Curhatan Istri, Sulitnya Mempertahankan Pernikahan Bersama Suami yang Bipolar

By Rieny Hassan, Kamis, 13 Juli 2023 | 21:05 WIB
Curhat Pasangan Bipolar (Juanmonino)

NOVA.ID - Tulisan ini merupakan surat kiriman Sahabat NOVA yang dijawab oleh psikolog, DRA. RIENY Hassan dan pernah dimuat di Tabloid NOVA.

Tanya:

Bu Rieny yang terhormat, Saya harap-harap cemas Bu Rieny tak menjawab email saya ini, karena dianggap bukan masalah besar.

Padahal buat saya, ini benar benar membikin hidup serasa di jet coaster,  sebentar saya bisa serasa melambung ke awan,  lalu beberapa kejap, bukan sekejap maksudnya,  saya sudah menukik lagi ke bawah.

Ke dasar dari rasa putus asa saya yang tak  tahu harus berbuat apa.

Lelah rasanya menjalani  hidup seakan tanpa kendali diri yang sehat.

Kalau sudah begini, saya jadi teringat reaksi  almarhumah Ibu ketika saya mengutarakan niat  untuk menikah dengan mantan pacar SMA saya.

“Nduk, ternyata pendidikan tinggi yang kau  raih bukan hanya membuat kita berpisah lama  karena sekolahmu yang di luar negeri itu. Tetapi  juga membuat Mama tidak punya cukup waktu  untuk mengajakmu berpikir dan melihat masalah  perempuan dalam berumah tangga. Bahkan  contoh yang Ayah dan Mama lakukan dalam  perkawinan kami pun, banyak sekali yang tak  kamu alami bersama kami.”

Saya meraih S-2 di Australia, benar-benar  ngebut karena saya tak ingin berlama-lama di sana.

Saya anak tunggal dan waktu saya  berangkat Mama baru pulih dari serangan jantung pertamanya.

Serangan kedua terjadi, saya ada di sana, dan tak bisa kembali ke tanah air, hanya  meratap-ratap saja di sana.

Baca Juga: Mau Renovasi dan Beli Perlengkapan Rumah, Pakai Kartu Kredit atau Tunai?

Jangan heran ya Bu Rieny kalau Mama katakan lama sekali, padahal hanya tiga tahun dan setahun terakhir  saya melakukan penelitian dasar (basic) untuk  memantapkan disertasi saya.

Kelak, profesor  saya sudah menjanjikan saya bisa lanjut hingga  S-3 bila kondisi memungkinkan.

Saya pulang, kembali bekerja dan bertemu  dengan Mas T, yang menghidupi dirinya sebagai seniman.

Melukis, main musik di cafe untuk  nafkahnya dan punya banyak aktivitas di komunitas berkeseniannya.

Awalnya, saya terpukau oleh warna warni  hidupnya, banyak ketemu orang, luwes bergaul  dan cara ia memandang penyakitnya yang terasa  ringan dan tak mengganggu itu.

Toh banyak  seniman kaliber dunia, juga artis film terkenal  yang bipolar, katanya.

Pesona itu nampaknya yang membawa  saya mantap memutuskan untuk jalan bareng,  menikah.

Mama meninggal 6 bulan yang lalu,  dan saya tak punya “pengarah gaya” lagi dalam  hidup saya Bu Rieny.

Tampaknya saja saya ini modern, mandiri  dan cerdas.

Padahal di dalamnya, saya adalah  anak manja yang tak sanggup menghadapi  kesulitan hidup dan saya punya.

Mama yang  biasanya membantu menyelesaikan masalah,  karena ayah punya segunung cinta pada saya,  tapi saya tak pernah lari ke beliau, kecuali untuk  minta dipeluk dan disayang-sayang.

Baca Juga: Tidak Mau Menyentuhku, Suamiku Malah Nonton Video Porno Terus

Setelah menikah, baru saya tahu bahwa saat  Mas T sedang diam, depresi, tak mau bicara,  mandi ataupun ke luar kamar, adalah saat yang  membuat saya juga merasa seperti tak punya  tulang.

Lunglai.

Dan kalau ia sedang berada di euphorianya,  bisa tidak tidur dua hari mengerjakan lukisan,  atau mengaransemen lagu untuk grupnya,  pokoknya kreatif Bu.

Menyuruh ke dokter untuk  konsultasi saja, makin hari makin susah.

Awal menikah ia tertib minum obatnya  dan gejala pun terkendali.

