Perubahan Perilaku Kesehatan Bisa Cegah Stunting di Indonesia

By Tentry Yudvi Dian Utami, Jumat, 31 Juli 2020 | 07:30 WIB
Komunikasi Perubahan Perilaku Kesehatan Bisa Cegah Stunting di Indonesia (iStock)

NOVA.id – Angka stunting di Indonesia sudah menunjukkan angka positif.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di Indonesia mulai turun; dari 37% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%.

Ini sejalan dengan SSGBI (Survei Status Gizi Balita Indonesia) 2019, yang menemukan angka stunting sebesar 27,7%.

Baca Juga: Kolesterol Tinggi karena Kebanyakan Makan Daging? Turunkan Kadarnya dengan 5 Buah Ini

Meski angka stunting mulai turun, tetap saja berarti 3 dari 10 balita Indonesia menderita stunting.

Buku yang diterbitkan oleh World Bank, Aiming High: Indonesia’s Ambitions to Reduce Stunting memaparkan, bila kita tidak melakukan apa-apa, hingga tahun 2022 kita masih akan berkutat dengan angka stunting di kisaran 28%.

Namun dengan strategi yang baik, angka stunting bisa ditekan hingga kurang 22% pada 2022.

Baca Juga: Pemakaian Popok Nyaman Membantu Lansia Penderita Inkontinensia Urine

Perlu upaya keras agar target pemerintah menurunkan angka stunting kurang 20% pada 2024 bisa tercapai.

Salah satu upaya krusial yang dibutuhkan yakni komunikasi perubahan perilaku. Ini menjadi topik diskusi daring bersama Tanoto Foundation hari ini, Rabu (29/07).

Widodo Suhartoyo  sebagai Senior Technical and Liasion Adviser Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation mengungkapkan, 70% penyebab stunting disebabkan oleh hal-hal di luar kesehatan dan gizi.

Baca Juga: Punya Khasiat Lebih Dibanding Jeruk, Apa Itu Buah Elderberry?

Termasuk di antaranya sanitasi, lingkungan, perilaku. Secara spesifik, 30% permasalahan stunting disebabkan oleh perilaku yang salah.

“Karenanya, perubahan perilaku menjadi hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan stunting,” ujarnya.

Ia memaparkan, perilaku masyarakat yang bisa memicu terjadinya stunting misalnya perilaku yang kurang baik dalam pola hidup, pola makan, dan pola pengasuhan anak.

 Baca Juga: 5 Makanan Enak Ini Bisa Jadi Obat untuk Meredakan Flu, Nggak Perlu Langsung Minum Obat!

“Orang tua yang pendek tidak otomatis akan memiliki anak pendek. Anak bisa menjadi pendek karena orang tua menerapkan pola asuh dan pola makan seperti yang diterimanya dulu. Lingkaran ini harus diputus,” tegasnya.

Tanoto Foundation sebagai lembaga filantropi independen yang bergerak di bidang pendidikan, memiliki misi agar semua anak mampu mencapai potensi belajar yang maksimal, sesuai tahap perkembangannya, dan siap sekolah.

Ini meliputi pengurangan stunting, peningkatan kualitas pengasuhan anak usia 0-3 tahun, serta peningkatan akses dan kualitas layanan pengembangan anak usia dini.

Baca Juga: Pengelihatan Kabur di Usia Lanjut Kini Bisa Diatasi dengan Terapi Sederhana Ini

Semua pelayanan ini disalurkan melalui lingkungan belajar di rumah, pusat layanan anak usia dini (misalnya Posyandu dan PAUD), serta komunitas desa dan pemerintah desa.

Sejauh ini, Tanoto Foundation memiliki program intervensi stunting di Riau (Rokan Hulu), Sumatera Barat (Pasaman dan Pasaman Barat), Banten (Pandeglang), Jawa Barat (Garut), Kalimantan Selatan (Hulu Sungai Utara), Kalimantan TImur (Kutai Kartanegara), NTB (Lompok Utara dan Lombok Barat), NTT (Alor, Simot Tengah Selatan), Sulawesi Barat (Majene), dan Maluku (Seram Barat).

Widodo menjelaskan, tidak semua wilayah menerima program yang sama.

 Baca Juga: Kolesterol Tinggi karena Kebanyakan Makan Daging? Turunkan Kadarnya dengan 5 Buah Ini

Misalnya di 6 wilayah (Pasaman Barat, Garut, Hulu Sungai Utara, Majene, Seram Barat, dan Alor), Tanoto Foundation bekerja sama dengan Alive&Thrive untuk melakukan studi, lalu membuat semacam prototipe untuk melakukan perubahan perilaku di area-area tersebut.

