Soalnya, seseorang yang melakukan flexing itu pasti didasari motif tertentu, dan tujuan flexing nyatanya memang bukan semata-mata cuma untuk pamer saja.
Beberapa motif flexing menurut Wulan di antaranya adalah haus akan pengakuan atau status sosial dari orang lain untuk merasa berharga.
Ada juga yang melakukan flexing demi menutupi kekurangan atau kesedihan mereka.
Agar tak terbongkar atau dikasihani orang, konten pamer kepemilikan harta, pencapaian, atau menghadirkan persona yang berkelas menjadi kamuflasenya.
Sehingga, mereka bisa tetap dipandang sukses dan bahagia tanpa cela.
Dan yang paling sering, flexing di media sosial dilakukan untuk mencari panggung jualan.
Para pelaku flexing sebenarnya sedang bekerja cari uang juga.Mereka sengaja membangun citra diri yang mewah padahal ujungnya berjualan produk atau jasa, jadi bukan sekadar hura-hura bahagia seperti dalam kontennya.
Baca Juga: 5 Cara Menghalau Flexing, Kejarlah Kebahagiaan di Dunia Nyata
Hanya saja konten yang mereka buat memang dapat memengaruhi kita untuk percaya bahwa mereka sangat kaya dan sangat bahagia.
“Flexing ini sebetulnya seperti branding impression management juga. Seseorang berusaha untuk mengatur dipersepsi (oleh) orang lain. Jadi tentunya ada tujuan memengaruhi. Jadi misalnya dianggap lebih baik dan sukses. Jadi kalau dia mau berjualan sesuatu, seperti mengajak, Ayo ikutin gaya hidup saya, ujungnya dengan membeli produk ini, atau membeli jasa itu,” jelas Wulan.
Maka dari itu, kita juga harus hati-hati karena konten flexing bisa membuat kita akhirnya tertekan untuk mencontoh gaya hidup serbamewah.