Wajar, suami istri punya selera berbeda. Tapi, bagaimana jika perbedaan itu muncul dalam hubungan intim? Ternyata, wanitalah yang paling menderita.
"Saya kesel sekali kalau pagi-pagi dibangunin cuma untuk diajak berhubungan. Kayaknya suami saya suka sekali berhubungan di pagi buta. Padahal, saya, kan masih ngantuk. Belum lagi nanti saya harus ke kantor. Tapi suami sama sekali enggak pengertian," keluh seorang istri.
Anda mungkin pernah punya pengalaman serupa. Pasangan Anda mengajak berhubungan intim di waktu-waktu yang tak Anda inginkan. Atau, ia meminta Anda melakukan posisi tertentu, sementara Anda sama sekali enggak suka dengan posisi itu. Atau, Anda maunya berhubungan dalam keadaan gelap-gulita, sementara si pasangan lebih suka terang-benderang. Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang kerap terjadi dalam kehidupan seksual suami-istri.
Sebenarnya, perbedaan ini wajar-wajar saja. Sebagaimana halnya perbedaan lain yang umum terjadi dalam kehidupan perkawinan, seperti selera makan dan berbusana, hobi, minat, kebiasaan sehari-hari, mendidik anak, dan lainnya. Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, suami dan istri jadi dapat lebih mengenal dan memahami pasangannya. Begitu pun perbedaan dalam soal selera bercinta.
Kendati demikian, jika soal beda selera ini tak menemukan titik temu, bisa-bisa hubungan intim lantas menjadi kegiatan yang dipaksakan. Ujung-ujungnya, keharmonisan rumahtangga pun bisa terganggu.
DISKRIMINASI SUAMI ISTRI
Menurut seksolog Prof. Dr. J. Alex Pangkahila, sebagian besar pasangan suami istri (pasutri) mengidamkan mutu perkawinan yang bahagia, tapi tak satupun yang mengimpikan bagaimana menciptakan suasana erotis. "Sebagian besar dari mereka hanya tahu bahwa hubungan intim pada pasutri semata hanya proses masuknya alat kelamin pria pada vagina," ujar Alex. Padahal, lanjutnya, yang diharapkan pasutri, khususnya wanita, ialah kemesraan dalam bercinta.
Beberapa ahli mengatakan, jika tak dipupuk dengan baik, bercinta hanya mampu bertahan selama 4 tahun perkawinan. "Sesudah 4 tahun, sering terjadi kejenuhan. Mulai timbul masalah dalam hubungan intim dan timbul perbedaan yang sulit ditolerir," terang Alex.
Hanya, masalah ini tak dimunculkan pasutri karena pengaruh lingkungan agamais dan adat yang kuat. "Secara turun-temurun dipercaya oleh masyarakat bahwa perkawinan merupakan penyerahan istri untuk hubungan seksual dan istri tak pernah mengambil inisiatif untuk minta bermesraan dengan suami," sambung ahli seksologi dari The American Board of Sexology di Washington AS ini.
Dalam bahasa lain, sejak semula sudah ada diskriminasi antara suami dan istri dalam menikmati hubungan intim. Meski akhirnya sebagian pasutri menikah dengan dasar cinta, kata Alex, "Tapi ternyata tak selamanya cinta akan membuahkan hubungan intim yang harmonis."
Karena itu, Alex menekankan, cobalah untuk menanyakan pada diri Anda, apakah Anda cukup akrab dengan pasangan yang Anda cintai? Sebab, "Dari keakraban ini, suami dan istri akan mengetahui bagaimana pikiran, emosi, dan seksualitas pasangannya. Juga, akan diketahui adanya perbedaan keinginan antara diri dan pasangannya," tutur doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya dengan predikat sangat memuaskan ini.
Apalagi, sambung Alex, hubungan pasutri harus memiliki reciprocity (timbal balik) atau take and give. "Hubungan intim yang hanya badaniah, nilainya kurang bila tak disertai pikiran dan emosi. Hubungan intim semacam ini hanya betul-betul hubungan badan, bukan hubungan intim," jelas ahli seksologi kedokteran dari Institute of Family and Sexological Sciences di Leuven, Belgia (1983) ini.