“Misalnya di Hulu sungai Utara, daerah yang sangat kaya akan ikan. Namun anak-anak di sana tidak banyak makan ikan; ikan lebih banyak dijual keluar. Setelah diteliti, ikan biasanya hanya dibakar atau digoreng. Maka salah satu rekomendasinya, membuat resep masakan ikan sehingga anak-anak tidak bosan makan ikan,” papar Widodo.

Kerjasama dengan SMERU di Kutai Kartanegara dan Pandeglang melakukan semacam nutrition mapping.

Baca Juga: Perusahaan Farmasi Asal Korea Ini Mulai Kembangkan Perawatan Covid-19 dengan Stem Cell di Indonesia

Dengan cara ini, angka stunting bisa diketahui sampai tingkat kecamatan.

Akan terlihat daerah mana yang paling tinggi stunting, sehingga bisa dilakukan intervensi yang tepat sasaran. Adapun Program SIGAP (Siapkan Generasi Anak Berprestasi) akan diimplementasikan di Pandeglang dan Kutai Kartanegara.

Dalam menjalankan program terkait pengentasan stunting, Tanoto Foundation bekerja sama dengan Yayasan Smeru dan Yayasan Cipta, untuk bekerja sama dengan perangkat pemerintahan.

Baca Juga: Peneliti Mengklaim Ikan Gabus sebagai Obat Virus Corona, Ini Manfaat Lain yang Jarang Diketahui!

Antara lain TNP2K, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Desa, dan Kementrian Dalam Negeri.

Drg. Marlini Ginting sebagai Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Kesehatan RI mengatakan, komunikasi perubahan perilaku masuk dalam 5 pilar percepatan pencegahan stunting. 

Selain kementrian kesehatan, pilar kedua ini juga dilakukan bersama dengan Kementrian Informasi.

Baca Juga: Mandi Air Hangat di Pagi Hari Ternyata Tidak Dianjurkan, Ini Sebabnya

“Yang kita bangun adalah kesadaran masyarakat sehingga mereka akan melakukan perilaku yang kita harapkan. Di sisi perilaku, akses informasi masyarakat belum banyak,” kata Marlina.

Ia menambahkan, selain kampanye perubahan perilaku, yang jadi fokus petugas kesehatan atau kader agar memiliki kapasitas untuk menyampaikan komunikasi.

“Diharapkan para kader ini memahami masyarakatnya, sejauh mana mereka belum melakukan perilaku yang diharapkan. Jadi, tidak sekadar menyampaikan,” katanya.

Baca Juga: Miliki Perut Langsing Bukan Sekadar Impian, Yuk Berhenti Konsumsi 5 Makanan dan Minuman Ini

Untuk pencegahan stunting, diperlukan strategi nasional dan bermuatan lokal.

Advokasi juga harus dilakukan jangka panjang atau berkelanjutan.

Dimulai dari masa remaja, persiapan perkawinan, sampai sebelum kehamilan.

Baca Juga: Lakukan 7 Kegiatan Sederhana Ini Yuk untuk Mencegah Datangnya Kanker

Kementrian Kesehatan menargetkan tahun 2024 semua kabupaten dan kota sudah melakukan kampanye pencegahan stunting.

Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes sebagai Pakar Nutrisi menemukan perilaku yang harus diperbaiki untuk mencegah stunting, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tanoto Foundation.

Ia menegaskan, “Stunting adalah kondisi yang terjadi akibat kekurangan gizi kronis secara akumulatif. Bukanlah kasus akut, melainkan keadaan yang terjadi sedikit demi sedikit, secara akumulatif.”

Baca Juga: Peneliti Mengklaim Ikan Gabus sebagai Obat Virus Corona, Ini Manfaat Lain yang Jarang Diketahui!

Stunting adalah gagal tumbuh dan gagal kembang.

Anak pendek belum tentu stunting, tapi salah satu indikator stunting adalah pendek.

“Stunting bukan melulu soal tinggi badan yang tidak tercapai. Lebih jauh lagi, kondisi ini akan menentukan kualitas-kualitas anak di kemudian hari,” lanjut Rita.

