Bahkan, menurut suami, ia sempat “sampai” karena tak tahan. Maaf, ya, Bu, kalau saya vulgar.
Cuma kurang lebih sepuluh bulan, kata suami, hal itu berlangsung. Saya pun enggan bertanya kapan berakhir.
Si ibu bos harus ikut suaminya yang menjadi profesor tamu di sebuah universitas di luar negeri. Dia tak punya anak dan anak-anak tirinya sudah menikah semua.
Jadi my enemy sudah tak ada sebenarnya ya, Bu. Saya jengkel, marah, tapi di sisi lain masih bisa berterima kasih bahwa ia mau jujur.
Kalau saya tak bisa melupakan pengkhianatan ini, bagaimana jadinya hubungan kami kelak?
Kalau saya mau lepas dari semua memori ini, kan, harus cerai? (Tentu saja tidak harus cerai, RH.)
Masak iya sih, saya mengandung anak yang kami tunggu sekian lama, lalu anak saya lahir sebagai anak janda? Saya benar-benar bingung, kalut, dan tak tahu harus apa.
Padahal kata dokter, ketenangan batin akan sangat memengaruhi perkembangan janin. Mana bisa tenang, sih?
Suami sangat suportif, tidak ada perubahan sikap dan perlakuan, karena kalau ia mulai lebay saya malah “ngamuk”, mengatakan, “Tak usah sok menebus dosa!!!” Tanda serunya sampai tiga, Bu. Bantu saya ya, Bu. Terima kasih.
Menur – Jakarta
Bagaimana jawaban Bu Rieny?
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Suamiku Suka Trolling, Memancing Kemarahan Orang