafkahi, uang istri diambil tanpa persetujuan), atau seksual (dipaksa berhubungan intim ketika istri sedang tidak ingin, sexual abuse), juga layak disebut KDRT.

Tapi, kenapa KDRT sampai bisa terjadi?

Kenapa pasangan yang semula—saling menyayangi—bahkan suami yang seharusnya melindungi istri malah justru berbalik menyakitinya?

Baca Juga: Jangan Ragu, Psikolog Bisa Bantu Pecahkan Masalah Kita dan Pasangan dengan 4 Tahap Ini

LELAKI SELALU DI ATAS

Menurut Nirmala Ika K., M.Psi., psikolog dewasa yang bertindak sebagai koordinator eksekutif Yayasan Pulih, terjadinya KDRT dengan korban perempuan bisa jadi adalah buah dari budaya patriarki yang berakar di Indonesia.

Sebab, menurut Ika, patriarki yang tidak disadari sudah memberi porsi peran lebih superior pada laki-laki ketimbang perempuan.

Ini yang akan membuat laki-laki merasa terciderai posisinya apabila perempuan kemudian jauh lebih unggul.

“Ada peran-peran gender yang diberikan ke laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki seolah selalu di atas.

"Masyarakat umumnya berpendapat laki-laki lebih kuat, pemimpin, macho, pencari nafkah keluarga.

"Perempuan justru kebalikannya. Mereka harus lembut, bisa ngurus rumah, dan sebagainya.

Baca Juga: Suami Selalu Merasa Benar dan Tak Mau Disalahkan? Ini 4 Langkah Menghadapinya

"Ini mengakibatkan, dalam ranah tidak sadar, kita membentuk stereotip perempuan lebih lemah,” jelas Ika.

Budaya patriarki sesungguhnya tidak salah.

“Tapi ketika laki-laki kemudian selalu diposisikan lebih tinggi, itu yang kemudian menjadi masalah karena dia tidak melihat posisinya setara dengan perempuan,” lanjutnya.

Sementara makin modern jaman, beban perempuan pun juga semakin berat seiring adanya tuntutan peran ganda.

Baca Juga: Selalu Terlihat Harmonis, Siapa Sangka Rumah Tangga Denny Cagur Pernah di Ujung Tanduk Hingga Sang Istri Ingin Kabur dari Rumah

Artinya, kalaupun perempuan ikut mencari nafkah, maka ia pun masih diwajibkan mengurus urusan domestik rumah tangga.

Karena hal ini dianggap sebagai kodrat perempuan. Padahal sebetulnya, hal ini sama sekali keliru.

“Buntut-buntutnya, adalah kekerasan. Ketika laki-laki merasa istri tidak menjalankan apa yang seharusnya, tidak menurut, padahal dirinya adalah kepala keluarga.

"Mulailah di sana terjadi kekerasan. Karena ini dianggap sebagai satu-satunya cara mendidik dan mengontrol istri.

"Dia merasa ada relasi kuasa, di mana dia harusnya berkuasa atas istri dan anak-anak,” bilang Ika.

Tentu, kita tak mempersoalkan—apalagi berniat mau mengubah budaya patriarki yang sudah mengakar ratusan bahkan ribuan tahun di negeri ini.

Namun, apa yang seharusnya perempuan lakukan jika mengalami KDRT?

Baca Juga: Psikologisnya Terganggu Setelah Mengaku Dilecehkan oleh Youtuber Terkenal, Bebby Fey Sampai Konsultasi ke Komnas Perempuan

Data dan fakta kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). ()

BICARA BUKAN HANYA PILIHAN

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (disingkat Komnas Perempuan), kasus KDRT meningkat dari tahun ke tahun.

Bahkan dari 2016 ke 2017 saja meroket sampai 25%.

Betulkah angka yang tersaji mencerminkan keadaan yang sesungguhnya?

Bisa iya, bisa juga tidak. Karenanya, pintar-pintarlah kita membaca data.

Pertama, KDRT yang terjadi di jaman orangtua kita dulu, bisa-bisa secara persentase justru lebih besar.

Namun tidak terangkat ke permukaan karena saat itu banyak korban perempuan yang memilih untuk diam—dengan bermacam alasan—hingga kekerasan terpendam dalam kamar tidur, sehingga tidak melesat menjadi kasus.

Kedua, jika jaman now angka yang muncul begitu mengerikan, jangan-jangan karena sebagian perempuan yang jadi korban, justru sudah mulai berani bicara—sehingga mencuat menjadi kasus yang kemudian tercatat.