Baca Juga: Miliki Perut Langsing Bukan Sekadar Impian, Yuk Berhenti Konsumsi 5 Makanan dan Minuman Ini

Ia memaparkan, stunting berkembang selama 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Kondisi pada ibu hamil akan memengaruhi kondisi ibu saat melahirkan nanti, yang akan memengaruhi kondisi bayi usia 0-6 bulan, 7-11 bulan, lalu 12-24 bulan.

“Perjalanan inilah yang terjadinya stunting. Kita tidak boleh absen memerhatikan gizi dalam 5 kelompok tadi,” ujarnya.

Rita menyayangkan, banyak perilaku selama 1000 HPK yang meningkatkan kerentanan terjadinya stunting.

Baca Juga: Mandi Air Hangat di Pagi Hari Ternyata Tidak Dianjurkan, Ini Sebabnya

Misalnya, masih banyak ibu hamil yang tidak paham soal stunting, dan tidak meyakini bahwa stunting bisa terjadi akibat pola makan yang salah, sehingga ia tidak melakukan pencegahan sejak awal.

Sebagian ibu merasa bahwa kehamilan adalah kondisi biasa saja, jadi tidak memperbaiki pola makannya.

“Sebagian lain menganggap bahwa makan saat hamil diperuntukkan bagi dua orang. Akibatnya, hanya porsi nasi yang ditambah, agar kenyang. Belum lagi mitos untuk menghindari daging merah, makanan laut, dan kacang-kacangan, yang akhirnya membuat ibu hamil kekurangan protein,” paparnya.

 Baca Juga: Miliki Perut Langsing Bukan Sekadar Impian, Yuk Berhenti Konsumsi 5 Makanan dan Minuman Ini

Saat melahirkan, masih banyak ibu yang tidak melakukan IMD (inisiasi menyusui dini). Ada pula yang melakukan tapi caranya salah.

Bayi hanya diletakkan di area puting susu ibu, dan dianggap selesai.

“Padahal yang kita inginkan, bayi bergerak sendiri dari perut ibu untuk mencari puting susu ibu,” terang Rita.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Kandungan Eucalyptol agar Aman Jalani New Normal

Hambatan lain, ada persepsi bahwa ibu melahirkan pasti capek, sehingga bayi pisah kamar dengan ibu agar ibu bisa beristirahat.

Saat bayi berusia 0-6 bulan, tantangannya berbeda lagi.

Masih banyak ibu yang tidak memberikan kolostrum atau ASI pertama.

Baca Juga: Mandi Air Hangat di Pagi Hari Ternyata Tidak Dianjurkan, Ini Sebabnya

Sebab, berwarna kuning sehingg dianggap kotor, lalu dibuang.

Sebagian ibu masih menganggap bahwa ASI adalah minuman dan bukan makanan, sehingga bayi harus diberi makanan lain agar kenyang.

Banyak pula ibu yang tidak mengerti arti tangisan bayinya sendiri.

Baca Juga: Macam-Macam Makanan yang Bisa Bikin Tubuh Kita Menjadi Wangi dan Bau, Cek yuk!

“Tiap kali bayi menangis dianggap kelaparan. Begitu bayi menangis tapi ASI sudah habis, dianggapnya bayi masih lapar sehingga diberi makanan/minuman lain,” sesal Rita.

Kendala lain, ibu sering tidak memiliki praktik menyusui yang baik, sehingga puting menjadi luka.

Sebagian ibu tidak memahami tahapan pengeluaran ASI.

Baca Juga: Miliki Perut Langsing Bukan Sekadar Impian, Yuk Berhenti Konsumsi 5 Makanan dan Minuman Ini

Alhasil bayi hanya mendapat karbohidrat dan protein dari ASI tapi tidak mendapat lemak. Belum lagi, suami dan anggota keluarga lain tidak ikut terlibat dalam mengurus bayi sehingga ibu kecapekan sendiri.

Di usia 7-11 bulan, bayi mulai mendapat MPASI (makanan pendamping ASI).

“Sering kali ibu hanya berpatokan pada gigi bayi, bukan usianya. Ketika bayi belum punya gigi, MPASI yang diberikan hanya air saja, dan begitu giginya sudah tumbuh, diberi makanan padat,” tutur Rita.

Baca Juga: Macam-Macam Makanan yang Bisa Bikin Tubuh Kita Menjadi Wangi dan Bau, Cek yuk!

Ibu juga tidak mengerti mengenai menu MPASI 4 bintang.

Usia 12-24 bulan, anak kerap mulai menunjukkan gejala pilih-pilih makanan, atau tidak mau makan.

