NOVA.id - Terbakarnya hutan di Kalimantan menyisakan duka bagi bangsa ini. Bagaimana tidak? Hutan Indonesia yang juga sebagai paru-paru dunia ini terancam eksistensinya.
Tak cuma itu, kabut asap yang timbul akibat kebakaran hutan dan lahan ini pun telah memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Ya, Indonesia tengah berjuang untuk keluar dari kabut asap dan kebakaran hutan.
Bukan hanya masalah kebakaran hutan saja, tetapi banyak masyarakat adat yang tengah berjuang untuk mendapatkan haknya, yakni hutan adat.
Terlebih, banyak hutan yang dibuka untuk Proyek Mega Rice pada zaman Orde Baru dahulu yang masih dirasakan dampaknya hingga hari ini.
Hal ini diceritakan oleh Pak Iber Djamal (77thn) saat ditemui Tim NOVA.id di kawasan Jakarta Pusat, 6 September 2019 lalu.
Pak Iber sendiri adalah masyarakat adat yang merasakan hutannya di Kalimantan diambil untuk proyek tersebut.
Baca Juga: Dukung Film Dokumenter Menggapai Bintang dengan Ikut Tantangan Aku Sahabatmu
Membuka kisah, Pak Iber bercerita lebih dahulu tentang eratnya hubungan masyarakat Dayak dengan hutan.
"Orang dayak itu dalam satu kampung punya hutan adat yang tidak jauh dari kampungnya. Hutan adat ini disebut pahewan. Di sana sedikit angker karena hutan besar.
"Ada mitos, ada sebuah kepercayaan, di sana ada leluhur. Orang kampung yang mau pergi jauh, dia harus pergi ke hutan dulu. Izin bahwa aku akan pergi ke sana (merantau) semoga aku selamat dan kembali ke kampung lagi," ujar Pak Iber pada Jumat, (06/09).
Baca Juga: Melanie Subono Ditolak Ibu-Ibu Saat Bagikan Makanan di Acara 7 Hari BJ Habibie, Kenapa?
Tak hanya itu, Pak Iber juga bercerita bagaimana anak cucunya kini tak mengenal hutan dan ini yang membuatnya sedih.
"Hutan itu dijaga. Flora dan faunanya tak boleh diganggu kecuali hewan yang keluar dari hutan dan populasinya banyak, bisa diambil oleh masyarakat. Tradisi orang dayak dulu. Sehingga dari awal, kehidupan orang dayak itu tidak jauh dari hutan.
"Masyarakat dayak terganggu karena merasa hutan habis. Sampai sekarang, cucu kita sudah tidak kenal dengan hutan, berarti terpisah dari alam, dari leluhur.
"Sehingga kita berjuang dari tahun 96 sampai sekarang untuk mempertahankan hutan yang bisa kita pertahankan. Supaya benar-benar ada hutan yang dititipkan untuk anak cucu kita nanti," lanjut Pak Iber.
Asa dalam diri pun tak padam. Melalui film Bara (The Flame), sebuah film dokumenter yang terpilih untuk masuk Good Pitch Indonesia, cerita tentang Pak Iber Djamal diangkat untuk memperlihatkan ke khalayak luas bagaimana perjuangan Pak Iber yang merepresentasikan masyarakat Dayak untuk memperoleh hutannya kembali.
Arfan Sabran, sutradara film Bara menceritakan tentang dokumenternya tersebut.
"Bara mengangkat soal apa film bara itu sebenarnya kan bercerita tentang personal story Pak Iber Djamal dan keluarga.
"Di situ kita punya 3 karakter, Pak Iber sendiri yang masih berjuang untuk melindungi hutan-hutannya sementara pak Iber punya anak, representatif kita sekarang, fokus mencari membuka bisnis baru, mencari penghasilan lain dari hutan seperti bisnis isi ulang air galon.
"Dan karakter yang ke-3 itu adalah cucu pak Iber yang berusia 5 tahun, namanya Ucu yang mempertanyakan semua yang hilang tentang hutan, representatif dari generasi masa depan kita," ujar Arfan Sabran yang ditemui Tim NOVA.id di kawasan Jakarta Pusat.
Tak soal itu saja, film ini juga fokus menceritakan tentang masyarakat adat, khususnya Pak Iber dalam memperjuangkan haknya untuk mendapatkan hutannya kembali dan bagaimana nasib keluarga Pak Iber sendiri.
"Pak iber sendiri adalah penyintas mega rice project zaman orde baru, jadi dia adalah korban yang sebagian besar lahannya diambil untuk mega rice project atau pembukaan lahan gambut 1juta hektar.
"Tapi kata pak iber lebih dari itu, 1,5 juta hektar lahan pembukaan hutan untuk dijadikan sawah ya, untuk revolusi hijau waktu itu, menuju swasembada pangan.
Baca Juga: Tak Kalah Humoris dari Sang Cucu, Begini Tanggapan Ratu Inggris Saat Turis Tak Mengenalinya
"Tapi kan akhirnya gagal kemudian pasca itu kan hutan sudah habis, kekeringan terjadi, dan sejak itu hutan Kalimantan terus terbakar hampir tiap tahun.
"Kenapa akhirnya judulnya bara the flame karena simbol ya sebagai simbol bara di dalam hati, bisa juga mewakili semangat kedepannya untuk terus berjuang dan juga menggambarkan situasi Kalimantan sekarang," ujar Arfan.
Arfan menambahkan, "Semua punya keluarga, kita juga ingin generasi kedepannya juga merasakan hal yang sama (hutan yang asri).
Baca Juga: Merry Kembali ke Jakarta Karena Batal Nikah, Asisten Raffi Ahmad Beralasan Takut Jadi Musuh Keluarga
"Jujur saja, anak cucu kita yang akan mempertanyakan. Anak cucu kita bahkan berhak menuntut kita, apa yang kita lakukan sekarang hingga sampai terjadi seperti ini? Pak Iber dan kita semua tak mau berdosa ke generasi kedepannya."
(*)