NOVA.id - Dari banyak anggapan kuno yang ada soal perempuan, salah satunya yang masih ada sampai sekarang adalah bahwa olahraga merupakan kegiatan eksklusif bagi laki-laki.
Begitu juga dengan hal-hal seperti berkeringat di lapangan, berkompetisi, dan kegiatan-kegiatan fisik lainnya.
Di sisi lain, perempuan yang berolahraga dianggap tomboi dan kurang feminin, sehingga banyak perempuan yang lalu menolak berolahraga karena takut akan tekanan dari lingkungan sekitar.
Padahal olahraga mempunyai banyak dampak positif bagi semua orang tanpa terkecuali.
Sejarah mencatat, ketidaksetaraan dan bias sosial bagi perempuan telah hadir di berbagai bidang kehidupan, termasuk olahraga.
Secara historis, perempuan tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam acara olahraga dan peran mereka biasanya terbatas sebagai penonton.
Selain itu, menurut laporan berjudul Women in Sports dari YouGov pada 2021, tayangan olahraga atlet pria masih dua kali lebih diminati masyarakat dibandingkan dengan tayangan olahraga atlet perempuan.
Angka tadi boleh mengecilkan, tapi toh partisipasi perempuan dalam olahraga tumbuh secara pesat selama 50 tahun terakhir. Baik sebagai penonton ataupun pemain.
Media massa, seperti televisi dan kemudian Internet, telah membawa olahraga lebih dekat ke masyarakat, terutama perempuan, di mana olahraga sudah lama tertutup bagi mereka.
Baca Juga: Dituding Pakai Narkoba Saat Live TikTok 24 Jam, Caisar Beri Klarifikasi
Sorotan media ini membuat lebih banyak perempuan yang tertarik untuk berolahraga dan atau menekuni cabang olahraga yang disukai, hingga turut mendukung atlet favorit mereka.
Popularitas atlet perempuan di era digital seperti Serena Williams, Breanna Stewart, hingga Greysia Polii juga tidak kalah dari Novak Djokovic, LeBron James, dan Kevin Sanjaya.
Ini menunjukan bahwa ada potensi luar biasa bagi perempuan untuk tumbuh dalam lanskap industri olahraga di masa depan, sehingga dapat menciptakan pasarnya sendiri, baik untuk brand maupun stakeholders lainnya.
Sayangnya beberapa cabang olahraga yang dilakukan perempuan masih menghadapi beberapa tantangan. Terutama cabang-cabang olahraga yang melibatkan benturan fisik, salah satunya sepak bola.
Perempuan dalam Sepak Bola
Sebagai salah satu olahraga terpopuler di dunia, sepak bola kerap dianggap sebagai olahraga yang maskulin karena membutuhkan kekuatan fisik untuk memainkannya.
Anggapan tersebut juga seringkali jadi membatasi pangsa pasar olahraga ini, khususnya untuk sepak bola putri yang cenderung kurang mendapat "airtime" di media karena dianggap kurang kompetitif.
Akibatnya, ketimpangan pendapatan yang didapat oleh atlet profesional perempuan dibandingkan dengan atlet laki-laki.
Padahal jika dilihat secara objektif, sepak bola perempuan tidak kalah "keras" dibanding sepak bola laki-laki.
Baca Juga: Blak-blakan, Kiky Saputri Ngaku Dimanfaatkan Keluarga: Cuma Dibutuhin Uangnya Doang
Menurut sebuah studi, perempuan memalsukan cedera, atau yang biasa kita kenal dengan diving, 50 persen lebih sedikit dari laki-laki; dan saat pemain sepak bola perempuan terjatuh ke tanah saat bertanding, mereka bangkit 30 detik lebih cepat daripada pemain laki-laki.
Mau bicara dari segi hasil? Sepak bola perempuan cenderung menghasilkan banyak gol di kompetisi dunia. Di gelaran Piala Dunia Wanita 2015 misalnya, kala pertandingan antara Tim Swedia melawan Tim Nigeria berakhir sama kuat 3-3.
Kedua tim saling berbalas gol hingga akhirnya pertandingan diakhiri secara dramatis oleh gol di menit-menit akhir dari Fransisca Ordega, striker Timnas Nigeria.
Jika kita melihat dari indikator lainnya, permainan sepak bola wanita level dunia juga kini telah berkembang pesat, seperti USWNT (Timnas Wanita Amerika Serikat) dan Barcelona yang menjadi tim paling populer.
Terkait jumlah penonton, peminat sepak bola wanita juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Contohnya adalah pertandingan tim Barcelona vs Real Madrid wanita pada 2022 lalu yang mencapai hampir 100 ribu penonton.
Di sisi pemain, banyak brand yang juga mulai memilih atlet perempuan sebagai representasi mereka karena adanya daya tarik yang tidak dapat direplikasi oleh atlet laki-laki.
Bahkan, Megan Rapinoe, pemain sepak bola perempuan dari tim Amerika Serikat berhasil masuk ke dalam salah satu dari 100 sosok paling berpengaruh di dunia versi Majalah TIMES pada 2020 lalu.
Geliat Sepak Bola Perempuan di Indonesia
Lain di dunia, lain juga di Indonesia.
