NOVA.id - Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.
Karena aku menikah dua kali, anakku tak bisa memenuhi tugas sekolah membawa foto pernikahan ayah-ibunya. Tapi haruskah anakku di-bully seperti itu oleh teman-teman dan orang tua murid lainnya?
TANYA
Bu Rieny yang terhormat,
Saya punya seorang putri dari pernikahan saya sebelumnya. Saya bercerai dengan ayahnya waktu dia masih satu setengah tahun.
Setahun kemudian, saya menikah lagi dengan duda yang kebetulan juga bercerai.
Ketika kami menikah, karena masalah biaya dan ini-itu, kami memutuskan tidak resepsi, cukup memenuhi aturan agama saja.
Orang tua kami juga untungnya setuju. Pernikahan kedua ini, alhamdulillah langgeng, Bu. Suami saya juga baik dan sayang pada putri saya.
Masalah yang ingin saya ceritakan pada Ibu adalah, putri saya ada sedikit masalah di sekolah, Bu.
Jadi, beberapa waktu lalu, gurunya meminta anak-anak membawa foto pernikahan orang tua. Putri saya tentu saja tidak punya. Apalagi foto pernikahan pertama sudah saya buang semua.
Nah, gara-gara ini anak saya jadi sering diejek,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Kupikir Sibuk, Ternyata Pacarku Menikahi Perempuan yang Dihamilinya
Nah, gara-gara ini anak saya jadi sering diejek, mulai dari kami dikatai sebagai orang tua yang tidak benar, sampai-sampai ada pula yang mengatakan dia anak pungut.
Jeleknya lagi, omongan buruk ini juga beredar di kalangan orang tua murid.
Ini membuat saya jadi bertanya-tanya, apakah setiap anak pulang sekolah, alih-alih menanyakan kemajuan belajarnya, para orang tua malah mnyelidiki, ”Ada isu apa?”
Bahkan ada yang tega tanya ke saya waktu menjemput anak, apa benar dia ini anak simpanan makanya tidak boleh ketahuan orang siapa orang tuanya. Ngaco berat kan, Bu?
Saat ini, anak saya tetap berangkat ke sekolah, tetapi keceriaannya hilang.
Untungnya dia masih mau berterus terang tentang celotehan teman-temannya dan juga masih menjawab kalau saya mencari tahu apa yang dirasakan.
Saya ingat, di kanal ini Bu Rieny pernah mengatakan, bila mau menggali lebih jauh tentang perasaan anak terhadap masalah yang dihadapi, kita perlu lebih menjurus ke “apa”, bukan “mengapa”.
Dengan demikian, orang tua akan mendapat fakta dan bukan penilaian anak terhadap masalahnya. Benar ya, Bu? (Iya, benar sekali, RH).
Saya ingin anak saya lebih berani bicara, menerangkan bahkan membantah bila “diserang” oleh omongan jahat teman-temannya.
Saya sendiri—jujur saja—memang lebih memilih untuk tidak konfrontatif menghadapi ibu-ibu rempong itu.
Saya tidak suka bersitegang, Bu Rieny,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Kesal Keluarga Besar Terus Mengatai Anakku
Saya tidak suka bersitegang, Bu Rieny, makanya saat ini saya berusaha menghindar saja dari kerumunan mereka bila menjemput ke sekolah.
Apa yang harus saya lakukan, ya, Bu? Terima kasih. Nama saya tolong disamarkan, ya.
Kemala – di X
JAWAB
Ibu Kemala Yth,
Masalah yang terasa sedikit, bila tak tertangani dengan baik akan bisa menjadi besar, apalagi bila urusannya adalah gosip.
Anak Meniru Orang Tua
Mama Kemala, kan, tahu bahwa anak kita pastinya belajar tentang bagaimana dia hidup di dunia ini, bagaimana dia mencoba mengatasi masalah yang ia alami, di antaranya dengan melihat perilaku, sikap, dan sifat ibundanya. Meniru, lebih tepatnya.
Baru setelah perkembangan otaknya berlangsung makin kompleks, ia akan makin mampu mencerna, menelaah, dan memutuskan mana yang akan ia lakukan juga, mana yang tidak.
Ini sejalan dengan makin mampunya ia mencerna norma kehidupan serta nilai-nilai yang diajarkan padanya.
Sehingga ia makin mampu membedakan benar-salah,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Saat Aku Hamil, Suamiku Akui Perselingkuhannya
Sehingga ia makin mampu membedakan benar-salah, baik-buruk, diterima-tidak diterima, oleh orang lain dan masyarakat di mana dia hidup.
Bagaimana, ya, dampaknya bila putri Anda melihat, ternyata bundanya tidak berkata keras, melainkan masih tetap bermanis-manis dengan ibu-ibu yang jelas-jelas mengatakan dia anak angkat?