Tapi, sampai jenuh  saya ingatkan, susah sekali membuatnya patuh.

Padahal, riset saya adalah tentang bagaimana  mengembangkan tenik pengajaran yang memandirikan individu.

Tapi suami susah sekali saya ajak untuk  memikirkan hidupnya dengan meninggalkan tamengnya, bahwa ia justru jadi kreatif karena  bipolar.

Dan mulailah ia menyebut nama sederet  seniman dan artis terkenal yang bipolar.

Aduh Bu  Rieny, sungguh tak mudah.

Saya sudah menjelang 36 tahun, menikah terlambat untuk ukuran kampung saya, belum  punya anak.

Baca Juga: Kalau Gaji Pas-pasan, Bagaimana Caranya Saya Bisa Beli Rumah? 

Karena frekuensi hubungan intim  kami juga sangat rendah.

Tetapi, masalah ini tak  saya pikirkan benar, saya punya kesibukan positif  yang bisa menetralisir kebutuhan biologis saya,  kok.

Cuma, saya makin resah, seiring waktu  berjalan, saya bayangkan, akhirnya Ayah akan meninggal juga.

Lalu, saya punya momongan yang makin lama makin memburuk kondisinya tak punya anak, kalau saya bisa menuntaskan  S-3 saya, suami sudah sejak awal tak mau ikut ke  sana.

Tapi saya juga ragu, apa benar peluang itu  masih ada?

Karena teman seangkatan sudah  lama kembali dengan gelar doktornya.

Kini yang  tersisa adalah hubungan baik dengan almamater  dan karena saya rajin meneliti dan menulis di  jurnal, saya masih beredar di orbit ini.

Salahkah kalau saya bercerai  saja, Bu?

Maaf, saya tahu Ibu  Rieny bukan penganut aliran  perceraian.

Saya membaca NOVA sejak SMP karena Mama almarhumah  adalah penggemar beratnya rubrik ini.

Saya senang karena Ibu lugas, tidak  berandai-andai dan tak segan menjabarkan kesalahan penanya, tanpa terasa berpihak (wow,  terlalu banyak tuh pujiannya, terima kasih,  RH.).

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Kupikir Sibuk, Ternyata Pacarku Menikahi Perempuan yang Dihamilinya

Saya pernah utarakan ini pada suami, ia  menangis, lo, Bu.

Tidak tega sebenarnya, karena selain bi[1]polarnya, ia sungguh berusaha membuat saya  bahagia, dan tidak menjadi beban buat saya.

Terima kasih, Bu.

Cempaka – somewhere

Jawab:

Dear Cempaka,

Banyak masalah keidupan memang tak  bisa kita lihat dalam perspektif salah-benar,  kecuali perselingkuhan ya, yang jelas-jelas  salah.

Karena menurut hemat saya itu adalah  bentuk pengkhianatan terhadap komitmen perkawinan.

Selain dari itu, masalah perkawinan  biasanya berakar pada kegagalan seseorang  untuk memahami perspektif pasangannya  tentang suatu permasalahan.

Bumbu-bumbunya adalah sikap tidak dewasa, atau bisa  juga egoisme yang lapar, dan rasa takut tak  beralasan yang menyebabkan seseorang tak  mau belajar mengadopsi nilai kehidupan yang baru.

Juga sikap dan kebiasaan hidup yang  lebih berkualitas.

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Menagih Utang ke Suami Seperti Pengemis

Saya yakin, sebagai sosok berpendidikan  tinggi, Anda sudah melahap habis informasi  yang tersedia mengenai bipolar dan  pertanyaan saya, apakah sudah Anda bagi ke  suami?

Dalam kemasan informatif mestinya, dan bukan menyalah-nyalahkan Mas T.

Semisal, “Kan, sudah tahu Mas, obat harus  diminum, kok, kayak anak TK,  sih, mesti tiap hari aku  yang sediakan”.

Karena, bisa saja,  ia tahu tapi sekaligus ngharap bahwa sebagai istrinya, Andalah  yang harus mengingatkan, membawakan si  obat dan menungguinya minum obat sambil  tersenyum penuh kasih?

Tidak gombal Bu, Karena ini ekspresi  nyata dari apa yang kita dengung-dengungkan  sebagai cinta, yang menumbuhkan kebutuhan  untuk memberi perhatian dan kepedulian  kita atas kenyamanan, kebahagiaan dan  kesejahteraan pasangan hidup kita, bukan?

