4 Alasan Kenapa UU Kesehatan Baru Mendapat Penolakan dan Dampaknya Bagi Kita

By Maria Ermilinda Hayon, Jumat, 14 Juli 2023 | 18:05 WIB
4 Alasan Kenapa UU Kesehatan Baru Mendapat Penolakan (sefa ozel)

NOVA.IDUU Kesehatan Omnibus Law belum lama disahkan oleh DPR pada sidang paripurna DPR RI pada masa persidangan V Tahun sidang 2022-2023 pada hari ini Selasa 11 Juli 2023.

Dikatakan bahwa RUU Omnibus Law Kesehatan yang disahkan menjadi UU Kesehatan merupakan upaya pemerintah untuk menguasai aspek kesehatan secara penuh.

Tidak menghendaki adanya campur tangan, termasuk dari Organisasi Profesi kesehatan.

Dalam pengesahan yang dihadiri juga oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi, ia menyebut jika ada sejumlah perbaikan yang dilakukan dalam UU Omnibus Law Kesehatan.

Beberapa aspek yang disempurnakan dari UU Kesehatan yakni terdiri dari 8 poin.

1.Dari fokus mengobati menjadi mencegah.

2.Dari akses layanan kesehatan yang susah menjadi mudah.

3.Dari industri kesehatan yang bergantung ke luar negeri menjadi mandiri di dalam negeri.

4.Dari sistem kesehatan yang rentan di masa wabah menjadi tangguh menghadapi bencana.

5.Dari pembiayaan yang tidak efisien menjadi transparan dan efektif.

6.Dari tenaga kesehatan yang kurang menjadi cukup dan merata.

Baca Juga: Wajib Tahu! Apa Itu UU Kesehatan yang Baru Saja Disahkan Oleh DPR

7.Dari sistem informasi yang terfragmentasi menjadi terintegrasi.

8.Dari teknologi kesehatan yang tertinggal jadi terdepan.

Meski begitu, pengesahan UU Kesehatan baru ini masih menimbulkan polemik dan ditentang oleh beberapa organisasi profesi kesehatan.

Berikut beberapa alasan kenapa UU Kesehatan baru mendapat penolakan dari organisasi profesi seperti IDI, PPNI, PDGI, IBI, dan IAI.

1.Penghapusan mandatory spending

Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah soal mandatory spending atau alokasi anggaran. Dilansir dari Kompas.com, DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.

Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.

Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.

Namun, penghilangan pasal itu justru tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.

2.Kemudahan tenaga kesehatan asing di Indonesia

Persoalan yang menjadi sorotan para tenaga kesehatan di dalam UU Kesehatan yang direvisi itu adalah soal kemudahan pemberian izin untuk dokter asing.

Baca Juga: IDI dan Le minerale Berkolaborasi Hadirkan Program Edukasi “Mineral Esensial Bantu Jaga Sehatmu”

Di dalam beleid yang baru disahkan itu disebutkan berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri buat membuka praktik.

"Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)," demikian menurut Pasal 233 UU Kesehatan.

Persyaratan yang harus dikantongi mereka buat membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktek.

Akan tetapi, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu.

Aturan itu dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.

3.Peran organisasi profesi

Pasal dalam UU Kesehatan yang dipersoalkan adalah tentang posisi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.

"Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri," demikian isi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.

Masih dilansir dari Kompas, Menurut IDI, pasal itu melemahkan organisasi profesi karena sebagian besar tugasnya akan diambil alih Kemenkes.

Sebab Konsil Kedokteran sebelumnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden.

Baca Juga: Fitofarmaka Sudah Teruji Klinis, IDI dan Dexa Medica Gelar Seminar di 6 Kota

4.Kekhawatiran kriminalisasi nakes

Para dokter dan tenaga medis juga menyampaikan kekhawatiran atas pasal yang mengatur tentang ancaman pidana penjara bagi mereka yang melakukan kelalaian berat.

"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikian isi Pasal 462 ayat 1.

Lantas pada ayat 2 disebutkan, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun".

IDI menilai pasal itu akan berpotensi munculnya kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian. 

Nah, demikianlah beberapa alasan kenapa UU Kesehatan baru mendapat penolakan, dan mengapa penting juga bagi kita untuk tahu perubahan ini. (*)