Konsultasi Psikologi: Saat Aku Hamil, Suamiku Akui Perselingkuhannya

By Made Mardiani Kardha, Selasa, 21 Maret 2023 | 14:53 WIB
Konsultasi Psikologi: Saat aku hamil, suamiku akui perselingkuhnnya. ()

NOVA.id - Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.

Di saat aku hamil tiga bulan, suamiku mengakui perselingkuhannya dengan bosnya. Kalau saya tak bisa melupakan, bagaimana hubungan kami kelak?

TANYA

Bu Rieny Yth,

Setelah delapan tahun menikah, saya hamil. Baru di bulan ketiga saya tahu positif hamil karena memang saya terbiasa tidak teratur menstruasinya. Maaf, kalau loncat-loncat, ya, Bu, sudah keburu ingin cerita ke Ibu.

Mestinya saya bahagia, ya, tetapi justru ketika tahu saya hamil, suami berterus terang bahwa dia pernah berselingkuh dengan atasannya.

Mengapa dia mengaku saat tahu saya hamil? Katanya, dia tak ingin menjadi ayah pembohong untuk anaknya kelak.

Hati dan perasaan istrinya tampaknya tidak dia indahkan, buktinya tak ada kata-kata “istri” yang ia sebutkan.

Memang, perempuan selingkuhannya ini terkenal senang menyerempet-nyerempet karena suaminya sudah sepuh dan tokoh yang disegani.

Sejak 5 tahun yang lalu, saya hanya mengerjakan assignment dari kantor lama yang tak mau melepaskan saya untuk berhenti kerja.

Penghasilan saya cukup, tidak sebesar suami, tetapi...

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Jatuh Hati Sampai Insomnia dan Tersiksa, tapi Dia Cuek Saja

Penghasilan saya cukup, tidak sebesar suami, tetapi uang saya memang sepenuhnya untuk saya karena suami mau dia yang membiayai rumah. It’s okay for me.

Suami bertanggung jawab, kok, untuk mebuat saya tak pusing masalah uang. Saya sendiri juga lahir sebagai anak pengusaha sukses, tapi tidak manja.

Lanjut ya Bu, kisah ini dimulai sejak suami malas membawa mobil karena buang waktu dan bensin. Jadi ia memilih moda transportasi umum yang sudah makin baik itu. Ternyata selama ini ia merasa habis energi karena menyetir pulang-pergi.

Kalau saya kilas balik, saya menandainya ia makin rajin mengajak berhubungan intim. Padahal sebelumnya, hanya week end-lah kalau dia tak harus bangun pagi.

Kami sudah pernah berusaha sampai ke bayi tabung, tetapi memang akhirnya gagal karena sperma suami kurang prima. Di antara penyebabnya, kata dokter adalah kelelahan fisik.

Mengetahui suami naik kendaraan umum, suatu hari ibu bos-nya menawarkan untuk ikut dia karena searah. Toh, dia sendirian, lagipula bisa hemat, apalagi saat hujan, susah ke halte. Di situlah dimulainya perselingkuhan suami.

Suami mengatakan tidak pernah check in ke hotel, tidak pernah berhubungan badan. Tetapi suami mengaku nyaman ngobrol di mobil bersama Si Genit ini.

Tentu saja tangannya merajalela, tetapi so far, menurut suami dia cuma penikmat. Tidak membalas “serangannya”. Aduh, ibu bos itu, sudah cantik, seksi, genit, semobil hanya berdua?

Kami berdua adalah pembaca rubrik Ibu. Ibunya dan ibu saya juga membaca rubrik Bu Rieny sejak kami kecil.

Kata suami saya, Bu Rieny berkali-kali mengatakan, merasa nyaman berduaan dengan bukan muhrim sudah bisa dikatakan selingkuh. Apalagi kalau diniatkan, setiap hari kerja pula.

Bahkan, menurut suami, ia sempat “sampai”…

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Menagih Utang ke Suami Seperti Pengemis 

Bahkan, menurut suami, ia sempat “sampai” karena tak tahan. Maaf, ya, Bu, kalau saya vulgar.

Cuma kurang lebih sepuluh bulan, kata suami, hal itu berlangsung. Saya pun enggan bertanya kapan berakhir.

Si ibu bos harus ikut suaminya yang menjadi profesor tamu di sebuah universitas di luar negeri. Dia tak punya anak dan anak-anak tirinya sudah menikah semua.

Jadi my enemy sudah tak ada sebenarnya ya, Bu. Saya jengkel, marah, tapi di sisi lain masih bisa berterima kasih bahwa ia mau jujur.

Kalau saya tak bisa melupakan pengkhianatan ini, bagaimana jadinya hubungan kami kelak?

Kalau saya mau lepas dari semua memori ini, kan, harus cerai? (Tentu saja tidak harus cerai, RH.)

Masak iya sih, saya mengandung anak yang kami tunggu sekian lama, lalu anak saya lahir sebagai anak janda? Saya benar-benar bingung, kalut, dan tak tahu harus apa.

Padahal kata dokter, ketenangan batin akan sangat memengaruhi perkembangan janin. Mana bisa tenang, sih?

Suami sangat suportif, tidak ada perubahan sikap dan perlakuan, karena kalau ia mulai lebay saya malah “ngamuk”, mengatakan, “Tak usah sok menebus dosa!!!” Tanda serunya sampai tiga, Bu. Bantu saya ya, Bu. Terima kasih.

