Beda Selera Dalam Bercinta

By nova.id, Jumat, 6 Mei 2011 | 17:06 WIB
Beda Selera Dalam Bercinta (nova.id)

Wajar, suami istri punya selera berbeda. Tapi, bagaimana jika perbedaan itu muncul dalam hubungan intim? Ternyata, wanitalah yang paling menderita.

"Saya kesel sekali kalau pagi-pagi dibangunin cuma untuk diajak berhubungan. Kayaknya suami saya suka sekali berhubungan di pagi buta. Padahal, saya, kan masih ngantuk. Belum lagi nanti saya harus ke kantor. Tapi suami sama sekali enggak pengertian," keluh seorang istri.

Anda mungkin pernah punya pengalaman serupa. Pasangan Anda mengajak berhubungan intim di waktu-waktu yang tak Anda inginkan. Atau, ia meminta Anda melakukan posisi tertentu, sementara Anda sama sekali enggak suka dengan posisi itu. Atau, Anda maunya berhubungan dalam keadaan gelap-gulita, sementara si pasangan lebih suka terang-benderang. Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang kerap terjadi dalam kehidupan seksual suami-istri.

Sebenarnya, perbedaan ini wajar-wajar saja. Sebagaimana halnya perbedaan lain yang umum terjadi dalam kehidupan perkawinan, seperti selera makan dan berbusana, hobi, minat, kebiasaan sehari-hari, mendidik anak, dan lainnya. Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, suami dan istri jadi dapat lebih mengenal dan memahami pasangannya. Begitu pun perbedaan dalam soal selera bercinta.

Kendati demikian, jika soal beda selera ini tak menemukan titik temu, bisa-bisa hubungan intim lantas menjadi kegiatan yang dipaksakan. Ujung-ujungnya, keharmonisan rumahtangga pun bisa terganggu.

DISKRIMINASI SUAMI ISTRI

Menurut seksolog Prof. Dr. J. Alex Pangkahila, sebagian besar pasangan suami istri (pasutri) mengidamkan mutu perkawinan yang bahagia, tapi tak satupun yang mengimpikan bagaimana menciptakan suasana erotis. "Sebagian besar dari mereka hanya tahu bahwa hubungan intim pada pasutri semata hanya proses masuknya alat kelamin pria pada vagina," ujar Alex. Padahal, lanjutnya, yang diharapkan pasutri, khususnya wanita, ialah kemesraan dalam bercinta.

Beberapa ahli mengatakan, jika tak dipupuk dengan baik, bercinta hanya mampu bertahan selama 4 tahun perkawinan. "Sesudah 4 tahun, sering terjadi kejenuhan. Mulai timbul masalah dalam hubungan intim dan timbul perbedaan yang sulit ditolerir," terang Alex.

Hanya, masalah ini tak dimunculkan pasutri karena pengaruh lingkungan agamais dan adat yang kuat. "Secara turun-temurun dipercaya oleh masyarakat bahwa perkawinan merupakan penyerahan istri untuk hubungan seksual dan istri tak pernah mengambil inisiatif untuk minta bermesraan dengan suami," sambung ahli seksologi dari The American Board of Sexology di Washington AS ini.

Dalam bahasa lain, sejak semula sudah ada diskriminasi antara suami dan istri dalam menikmati hubungan intim. Meski akhirnya sebagian pasutri menikah dengan dasar cinta, kata Alex, "Tapi ternyata tak selamanya cinta akan membuahkan hubungan intim yang harmonis."

Karena itu, Alex menekankan, cobalah untuk menanyakan pada diri Anda, apakah Anda cukup akrab dengan pasangan yang Anda cintai? Sebab, "Dari keakraban ini, suami dan istri akan mengetahui bagaimana pikiran, emosi, dan seksualitas pasangannya. Juga, akan diketahui adanya perbedaan keinginan antara diri dan pasangannya," tutur doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya dengan predikat sangat memuaskan ini.

Apalagi, sambung Alex, hubungan pasutri harus memiliki reciprocity (timbal balik) atau take and give. "Hubungan intim yang hanya badaniah, nilainya kurang bila tak disertai pikiran dan emosi. Hubungan intim semacam ini hanya betul-betul hubungan badan, bukan hubungan intim," jelas ahli seksologi kedokteran dari Institute of Family and Sexological Sciences di Leuven, Belgia (1983) ini.

