Menurut Ida Ruwaida, sosiolog dari Universitas Indonesia, terdapat tiga faktor dominan yang memengaruhi sikap dan perilaku antisosial (agresif) yaitu media massa, teman sebaya (peer group), serta keluarga.
Kekerasan akan lebih banyak muncul di masyarakat ketika media massa mengalami pergeseran tayangan sebagai komoditas. Ida menyebutkan contoh games, cerita animasi bertema kekerasan, penayangan film horor, pornografi. Sayangnya, masyarakat menganggap tayangan tersebut adalah kejadian yang riil. Alias, masyarakat belum bisa memilah dan menyaring tayangan di media massa.
Faktor lain yang memengaruhi kekerasan adalah peer group. Sekolah, misalnya. Kebanyakan siswa hanya diberikan pengetahuan, namun tanpa pengajaran. "Padahal, salah satu fungsi sekolah adalah membangun social skill atau kemampuan bersosialisasi."
Efektivitas pengajaran nilai-nilai tersebut sangat tergantung pola komunikasi yang dibangun. "Apa yang dipersoalkan, frekuensi, dan intesitasnya juga turut memengaruhi." Sejauh mana kemampuan tersebut dilakukan dalam kehidupan sehari-hari pun masih tanda tanya besar. Misalnya, bagaimana bisa bekerja sama dan mengasah kepedulian sosial. "Bullying saja masih terjadi di sekolah atau kekerasan yang dilakukan antar teman."
Ajaran LingkunganPerempuan kelahiran Malang ini mengaku kaget dan heran ketika Hafitd dan Syifa bersikap seakan-akan tidak ada rasa bersalah saat diperiksa polisi. "Ada apa dengan anak-anak ini? Kenapa mereka menunjukkan perilaku kekerasan? Padahal mereka berasal dari keluarga terdidik dan termasuk kelas menengah ke atas."
Remaja, lanjut Ida, melihat role model dari keluarga. Faktor ini merupakan hal lain yang memengaruhi kekerasan. "Hasil penelitian selalu menunjukkan 2 dari 3 lelaki yang melakukan kekerasan terhadap keluarga atau pasangannya berlatar belakang ayah atau keluarga yang lekat dengan kekerasan."
Oleh karena itu, pembelajaran nilai-nilai positif harus ditanamkan orangtua kepada anak sejak dini, baik di rumah dan sekolah. "Mulai dari bagaimana menyikapi masalah, bagaimana berhadapan dengan kekecewaan, dan perilaku apa yang selayaknya diambil saat anak kecewa," papar Ida.
Tidak TerkontrolKetidakpuasan yang berakumulasi karena faktor ekonomi atau sosial bisa menjadi pemicu ekspresi ketidakpuasan. "Perilaku agresif terjadi karena distimulasi rasa marah atau kecewa yang tidak terkontrol atau berlebihan. Bisa juga hanya karena faktor humor yang tidak terkontrol dan menimbulkan amarah karena dia menerima humor tersebut dengan cara berbeda."
Dalam hal ini, orangtua jangan sampai justru turut andil memicu kekerasan. "Misalnya, melarang main dengan orang yang statusnya berbeda, marah di depan anak, dan mengeluarkan kata-kata yang kasar," ujar Ida.
Perilaku agresif juga muncul dilatarbelakangi karakter pelaku dan faktor situasi yang melatarbelakangi karakter korban. "Apakah korban bicara kasar?" Sehingga, pelaku terpancing melakukan tindak kekerasan. "Tidak ada yang tahu, kan? Persoalan ini terlalu kompleks," kata Ida merujuk kasus kejahatan yang melibatkan tiga remaja ini.
Padahal, rasa kecewa yang dialami anak seharusnya bisa dikelola dan diajarkan sejak kecil. "Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri atau makhluk sosial yang butuh orang lain. Pengelolaan rasa kecewa bukan sesuatu yang alamiah terjadi, namun perlu dipelajari. Bila kepada binatang saja diajarkan berbuat baik, apalagi terhadap orang lain."