Dampak Bencana Trauma Anak Bisa Sampai Dewasa, Bagaimana Mengatasinya?

By Dinni Kamilani, Kamis, 22 Desember 2022 | 06:26 WIB
Alami Bencana, Trauma Anak Bisa Sampai Dewasa (tunart)

NOVA.id - Bencana alam bisa terjadi kapan saja, di mana saja. Tak peduli tua, muda, anak-anak, semua bisa jadi korban dari bencana, seperti yang belum lama ini terjadi, yaitu gempa di Cianjur dan erupsi gunung Semeru.

Selain menyebabkan kerugian materiel dan gangguan kesehatan bagi para korbannya, bencana alam juga dapat memberikan efek psikologis bagi para penyintas khususnya anak-anak, lantaran mereka masih punya keterbatasan dalam memahami sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Berikut ini Stephani Raihana Hamdan, S.Psi, M.Psi, Psikolog, psikolog dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) memberikan kiat-kiat yang bisa kita lakukan  sebagai orang tua atau orang dewasa agar anak bangkit dan pulih setelah mengalami bencana. Apa saja?

Baca Juga: Bermesraan dengan Pasangan di Depan Anak, Boleh Enggak, sih?

1. Mitigasi bencana

Letak Indonesia berada dalam garis Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire yang rawan bencana. Dengan kondisi itu, suka atau tidak suka kita dituntut untuk siap dengan bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Karena itu penting untuk mengajarkan anak-anak mitigasi bencana. Selain membantu mereka menyelamatkan diri saat terjadi bencana, hal ini juga bisa mengurangi trauma yang mungkin bisa terjadi saat mereka menjadi penyintas bencana alam. Caranya?

“Dijelaskan dengan konkret kepada anak, apa bencana yang mungkin terjadi. Kalau longsor, kita sampaikan longsor itu apa, gempa kejadiannya seperti apa. Misal ada gerakan di tanah, ada benda bergerak, barang berjatuhan, berarti itu gempa,” jelas Stephani.

Baca Juga: Si Kecil Punya Idola Dewasa, Orang Tua Jangan Langsung Panik

Sederhana saja, kita bisa mengajarkan anak dengan melakukan simulasi apa yang bisa dilakukan saat terjadi bencana, hingga mengenalkan jalur evakuasi dan sebagainya.

2. Tetap tenang

Jika bencana sudah terjadi, hal pertama yang bisa kita lakukan adalah tidak panik atau setidaknya tidak menunjukkan kepanikan di depan anak.

“Orang dewasa yang mendampingi anak-anak dalam hal ini orang tua atau walinya harus bersikap tenang karena anak itu seperti spons, dia sangat tergantung dengan apa yang ada di sekitarnya. Jadi kalau sekitarnya tenang maka dia akan menyerap rasa itu sehingga dia ikut tenang,” jelas Stephani.

Baca Juga: Bantu Anak Pelajari Keberagaman, LEGO Hadirkan Karakter Baru yang Unik

Sebaliknya, saat kita panik atau bahkan emosional maka anak juga panik bahkan semakin ketakutan.

Sehingga sebaiknya kita tetap berusaha tenang sambil membantu menenangkan si kecil yang mungkin terlihat kaget atau takut.

Selanjutnya, pastikan kebutuhan dasar anak terpenuhi, mulai dari tempat tinggal yang aman, pakaian, makanan, sampai mainan yang bisa membantu menenangkannya. Barulah setelahnya diobservasi apakah anak masih panik, kaget, atau bahkan trauma.

Baca Juga: Ketika si Kecil Menelan Benda Asing, Orangtua Harus Bagaimana?

3. Jelaskan kondisi yang terjadi

Ya, tidak seperti orang dewasa, anak bisa saja bingung dan kesulitan mencerna dengan situasi yang terjadi, bahkan dengan perubahan situasi yang berubah secara tiba-tiba.

Saat bencana terjadi, ajak anak berbicara. Jelaskan situasi dan kondisi yang sedang terjadi, termasuk saat harus mengungsi.

Misal, kita bisa mengatakan, “Kita untuk sementara dalam beberapa hari ke depan akan tinggal di sini, kondisinya akan berbeda dengan di rumah kita. Kondisinya sedang membahayakan sehingga kita belum bisa pulang, tapi di sini ada Mama dan Papa sehingga kamu enggak perlu khawatir.”

Baca Juga: Jangan Bingung, Ini Rekomendasi Les untuk Anak 3 sampai 5 Tahun

 

Berikan juga informasi kepada si kecil perkiraan berapa lama kita akan tinggal di pengungsian.

4. Hiburan

Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, seperti tempat tinggal sementara yang aman, anak bisa istirahat dan makan dengan layak, maka barulah kita bisa menghibur anak untuk mengalihkan perhatiannya dari bencana yang terjadi.

Bisa dengan sekadar bercanda, mengobrol bersama, bermain, atau bernyayi bersama di pengungsian.

5.Perbaiki rutinitas

Terakhir, setelah melakukan kegiatan yang menurunkan ketegangan, kita bisa mulai memerhatikan rutinitas anak dalam hal belajar.

Baca Juga: Hati-Hati! Bercanda Menakut-nakuti, Bisa Ganggu Kesehatan Mental Anak

Kata Sthepani, “Harus kita pikirkan agar rutinitas anak tidak hilang. Rutinitas mereka belajar, istirahat, bermain. Misal harus tetap mengaji beribadah, itu harus tetap dilakukan, termasuk diperhatikan rutinitas jadwal istirahat anak.”

Jadi, meskipun berada di pengungsian, sebaiknya anak tetap memiliki rutinitas yang baik. Jangan sampai misalnya di pengungsian anak malah jadi bergadang setiap malam. Pokoknya, sebisa mungkin anak tetap memiliki rutinitas yang sehat dan semirip mungkin dengan biasanya. (*)