FAKTOR LINGKUNGAN

Perbedaan selera hubungan intim ini, kata Alex, bisa bermacam-macam, baik yang langsung maupun tak langsung. Yang perlu dipikirkan, apakah perbedaan ini dapat diatasi atau tidak oleh pasutri.

Dulu, lanjut Alex, perbedaan selera ini amat jarang dikemukakan pasutri. Selain itu, hubungan intim juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain keheningan (auditive), pandangan (visual), keadaan tempat (situational), sentuhan (tactile), komunikasi (verbal maupun non verbal), serta alur berpikir dan bangkitan emosi lainnya.

Kini, situasi sudah berubah. Banyak pasutri yang sudah berani berterus terang soal beda selera ini. Pasalnya, jika tak segera diatasi dengan bijaksana, perbedaan ini akan membuat hubungan jadi bermasalah. Alex malah mengatakan, "Pasutri yang retak akibat beda selera ini, kemungkinan sudah meningkat presentasenya."

Ditambah lagi, faktor lingkungan yang memungkinkan hubungan menjadi retak semakin besar. "Pengaruh lingkungan ini, kan, makin beraneka ragam, mulai dari pergaulan sampai faktor ekonomi," tukas Alex.

Pemecahan masalahnya pun jadi tak terlalu mudah. Sebab, harus lebih dulu diketahui berbagai hal. Antara lain, pengetahuan, persepsi, dan perilaku seksual secara umum, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya.

FAKTOR INTERNAL

Perlu diketahui, tutur Alex, hubungan intim merupakan suatu proses yang melibatkan fisik, psikis dan pengalaman. "Hubungan intim ini dipengaruhi oleh perilaku seksual dari masing-masing individu, yang berkembang sejak kecil sampai dewasa, dan berlangsung terus selama kehidupan kita," tutur ahli andrologi dari FK Unair, Surabaya dan FK Universitas Katolik Leuven, Belgia ini, lebih lanjut.

Perilaku seksual yang dimiliki seseorang dan nampak dari luar, tambah Alex, merupakan suatu proses panjang dan untuk masing-masing orang tak mungkin betul-betul sama. "Pada pasutri sudah pasti ada persamaan dan perbedaannya!" tukasnya. Sekarang tergantung apakah perbedaannya begitu banyak sehingga sulit dianulir dan menimbulkan masalah setiap saat, ataukah tidak.

Selain faktor lingkungan di atas, perbedaan ini juga dipengaruhi faktor internal. Faktor ini ada dalam diri seseorang, yakni kemampuan fisik (kesehatan dan kebugaran), intelegensi, dan emosional. "Perbedaan ini saja sudah cukup membuat masalah, jika salah satu pihak tak mau mengerti dan mengalah," ujar Alex.

Misalnya, faktor fisik. Antara lain, ada ketidak seimbangan fisik antara pasutri yang sangat mempengaruhi potensi seksual. Sebagai contoh, suami menginginkan berhubungan intim sekali seminggu, karena tuntutan pekerjaannya yang berat sehingga ia perlu banyak istirahat untuk memulihkan tenaganya. Sementara istri yang cuma ibu rumahtangga dan punya pembantu pula, sehingga punya banyak tenaga cadangan, maunya 2-3 kali seminggu.

WANITA MENDERITA

Sebenarnya, kata Alex, semua perbedaan dapat diatasi, asal pasutri betul-betul melakukan hubungan intim sesuai prosesnya. Nah, proses hubungan intim yang baik ini, harus melalui beberapa tahapan. Diantaranya, bercumbu (romance), perabaan (sensuality), pemijatan (sexuality), dan yang terakhir ialah hubungan seksual yang sebenarnya (sex).

"Yang prinsip justru bagaimana menyamakan persepsi bahwa hubungan intim sebenarnya bukan hanya soal masuknya penis ke vagina," tegas Alex. Sebagian besar pasutri, katanya, menyenangi suasana remang-remang dengan bau-bauan yang harum dan suasana sepi yang diiringi musik romantis, saat berhubungan intim. "Bila ada yang lain daripada ini, maka itu hanya merupakan kasus yang relatif jarang dijumpai," tukasnya.