Perkembangan sepak bola di tanah air bisa dibilang stagnan jika tidak ingin dianggap tidak ada.
Baca Juga: Sebelum Pensiun Dini, Pastikan Sudah Penuhi Beberapa Hal Ini
Kompetisi sepak bola wanita Indonesia sendiri baru menyelesaikan musim debutnya pada 2019 lalu yang menasbihkan PERSIB Putri sebagai juara, itupun kini terhenti karena pandemi.
Hal ini membuat sejarah prestasi timnas sepak bola wanita Indonesia otomatis mentok di peringkat keempat Piala AFF 2004 dan SEA Games 2001.
Di samping itu, kompetisi dunia yang diikuti Timnas Sepak bola Wanita Indonesia sangatlah minim.
Tercatat mereka baru pernah mengikuti kualifikasi Piala Dunia 2007 (tidak lolos), Piala Asia 2006 (tidak lolos) dan 2022 (lolos), serta Olimpiade Musim Panas 2020 (tidak lolos).
Selain keikutsertaan Timnas di ASIAN Games 2018 di mana Indonesia bertindak sebagai tuan rumah, praktis kompetisi bergengsi yang pernah diikuti oleh Timnas hanya Piala Asia 2022.
Pada gelaran Piala Asia 2022 lalu pun Timnas sepak bola wanita Indonesia tidak dapat berbicara banyak.
Kondisi liga yang sedang berhenti karena pandemi amat berpengaruh terhadap persiapan tim secara keseluruhan hingga penampilan Timnas Indonesia menjadi kurang maksimal dan harus puas terhenti di fase grup.
Meskipun demikian, lolosnya Timnas Indonesia ke Piala Asia 2022 membuktikan bahwa sepak bola putri kita bukannya tanpa potensi.
Beberapa talenta sempat hadir ke permukaan, sebut saja pemain seperti Zahra Musdalifah atau Rani Mulyasari yang menjadi langganan timnas atau Ade Mustikiana dan Shalika Aurellia yang pernah mencicipi atmosfer trial klub sepak bola wanita internasional.
Nama terakhir bahkan sudah resmi menjadi pemain anyar dari Roma Calcio Femminile, klub asal Italia yang bermain di Serie B, kasta kedua dalam piramida sepak bola wanita di Italia.
Maka dari itu, akan sangat disayangkan jika talenta-talenta muda yang ada ini tidak dapat memaksimalkan potensinya hanya karena minimnya kompetisi resmi atau wadah mengasah kemampuan bermain sepak bola mereka.
Di sini juga peran klub profesional untuk "menjemput bola" diperlukan untuk turut serta mengembangkan bakat-bakat yang ada di dalam diri para srikandi muda Indonesia dan sama-sama mengikuti atau membuat kompetisi agar tercipta ekosistem sepak bola perempuan yang sehat.
Namun, semua itu tidak akan berarti jika masih belum ada kompetisi sepak bola perempuan profesional yang berjenjang dan berkelanjutan di Indonesia.
Performa Timnas Sepak Bola Wanita selama ini seharusnya menjadi alarm bagi PSSI dan Federasi untuk bisa menaruh perhatian yang lebih besar terhadap sepak bola perempuan di tanah air secara keseluruhan.
Banyak bukti nyata di mana proses pembinaan dan liga yang baik bisa melahirkan bakat yang tumbuh dengan maksimal sehingga memungkinkan sebuah tim untuk meraih gelar juara.
Timnas Sepak Bola Wanita Amerika Serikat misalnya, memulai dominasinya di piala dunia dan olimpiade sejak tahun 1985 dengan kompetisi antar universitas yang sudah berjalan dengan baik sampai-sampai para pemain sepak bola wanita hebat seperti Mia Hamm hingga Alex Morgan bermunculan.
Jika butuh contoh yang lebih dekat lagi, Indonesia bisa banyak belajar dari bagaimana Jepang sukses membentuk Timnas Sepak Bola Wanita mereka untuk menjadi juara di Piala Dunia Wanita 2015.
Jepang mulai membentuk Timnas Sepak Bola Wanita-nya sejak 1966 dan mulai menjalankan sistem liga profesional sedari 1989. Hal ini juga ditambah dengan kompetisi pembinaan yang dilakukan di seluruh negara pada level sekolah dan universitas.
Tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar Timnas Sepak Bola Wanita Indonesia dapat menjadi tim yang disegani dunia.
Penyelenggaraan kompetisi sepak bola wanita profesional yang kompetitif dengan pembinaan usia muda di seluruh Nusantara bisa menjadi awal agar talenta-talenta seperti Shalika atau Ade bisa disandingkan dengan pemain sepak bola wanita terbaik dunia seperti Megan Rapinoe atau Mina Tanaka.
Harapannya, kelak mereka bisa membawa nama Indonesia ke pentas internasional melalui bahasa universal yang bernama sepak bola.
**
Penulis adalah Vice President Partnership & Activation PERSIB dan mengantongi gelar MSc of Sports Management dari Columbia University, NYC, Amerika Serikat.
Tulisan ini murni opini penulis.
(*)