NOVA.id - Semakin sering kita melihat konten flexing media sosial, kita bisa saja membombardir diri dengan beragam pertanyaan lainnya yang cenderung membandingkan diri.
Ujungnya, konten flexing di media sosial itu bisa bikin kita insecure.
Tapi, kalau dipikir-pikir untuk apa, ya, kita insecure melihat konten flexing yang menampilkan kehidupan lebih “wah”?
Kan lebih baik kita banyak-banyak bersyukur saja.
Kita harus sadar bahwa yang dibagikan di media sosial tidak selalu hal yang nyata atau sebenarnya.
Ya, mereka yang mengunggah kontenkonten flexing bisa saja hidup di dunia nyatanya tak sebahagia unggahannya.
Bahkan, Sri Wulandari, M.Sc., M.Psi., Psikolog., Psikolog dari PION Clinician mengatakan bahwa berdasarkan salah satu penelitian, orang-orang yang melakukan flexing di media sosial justru tidak memiliki banyak teman di kehidupan nyata, lho.
Penerimaan sosialnya berbeda terbalik di kehidupan nyata.
Menurut sebuah penelitian, di kehidupan nyata, orangorang cenderung memilih berteman dengan individu yang tidak flexing di media sosial.
Baca Juga: Fenomena Flexing Merajalela, Mampu Halalkan Segala Cara Demi Terlihat Kaya Raya
Dengan demikian, meski pelaku flexing mendapat pengakuan sosial di dunia maya, belum tentu mereka mendapatkan penerimaan sosial di kehidupan nyata.
“Kalau di sosial media, kan apa yang terlihat belum tentu adalah gambaran utuh dari keseluruhannya. Tapi kemudian kita malah merasa, ‘Ini lho standar sukses, standar bahagia ya seperti ini’ tanpa kita mempertimbangkan di belakang layar mungkin orang (pelaku flexing) tidak seperti itu,” jelas Wulan.
Soalnya, seseorang yang melakukan flexing itu pasti didasari motif tertentu, dan tujuan flexing nyatanya memang bukan semata-mata cuma untuk pamer saja.
Beberapa motif flexing menurut Wulan di antaranya adalah haus akan pengakuan atau status sosial dari orang lain untuk merasa berharga.
Ada juga yang melakukan flexing demi menutupi kekurangan atau kesedihan mereka.
Agar tak terbongkar atau dikasihani orang, konten pamer kepemilikan harta, pencapaian, atau menghadirkan persona yang berkelas menjadi kamuflasenya.
Sehingga, mereka bisa tetap dipandang sukses dan bahagia tanpa cela.
Dan yang paling sering, flexing di media sosial dilakukan untuk mencari panggung jualan.
Para pelaku flexing sebenarnya sedang bekerja cari uang juga.Mereka sengaja membangun citra diri yang mewah padahal ujungnya berjualan produk atau jasa, jadi bukan sekadar hura-hura bahagia seperti dalam kontennya.
Baca Juga: 5 Cara Menghalau Flexing, Kejarlah Kebahagiaan di Dunia Nyata
Hanya saja konten yang mereka buat memang dapat memengaruhi kita untuk percaya bahwa mereka sangat kaya dan sangat bahagia.
“Flexing ini sebetulnya seperti branding impression management juga. Seseorang berusaha untuk mengatur dipersepsi (oleh) orang lain. Jadi tentunya ada tujuan memengaruhi. Jadi misalnya dianggap lebih baik dan sukses. Jadi kalau dia mau berjualan sesuatu, seperti mengajak, Ayo ikutin gaya hidup saya, ujungnya dengan membeli produk ini, atau membeli jasa itu,” jelas Wulan.
Maka dari itu, kita juga harus hati-hati karena konten flexing bisa membuat kita akhirnya tertekan untuk mencontoh gaya hidup serbamewah.
Bahayanya, ketika kita belum bisa sampai di taraf hidup itu, kita bisa mengorbankan hal-hal yang jadi prioritas.
Baik waktu, uang, kesehatan, atau keluarga.
Di sisi lain, jika mengonsumsi konten flexing terus-menerus dan tidak disertai dengan kemampuan kita untuk memfilter, kita bisa terjebak pada penipuan yang menawarkan kekayaan instan.
Ini jadi salah satu hal di luar aspek psikis, tapi bisa membahayakan aspek kehidupan kita yang lainnya.
Jadi, jangan sampai tertipu dengan konten flexing di media sosial, ya.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA, setiap Kamis siang.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)