Secara sederhana, sebenarnya bahasa  cinta setiap orang bisa berbeda-beda, tetapi RASA yang dihasilkan akan relatif sama, yaitu  resonansi dari perasaan positif yang mustinya  menyebabkan pasangan kita akhirnya percaya, yakin bahwa bersama kita, dia mengalami banyak perasaan positif sehingga  tumbuh keinginannya untuk mempertahankan  kenyamanan ini.

Caranya?

Melakukan yang ia senang kita akukan, memberinya apa yang ia harapkan  dari kita, dan meyakinkannya bahwa kalau  ada sesuatu yang perlu diubah, maka kita  memang berubah bukan karena dia, tetapi  karena kita tahu bahwa inilah salah satu cara  kita untuk membuat diri kita bahagia.

Benar,  kita dulu yang merasa bahagia, baru orang  lain akan bisa kita buat bahagia.

Berikutnya, akan ada sebuah wawasan  dalam pikiran kita, untuk membagi lagi ke[1]bahagiaan yang berawal dari apa yang  dilakukan dan diberikan pasangan hidup  kita, terus begitu.

Seperti sebuah lingkaran  berkesinambungan, yang makin lama makin  besar pengaruhnya pada kehidupan.

Baca Juga: Berkaca dari Raihaanun, Menikah dengan Penderita Bipolar Rentan Perselingkuhan?

Karena  sifat positifnya tadi, yang lalu membuat kita  ingin mengalaminya lagi, dan lagi.

Bagaimana kalau Jeng Cempaka me[1]nerapkan ini dan mulai lagi mengajak suami  untuk kembali membangun kebiasaan mengelola bipolarnya dengan lebih disiplin?

Tunjukkan apresiasi kalau ia taati prosedur  yang disarankan dokter?

Titik-titik penting untuk memperbaiki  hubungan dengan suami, memang tak lepas  dari pengendalian bipolarnya ya sayangku, maka jangan kesampingkan ini.

Ke dokter,  dengarkan nasihatnya dan jalankan apa yang  diberikan.

Tentu saja, Mas T dan Anda perlu saling  menguatkan motivasi untuk mengatasi  dan mengelola bipolar ini bersama.

Di sisi  Anda, pasti akan banyak sekali kesabaran,  pengendalian diri saat ia sedang kumat  (maaf, saya tidak bermaksud kasar memakai kata kumat).

Dan karena antisipasi serta pence[1]gahan selalu berdampak baik, bagaimana  kalau Anda rajin mencari tahu, paling  baik adalah bertanya pada psikiater yang  menangani Mas T.

Faktor pencetus apa  yang harus ditenggarai seksama, agar  sedapat mungkin dihindari.

Yang berikut, jangan diam di zona Anda  sekarang ini.

Selalu mencoba membuat situasi  yang ada sebagai tantangan untuk bersikap  dan bertindak lebih efektif lagi.

Agar bisa  menghasilkan dampak yang lebih positif pada  kehidupan Anda dan Mas T.

Apa boleh buat, nampaknya memang  sudah tak perlu dipertanyakan lagi, Andalah  yang harus lebih banyak berinisiatif me[1]lakukan ini semua, sambil tak lupa meng[1]gandeng tangan suami, menapaki kebaikan  dan keindahan perkawinan.

Di atas semua ini, sebenarnya Anda  selalu harus berusaha jujur pada diri sendiri,  menjawab pertanyaan, benarkah memang  Anda ingin menghabiskan sisa usia bersama  Mas T?

Siapkah Anda berdampingan dengan se[1]seorang yang akan butuh perawatan seumur  hidupnya?

Kuatkah Aanda membantunya  untuk selalu membuatnya berada dalam  situasi kondusif agar bisa terus berkarya,  berkesenian sambil menumbuhkan juga rasa  tanggung jawab dan cinta pada Anda?

Bila jawabannya lebih banyak ya, ya dan  ya, bukankah perkawinan ini layak diper[1]tahankan?

Ayo Jeng Cempaka, kalau untuk  kawin kita butuh mengintensifkan emosi  cinta, maka untuk mempertahankannya, cinta  adalah bumbu penyedap hidup.

Dan penalaranlah yang harus dikede[1]pankan dan tetap dipelihara agar kita selalu  bisa melihat masalah dengan jernih, memakai  logika dan sistematika berpikir yang baik  untuk bisa membuat keputusan-keputusan  penting dalam hidup.

Sekaligus menyikapi  bahwa dibalik masalah, ada tantangan untuk  mencari solusi konstruktif untuk hidup Anda  berdua. (*)