Sangat disayangkan, sebagian orang tua menganggap ini hal yang biasa dan akan berlalu dengan sendirinya, sehingga tidak melakukan apapun untuk memperbaikinya.

Baca Juga: Mandi Air Hangat di Pagi Hari Ternyata Tidak Dianjurkan, Ini Sebabnya

Atau ibu tidak berani memberi makanan di luar kebiasaan sehari-hari. Sebagian ibu masih menganggap bahwa makan = nasi.

Alhasil, porsi nasi sangat banyak sehingga anak kenyang, tapi tidak mendapat cukup protein. Padahal protein adalah zat gizi penting untuk pencegahan stunting.

Rita mengingatkan, kondisi ibu hamil mulai terbentuk jauh sebelumnya, yakni ketika remaja. Kualitas gizi remaja akan menentukan kualitas saat hamil kelak.

Baca Juga: Peneliti Mengklaim Ikan Gabus sebagai Obat Virus Corona, Ini Manfaat Lain yang Jarang Diketahui!

Namun masih banyak permasalahan gizi remaja yang belum teratasi. Misalnya anemia, dan kurang energi kronis (KEK).

Ditambah lagi kondisi sekarang, di mana remaja sangat akrab dengan konsumsi GGL (gula, garam, lemak) yang berlebihan, dan pola hidup sedenter.

Rita menekankan pentingnya konseling, untuk membantu orang tua mengenali masalah yang ada.

Baca Juga: Peneliti Mengklaim Ikan Gabus sebagai Obat Virus Corona, Ini Manfaat Lain yang Jarang Diketahui!

“Kita bantu orang tua memahami bahwa perilaku itu masalah. Lalu kita bantu carikan solusi untuk menyelesaikan masalah,” jelasnya.

Masalah yang sama bisa memiliki solusi berbeda untuk tiap orang tua.

“Pendekatannya adalah empati,” tandas Rita.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Kandungan Eucalyptol agar Aman Jalani New Normal

Risang Rimbatmaja sebagai Yayasan Cipta (NGO yang banyak bergerak di bidang kesehatan dan lingkungan) jelaskan bahwa Komunikasi Perubahan Perilaku semakin disadari pentingnya dalam urusan kesehatan.

Dalam hal pencegahan stunting harus terus dikuatkan.

Menurut Risang, stunting merupakan istilah yang abstrak bagi orang yang tidak bergerak di bidang kesehatan.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Kandungan Eucalyptol agar Aman Jalani New Normal

“Selama ini komunikasinya juga mengalami perubahan. Dulu disebut stanting, lalu kerdil, pendek, dan sekarang stunting,” kata Risang.

Stunting merupakan kekurangan gizi dalam waktu yang lama yang membuat otak tidak berkembang, mudah sakit dan rentan menderita penyakit tidak menular saat dewasa nanti.

“Membahasakan konsep kesehatan pada masyarakat harus disampaikan dampaknya. Masalahnya stunting itu dampaknya long term,” katanya.

Baca Juga: Mandi Air Hangat di Pagi Hari Ternyata Tidak Dianjurkan, Ini Sebabnya

Beberapa isu yang terkait dengan komunikasi perilaku pada isu stunting antara lain, dampaknya seberapa panjang, bagaimana cara mengukur tinggi badan, sudah makan banyak dan bergizi kenapa masih stunting, dan sebagainya.

Risang menyarankan bagi para kader posyandu atau tenaga kesehatan untuk menyampaikan informasi dengan santai, tidak reaktif, apalagi marah-marah, dan lebih banyak mendengarkan.

“Stunting adalah perubahan perilaku yang sifatnya marathon, bukan lari pendek. Jadi harus konsisten,” katanya.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Kandungan Eucalyptol agar Aman Jalani New Normal

Membangun kepercayaan merupakan kunci keberhasilan program komunikasi perubahan perilaku.

Pembuatan poster dan penggunaan istilah juga harus berhati-hati agar tidak menimbulkan stigma.

Komunikasi perubahan perilaku tidak serta merta mengubah orang. Tapi tetap diperlukan, dengan demikian kita harus bergandengan dengan intervensi model lain.

Baca Juga: Pengelihatan Kabur di Usia Lanjut Kini Bisa Diatasi dengan Terapi Sederhana Ini

Pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru dalam komunikasi perubahan perilaku karena fokus masyarakat sekarang ke pandemic, masyarakat jadi tidak berani ke puskesmas atau kalau ke Posyandu pun terburu-buru, sehingga pemberian edukasi jadi terbatas.

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)