Gudeg Bu Tjitro Kini Hadir dalam Kemasan Kaleng (nova.id)
TabloidNova.com - Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan warisan kuliner bernama Gudeg. Bahkan, para pakar menyatakan makanan yang dibuat dari nangka muda ini sudah ada sejak tahun 1819-1820. Salah satu rumah makan Gudeg yang terkenal adalah Gudeg Bu Tjitro.
"Ini adalah usaha keluarga yang sampai saat ini sudah sampai pada generasi ke empat. Dimulai oleh Eyang Tjitro Wihardjo yang merintis usaha ini dari tahun 1925. Awalnya Eyang Tjitro hanya berjualan di depan rumah di Jalan Rotowijayan," beber Jatu Dwi Kumalasari yang kini meneruskan usaha sang Eyang.
Tahun 60-an Gudeg Bu Tjitro dikembangkan oleh dua putranya dengan membuka rumah makan Gudeg di Jakarta. "Mereka adalah Bapak Soeharto di Cikajang, Kebayoran Lama dan Bapak Soemadi di Senen, Jakarta Pusat. Alhamdulillah di Jakarta berhasil mengembangkan rumah makan Gudeg Bu Tjitro. Sampai kemudian keluarga membuka cabang lain di Kelapa Gading," papar Jatu.
Memasuki tahun 1978, sebuah cabang kembali dibuka di jalan Adi Sucipto km.9 Yogyakarta. "Pada tahun 80-an ibu saya, (alm) Retno Widiastuti ikut mengembangkan dengan membuka cabang di depan hotel Ambarukmo Yogyakarta, lalu 1999 pindah dengan membuka restoran dengan nama Gudeg Bu Tjitro 1925 di jalan Janti No.330 depan JEC Yogyakarta."
Jatu sendiri mulai turun tangan mengembangkan usaha ini mulai tahun 2008 lalu. Saat itu, kedua orangtuanya menyerahkan tampuk usaha kepada Jatu dan seorang adik perempuannya. "Waktu itu kondisi Gudeg Bu Tjitro dalam keadaan yang kurang baik disebabkan banyak pesaing dan kurangnya kontrol manajemen," akunya.
Sejak saat itu Jatu mulai mencari tahu keunggulan dan kekurangan usaha itu. "Saya pun juga melakukan survei pasar. Ternyata waktu itu hanya 37% saja yang masih ingat dengan Gudeg Bu Tjitro. Sedih, karena Gudeg Bu Tjitro sempat tenar di tahun 70-an sampai 90-an."
Gudeg Bu Tjitro Kini Hadir dalam Kemasan Kaleng (nova.id)
Gudeg Bu Tjitro Kini Hadir dalam Kemasan Kaleng (nova.id)
"Jatu punya jurus jitu mengembalikan kejayaan gudeg nenek moyangnya, antara lain dengan memproduksi gudeg kaleng.(Foto: DOK NOVA) "
Jatu juga mulai memperbaiki kemasan Gudeg kendil agar tahan hingga 48 jam atau dua hari. Ia pun mulai berkenalan dengan teknik pengalengan. Gudeg Bu Tjitro pun hadir dalam kemasan kaleng.
"Kami ingin membuat Gudeg Bu Tjitro dalam kaleng tanpa menggunakan bahan pengawet dan proses pemasakannya pun tanpa menggunakan penyedap masakan. Soalnya masyarakat semakin pintar memilih produk makanan yang akan dikonsumsi. Masyarakat modern sangat membutuhkan makanan yang praktis, mudah, aman dan sehat."
Sebelum memulai pengalengan, "Yang menjadi kendala kami adalah modal. Pabrik-pabrik pengalengan ternyata ada minimal produksi. Karena tergolong usaha UKM, kami pun belum sanggup untuk memproduksi dalam jumlah banyak. Kendala lain adalah produk gudeg belum ada penelitiannya."
Sampai suatu ketika, Jatu menemukan laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah melakukan penelitian makanan tradisional termasuk gudeg. "Alhamdulillah gayung bersambut, LIPI menerima kami dengan baik dan sangat membantu. Penelitian di LIPI sebelumnya hanya pengalengan gudeg. Untuk menambah krecek, telur dan ayam suwir kami harus melakukan uji coba dan penelitian sendiri."
"Karena saya ingin hasil yang sempurna, saya terlibat dan terjun langsung selama uji coba. Hampir 3 tahun kami melakukan penelitian, sebuah perjalanan panjang dan tidak mudah. Alhamdulillah gudeg kaleng yang kami inginkan dengan komposisi lengkap mendekati sempurna dengan gudeg Bu Tjitro yang disajikan dalam keadaan fresh."
Berkat gado-gado kaleng dan sejumlah penataan manajemen, Gudeg Bu Tjitro kembali meraih masa kejayaannya.
Edwin Yusman F, Gandhi Wasono M