Menur – Jakarta

Bagaimana jawaban Bu Rieny?

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Suamiku Suka Trolling, Memancing Kemarahan Orang

JAWAB

Jeng Menur tersayang,

Terlebih dahulu saya ucapkan selamat menjalani fase paling bahagia bagi seorang istri, kehamilan pertama. Rajin-rajin berkomunikasi dengan anak Anda, mengelusnya, meminta suami untuk juga banyak ngobrol dengan anaknya.

Bisa saya pahami kenyataan yang baru saja tersaji sangat melukai hati Anda.

Tetapi, ingin sekali saya ingatkan pada Anda, janganlah menyederhanakan masalah yang tidak sederhana, karena ini bisa membuat Anda tampak sederhana dan lalu mudah direndahkan.

Akan tetapi juga jangan memperbesar masalah sederhana, karena akhirnya energi akan habis saat menghadapi masalah yang memang tidak sederhana.

Overthinking Jadi Racun

Yang Anda hadapi kini, sebenarnya tidak sederhana, karena happy-happy-nya suami berlangsung cukup lama, bukan?

Kalau Si Genit tidak pindah, bagaimana? Ini, kan, yang ada di benak Anda?

Banyak “kalau”, “padahal”, “bisa saja”, “andaikata”, dan segala pengandaian yang tak bakal terwujud, karena semua hanya rekayasa Anda di dalam pikiran yang sedang dipenuhi oleh pemikiran negatif.

Ayo, segera kembali...

Baca Juga: Tanya Jawab Psikologi NOVA: Apa Saja Dampak Perceraian pada Anak?

Ayo, segera kembali ke kenyataan. Ibu itu sudah pergi, suami tak juga mencari teman pulang yang lain, selalu kembali ke rumah.

Dia juga jujur bahwa dia tak melakukan hubungan badan dan saat ini malah berani mengambil risiko bahwa Anda akan marah besar. Dia tidak mau jadi ayah pembohong.

Tapi semua overthinking yang negatif akan jadi racun, sayangku.

Tidak Harus Lupa

Anda pasti mengatakan, “Tapi kan benar, nyata, dia dulu begitu..” Iya, saya juga tak minta Anda untuk lupa. Karena, tidak mungkin lupa, memang.

Yang saya minta, menolehlah ke masa lalu hanya untuk benar-benar menggali sisi manfaatnya yang bisa Anda pelajari, agar tidak sampai terjadi lagi.

Kemudian, segera putar kembali diri Anda, seluruhnya—jiwa dan raga—untuk berdiri tegak pada kenyataan bahwa hidup terus berjalan, dan itu arahnya ke depan, tidak ke belakang.

Maka menoleh ke belakang terus menerus, akan menghilangkan peluang Anda untuk membangun kebahagiaan bersama, bertiga—nantinya.

Kehamilan yang diwarnai lebih banyak emosi negatif, sudah terbukti akan menghasilkan bayi yang rewel di trimester pertama.

Ketika Anda tidak tenang, bagaimana Anda akan merespons positif upaya suami untuk membangun kembali rasa percaya Anda?

Tidak mungkin ingatan tentang ini akan hilang,...

Baca Juga: Tanya Jawab Psikologi NOVA: Suamiku Tak Bisa Ereksi Tapi Tukang Selingkuh

Tidak mungkin ingatan tentang ini akan hilang, akan tetapi sangat mungkin untuk mendorongnya jauh-jauh dari ingatan. Sehingga perasaan Anda tak terganggu saat ingatan tentang itu berkelebat lagi.

Bangun Gambaran Seorang Ibu yang Bijak

Bukalah hati Anda untuk melihat upaya suami menebus kesalahan masa lalunya.

Kelak, kalau sudah benar-benar adem, Anda bisa duduk bareng dan membahas bagaimana caranya agar suami tak mudah tergoda.

Mulai sekarang, bangunlah gambaran seorang ibu sekaligus istri yang makin dewasa dan bijak.

Yang bisa membuat suami tak terhambat untuk menceritakan kegelisahannya dan juga mimpi-mimpinya untuk anak yang lama ia tunggu kehadirannya.

Menemukan topik bahasan yang positif bisa membuat Anda makin yakin bahwa Anda berdua memang ditakdirkan bersama-sama, dampaknya lebih besar dibandingkan dengan gaya kekanakan.

Misalnya, “Ayo janji, Mas enggak akan jatuh hati lagi sama perempuan lain!” Ini—maaf— norak menurut saya.

Bahas hal positif yang bisa Anda berdua raih di masa datang dan bukannya menjadikan dia bulan-bulanan dari lunturnya percaya diri Anda.

Harus pede, ya, sayangku, bahwa kita memang berharga untuk dicintai. Saya tidak bosan, kok, kalau Anda surati saya lagi. Salam sayang, eluskan perut buat saya, ya. Hello, baby, cium sayang dari nenek Rieny.(*)

Tulisan ini sudah pernah dimuat di tabloid NOVA, di rubrik Tanya Jawab Psikologi.

(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan “Konsultasi Psikologi” pada subjek email. Tuliskan juga nama–boleh nama samaran–dan kota domisili Anda.)