TabloidNova.com - Proses membesarkan anak berkebutuhan khusus tentu tak selalu mulus. Dua pengalaman berikut memberi pemahaman mendalam bagaimana menerima kondisi itu dan mengarahkan anak agar bisa berkembang optimal.
Baca juga: Orangtua Berbagi Suka Duka Mengasuh Anak Autisme (1)
Wiwi Kartati Merawat Anak Sebaik-baiknyaMeski sibuk dengan profesinya, naluri Wiwi Kartati (48) sebagai ibu tetap tajam ketika mendapati perilaku putera bungsunya yang terlihat tidak seperti anak seusianya. Di usia 1,5 tahun, Thomas sering terlihat cuek, tak mau digendong, enggan melakukan kontak mata, dan asyik bermain sendiri.
"Semua dokter anak bilang saya hanya ketakutan. Thomas sehat-sehat saja. Tapi ketika ke psikiater, Thomas didiagnosa mengidap gejala autis ringan dan bisa mulai diterapi di usia dua tahun," ujar Wiwi.
Lalu dalam seminggu, Wiwi mendampingi Thomas untuk terapi selama tiga kali. Ia juga mempelajari autisme dari berbagai buku. "Saya kira terapi dan penyembuhan berjalan dalam hitungan bulan, ternyata butuh waktu panjang."
Wiwi pun memilih berhenti kerja demi membesarkan Thomas. Ia sempat dirundung amarah menghadapi kenyataan yang ada. "Saya tipe perempuan yang senang kerja, tak betah di rumah, dan memasak. Makanya jadi sensitif sama suami, capek lahir batin," ujar Wiwi yang lantas membuat alat ajar untuk Thomas, sekaligus memasak makanan khusus tanpa kandungan kasein dan gluten. "Semua saya pelajari dan buat sendiri sebagai biomedical treatment untuk Thomas."
Wiwi mengaku sudah lima kali pindah rumah demi mendapatkan sekolah yang tepat dan mau menerima kondisi Thomas. "Kalau suara bising atau tak nyaman di kelas, Thomas sering menangis. Bagi anak dengan autisme, suara-suara tertentu sangat menyakitkan pendengaran mereka."
Di wilayah Bintaro tempatnya tinggal sekarang, ada sekitar 60 anak yang juga penyandang autisme, "Ada yang kondisinya lebih parah. Kalau orangtua mereka saja mampu, masa saya tidak? Saya jadi makin semangat membesarkan Thomas," kata Wiwi seraya menyebutkan banyak sekali uang yang dikeluarkan untuk terapi, pengobatan, dan periksa laboratorium.
Baginya, jika pasrah pada Tuhan dan mau merawat anak yang dititipkan sebaik-baiknya, pasti ada saja jalan dan rezeki yang datang. Tujuh hari seminggu Thomas terapi. Begitu juga dengan kegiatan fisik, seperti berenang dan berkuda. Beruntung, ia mengenal seorang terapis yang membuat Thomas bisa berteman dengan anak-anak sebayanya.
"Caranya, saya minta izin pada orangtuanya, agar anak mereka mau main dengan Thomas di rumah. Terapis mengajarkan cara berinteraksi yang baik," ujar Wiwi yang menjelaskan di usia delapan tahun, Thomas didiagnosa high function autism asperger.
Kini, Thomas berusia 16 tahun. Ia bersekolah di Beacon Light Community School. "Di sekolah itu ada pemahaman setiap anak itu unik, punya kelebihan masing-masing, dan tak bisa dipaksakan. Di kelas muridnya 30 orang. Ini sekolah untuk anak-anak normal."
Wiwi juga mengikuti PSG (Parent Support Group), kegiatan yang dilakukan bergiliran di rumah orangtua anak dengan autisme. "Kami saling berbagi, masak bareng, dan itu sangat menguatkan. Saya bertemu teman-teman seperjuangan."
Tentu banyak cerita yang dialami Wiwi selama proses membesarkan puteranya. Thomas yang hiperaktif, sempat dipelototi seorang ibu karena terus-menerus menendang kursi di gereja. Ia juga pernah mengamuk di toko buku ketika tak diizinkan membeli buku balita yang berisi gambar binatang. "Dia paling suka binatang, terutama gajah karena lucu."
Kalau sudah begitu, di dalam mobil saat perjalanan pulang, Thomas diberi pemahaman bahwa perilakunya salah, "Kami lakukan metode role play. Kejadian itu diperankan ulang dari awal. Mana yang salah diberitahu dan diajari yang benar seperti apa. Misalnya jangan langsung frustrasi dan mengamuk, tapi bisa berargumentasi."
Ketika ditanya, Thomas mengaku belum mau ke toko buku lagi. Apa sebabnya? "Takut tergoda buku yang kekanak-kanakan. Thomas belum bisa mengendalikan diri kalau ke toko buku, Mama," ujar siswa kelas 10 ini.
Namun di balik semua itu, Thomas punya banyak potensi seni. Ia suka sekali dengan origami, melukis, dan bermain keyboard. Khusus untuk origami, Thomas mulai melakukannya ketika usia TK. "Dia asyik melipat-lipat kertas koran atau majalah untuk membuat figur binatang. Saking tekunnya, matanya sampai minus."
Jika dulu belajar dari buku, kini panduan Thomas adalah e-book yang ia unduh dari internet. "Mata Thomas bagai seorang arsitek. Contohnya, saat membuat figur harimau Sumatera dalam 240 step lipatan," papar Wiwi yang selalu menyediakan kertas untuk origami di rumah, maupun ketika mengajak Thomas bepergian.
Tak jarang, jika menurutnya lipatan tak sempurna, Thomas uring-uringan. Tapi hebatnya karya Thomas tak hanya dihargai oleh keluarga dan teman-temannya di sekolah. Ia pernah menerima order origami dalam bentuk gasing sebanyak 400 buah untuk sebuah acara. Agar tak bosan, Wiwi pun meminta Thomas mengajari ibu-ibu (sesama orangtua anak penyandang autisme). Ia juga mengajari Thomas arti berbagi yakni dengan menyumbangkan karya origami dalam perayaan Natal.
Untuk masa depan Thomas selanjutnya, Wiwi berencana mengarahkan Thomas ke bidang seni sambil meningkatkan keterampilannya sehari-hari. "Caranya dengan long distance course tentang desain. Saya mau mendorong orangtua lain agar memasukkan anaknya ke sekolah yang melatih kemandirian."
Wiwi juga berbagi tips jika mendapati anak didiagnosa autisme, "Lakukan terapi secepatnya dalam delapan tahun pertama di mana pertumbuhan otak sedang maksimal. Dan yang terpenting kompak dengan pasangan dari segi mental dan finansial," ujarnya sembari melirik Thomas yang tampak asyik melipat kertas.
Astudestra Ajengrastri, Ade Ryani HMK