Baca Juga: Kurangi Risiko Kekerasan Seksual Terhadap Anak dengan 5 Ajaran Ini

Namun apapun persepsi yang kita miliki, jangan diam, berani speak up menjadi wajib hukumnya buat perempuan korban KDRT.

Diam—meskipun karena berbagai alasan, tak lagi laku saat ini.

“Kadang, kita bertahan dengan alasan demi anak. Tetapi ketika anak melihat ibu terus-menerus membiarkan perlakuan itu, belum tentu anak malah ngebelain ibunya.

"Bisa jadi dia tidak respek lagi sama ibunya, karena mikir, Kok ibu tetap mau sama bapak. 

"Anak juga bakal bingung, entah mau benci atau sayang sama bapaknya. Ini bisa berpengaruh ke tumbuh kembang mereka.

Baca Juga: Ibunda Rio Febrian Meninggal Dunia, sang Menantu Ungkap Penyesalan dari Lubuk Hati: Oma, Sabria Nyesel

"Tidak hanya relasi mereka dengan pacar, tapi juga dengan teman-temannya,” bubuh Ika.

Tapi perlu sama-sama kita ingat, berani bicara di saat telah terjadi KDRT bukan satu-satunya pilihan agar tindakan keji itu tidak terjadi lagi.

Lalu apa?

 

BELAJAR SILAT

Satu tindak kejahatan—KDRT—tidak hanya bisa diatasi dengan cara represif.

Tapi, sering kali lebih manjur jika dilakukan bersamaan dengan pencegahan (preventif).

Termasuk jangan pula lupa, segera lakukan pemulihan pasca KDRT—salah satunya yang terpenting adalah pada anak-anak yang ibunya menjadi korban.

Baca Juga: Pernah Alami KDRT hingga Muka Memar, Sara Wijayanto Bagi Pesan Menyentuh: Kalau Sayang, Dia Enggak Akan Sakiti Kamu

Pencegahan, bisa bermacam cara yang bisa kita lakukan.

Salah satunya, para istri mulai sekarang belajar silat? Bisa jadi.

Namun menurut Ika, buat apa pintar ilmu bela diri kalau kita tak lebih dulu menghargai diri sendiri?

“Dalam konteks relasi, penting banget punya konsep diri.

"Buat batasan-batasan yang baik dan jelas, sehingga si pasangan tidak bisa berbuat kasar.

Baca Juga: Terlalu Bergantung dengan Pasangan? Ini 5 Cara untuk Jadi Mandiri

"Kalau kita belajar bela diri, tapi konsep diri kita jelek, kita bakal berantem doang, gebuk-gebukan, sehingga kita tidak akan bisa menunjukkan kalau layak dihargai,” kata Ika.

Nah, membangun diri dihargai pasangan, memang jangan baru dimulai di saat sudah menikah saja.

Tapi, lakukanlah sejak masih pacaran, atau jangan-jangan sejak mulai PDKT.

 “Ingat, cinta itu buta. Jadi coba dengarkan orang-orang di sekitar kita, yang lebih netral memberi pandangan daripada kita yang lagi jatuh cinta.

"Kalau sudah ada yang aneh, kita harus lebih aware.

"Hati-hati, posesif itu juga bukan tanda cinta, ya!” kata Ika.

Baca Juga: Cara Lepas dari Dilema Suami Posesif, Berani Do It Now? Begini Caranya

Nah, kalau pasangan sudah mulai sering melarang-larang atau kita diatur terlalu berlebihan, selalu bertanya dengan nada tinggi kamu bergaul dengan siapa, kamu harus pakai baju ini, dan sederet pertanyaan yang tak penting lainnya, mulailah berhati-hati sebelum terlambat.

Dan yang terpenting, “Ketika pertama kali dia menunjukkan kekerasan, kita harus melawan. Harus speak up.

"Kalau dia mulai bentak, kita tanya mengapa dia bentak?

"Tunjukkin kalau kita tidak bisa diperlakukan begitu.

Baca Juga: Pesan Terakhir BJ Habibie untuk Melanie Subono: Jangan Berhenti Jadi Pemberontak!

"Jadi, dia tahu ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.

"Kalau kita melanggengkan itu, dia bisa makin parah,” tegas Ika.

Bisa jadi, Salas dan Rose melupakan hal ini saat awal bertemu dengan pasangan mereka. (*)