Bukankah ia lalu juga belajar untuk mencoba tidak konfrontatif ?
Padahal, dalam hidup, kita juga perlu belajar bagaimana harus mempertahankan diri maupun pendapat bila ada perbedaan kepentingan maupun pandangan dengan orang lain.
Sudah bagus sekali, Anda mampu mengembangkan hubungan dan interaksi positif dengan anak sehingga ia tak terhambat bercerita pada Anda.
Akan tetapi, menurut saya, anak ini butuh bantuan bundanya.
Datangi Guru dan Kepala Sekolah
Saya sarankan Anda segera datang ke guru kelasnya dan menerangkan apa yang terjadi.
Ceritakan saja bahwa pernikahan dengan ayahnya sekarang ini tidak dirayakan, sementara foto-foto pernikahan dengan almarhum ayahnya juga sudah dimakan rayap.
Mintalah agar guru kelas menyuruh murid yang mengomentari anak Anda dengan negatif agar berhenti melakukan verbal bullying ini.
Kepada para ibu-ibu Geng Nunggu Anak yang hobinya berbicara nyinyir,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Jatuh Hati Sampai Insomnia dan Tersiksa, tapi Dia Cuek Saja
Kepada para ibu-ibu Geng Nunggu Anak yang hobinya berbicara nyinyir, pada saat yang tepat dan Anda bisa masuk ke dalam percakapan mereka, katakan bahwa anak Anda adalah anak kandung.
Tidak perlu menjawab pertanyaan bila “dikorek-korek” lebih lanjut mengapa tidak ada foto.
Perlihatkan ekspresi wajah tidak nyaman, akan tetapi Anda ulang lagi bahwa anak Anda adalah anak kandung.
Bila Anda mau memperlihatkan ketidaknyamanan Anda secara terbuka, saya yakin mereka akan melihat hal ini.
Bila belum reda, jangan ragu untuk juga datang ke kepala sekolah untuk mengadu.
Katakan ke guru kelas, bahwa Anda merasa perlu menghadap kepala sekolah karena masalahnya sudah dengan para ibu dan bukan tentang anak di kelas lagi.
Apa yang Anda lakukan ini tak akan luput dari pengamatan anak Anda. Bahkan saat bersamanya, ceritakan dengan gamblang bahwa mereka tidak punya hak untuk bicara begitu pada anak Anda.
Bahwa menjaga agar suasana rumah menyenangkan untuk Anda bertiga dengan ayahnya, adalah hal yang harus dipelihara dengan selalu saling mengasihi. Lebih penting dari sekadar foto belaka.
Contoh Kasus
Saya gemas benar, melihat hal seperti ini. Sambil membahas dan menjawab ini, saya jadi melihat ke saat-saat di mana anak saya masih SD dulu.
Memang ada, kok, kerumunan para ibu yang duduk berbaur dengan para pengasuh...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Suamiku Suka Trolling, Memancing Kemarahan Orang
Memang ada, kok, kerumunan para ibu yang duduk berbaur dengan para pengasuh anak-anak.
Dan kalau bahan obrolan sudah habis, apalagi yang mau dikunyah-kunyah kalau bukan mencari gosip tentang orang tua murid yang jarang muncul?
Padahal yang tidak sering muncul bisa jadi karena bekerja. Akan tetapi ada saja tuh yang mengatakan, “Enggak ada perhatian sama anak” atau “Kasian, ya, si Mila, ibunya enggak pernah ada.”
Yang saya lakukan dahulu, saya mencoba kenal sambil mencari “tokoh” yang mereka anggap “kepala suku” mereka, lalu lebih intens bergaul dengannya.
Bila terlihat akrab, biasanya ibu-ibu lain akan segan menjadikan kita sebagai “topic of this week-nya”. Dengan mereka, kenal hai-hai saja sudah cukup. Anda pasti bisa melakukan ini, kan?
Selamat mencoba, tetapi sekali lagi, datangi guru kelas, ya, dan tuntaskan.
Karena anak Anda sedang berada di dalam fase perkembangan rasa percaya diri yang di usia ini akan sangat dipengaruhi oleh cara ia menerima dirinya tanpa penilaian yang buruk atau rendah tentang dirinya.
Beri kesempatan untuk punya minat atau hobi yang bisa menyibukkan dirinya, sehingga waktunya terisi dengan hal yang positif.
Mudah-mudahan sekarang bersemangat untuk melakukan ini semua. Salam sayang.(*)
(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan “Konsultasi Psikologi” pada subjek email. Tuliskan juga nama–boleh nama samaran–dan kota domisili Anda.)