Dari pengalaman prakteknya, Alex menemukan, perbedaan kehidupan seksual pada pasutri lebih banyak disebabkan para suami ingin segera melakukan hubungan intim yang sebenarnya. Yakni, ingin segera memasukkan penis ke vagina, sedangkan wanita lebih menyukai melakukan hubungan intim dari proses awal, yaitu bercumbu. "Ini memang bisa dimaklumi. Sebab, perubahan fisiologis pada wanita dari fase tak terangsang menjadi fase terangsang, perlu waktu lebih lama dibanding pria," terangnya. Hanya saja, perbedaan ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan kenikmatan yang dialami pasutri, dimana umumnya wanitalah yang menderita.

Selain itu, masih ada kemungkinan terjadi perubahan perilaku seksual pada pasutri. "Biasanya ini merupakan suatu variasi, misalnya karena jenuh dengan posisi yang itu-itu saja," tutur Alex. Tapi, toh, hal ini tetap tak mengubah proses yang baku tadi. "Perubahan variasi, wajar-wajar saja. Sebab, proses ini akan diperkaya dengan proses belajar, baik dari pengetahuan maupun dari pengalaman melakukan hubungan intim secara rutin pada pasangan," papar guru besar tetap di bidang fisiologi kedokteran Universitas Udayana sejak 1994 ini.

Sementara perbedaan yang tak prinsip dapat diatasi dengan melakukan latihan penyesuaian atau kondisioning. Penanganannya dengan cara konsultasi dan pemeriksaan pranikah, serta pemberian informasi tentang perilaku seksual agar punya pemahaman yang sama. Pasutri juga perlu mengikuti program pelatihan sebagai suami dan sebagai istri, khususnya untuk meningkatkan potensi seksual.

SALING TOLERANSI

Menurut doktor psikologi Sukiat, baik istri maupun suami harus mengemukakan alasan yang tepat bila timbul perbedaan selera ini. "Tapi masing-masing juga harus mau memahami alasan yang dikemukakan pihak lain. Jadi, diskusikanlah," katanya. Misalnya, istri lebih suka berhubungan pada malam hari, sementara di saat yang sama suami baru saja pulang dari kantor. "Nah, bagaimana mau berhubungan intim jika badan sudah loyo?" ujarnya.

Apalagi, lanjut Sukiat, hubungan seksual bukanlah hubungan badaniah semata, tapi juga mempunyai fungsi. Yakni, untuk mencurahkan kasih sayang pada pasangan, relaksasi, dan rekreasi. Nah, dalam fungsi rekreasi, terang psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI ini, "Harus ada usaha bersama dari pasangan untuk mencapai kesenangan bersama. Jika salah satu tak ada usaha, namanya bukan hubungan suami-istri, melainkan nafsu semata!"

Selain itu, tambah Sukiat, pasutri perlu memahami arti kepuasan, yang berbeda antara pria dan wanita. "Suami baru merasa puas jika ia berejakulasi," ujarnya. Selain ada faktor lain yang bisa menambah kepuasan suami, misalnya jika istri juga merasakan rangsangan.

Sementara bagi wanita, kepuasan yang nomor satu adalah jika ia bisa memuaskan suami. "Orgasme bagi wanita itu nomor dua!" tukas Sukiat. Bahkan, lanjutnya, wanita rela melakukan berbagai cara agar suaminya puas. "Kebahagiaan yang tertinggi bagi wanita ialah jika ia dipeluk dan dicium," lanjut dosen Fakultas Psikologi UI ini.

Karena itu, anjur Sukiat, segeralah dikomunikasikan bila timbul perbedaan selera ini. Pasutri juga sebaiknya saling bertoleransi. "Apa salahnya jika istri ingin berhubungan intim dalam keadaan gelap, kamarnya digelapin," ujarnya.

Harus diingat, kata Sukiat, pasutri akan bahagia jika mereka bisa menyenangkan pasangannya. Nah, dengan memenuhi keinginan pasangan berhubungan dalam gelap, misalnya, sesungguhnya itu suatu kebahagiaan dan kenikmatan tersendiri bagi pasangan. Apalagi, sambung Sukiat, "Jika itu dilakukan dengan tulus. Sehingga akhirnya, suami atau istri akan selalu siap tempur di mana saja, kapan saja, dalam cuaca gelap maupun terang."

Hasto Prianggoro