Curhat Istri Bambang Widjojanto: "Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan" (1)

By nova.id, Minggu, 1 Maret 2015 | 06:13 WIB
Curhat Istri Bambang Widjojanto Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan 1 (nova.id)

Tak Mau Dipisah

Setelah pulang, ketika saya tanya kenapa tidak mau diborgol ke belakang? Mas Bambang menjawab dia masih memakai sarung saat diborgol, sehingga khawatir sarung melorot. Waktu itu, dia memang baru pulang dari salat Subuh. Setelah diborgol, Mas Bambang sempat bicara pada Izzat. "Nak, kamu perhatikan betul proses penangkapan ini. Kalau bisa difoto, silakan foto. Kalau tidak, kamu ingat-ingat saja prosesnya seperti apa."

Setelah itu, Izzat hendak dimasukkan ke mobil lain, sedangkan Mas Bambang akan dibawa dengan mobil Bareskrim. Namun, keduanya sepakat menolak dipisahkan. Izzat bersikeras untuk terus mendampingi ayahnya, sedangkan ayahnya mengatakan bahwa dia datang dengan Izzat dan pergi pun harus dengan Izzat.

Akhirnya, keduanya dimasukkan ke mobil Bareskrim. Hanya saja, karena tempat duduknya hanya cukup untuk tiga orang dan Mas Bambang diapit dua polisi, akhirnya Izzat duduk dipangku ayahnya. Dalam perjalanan, Mas Bambang mengeluarkan kembali surat penangkapan sambil berkata pada Izzat, "Nak, ini pelajaran pertama yang harus Abi jelaskan ke kamu. Proses penangkapan yang sebenarnya itu harusnya seperti ini (Bambang lalu menjelaskan pada Izzat)."

Menurut Izzat, polisi yang ada di dalam mobil itu tidak begitu suka dengan penjelasan Bambang, lalu bertanya ke yang lain apakah ada lakban? Mas Bambang lalu diam. Saat itu, Izzat berpikir bagaimana caranya agar dia bisa terus bicara, untuk menetralisir suasana agar tidak makin memanas. Ia lalu mengambil topik tentang rokok. Kebetulan, salah satu polisi yang ada di dalam mobil mengeluarkan rokok untuk dinyalakan.

Izzat lalu minta maaf dan mengatakan bahwa ia tidak terlalu suka pada rokok. Izzat dan polisi itu lalu berdiskusi soal rokok, termasuk kebiasaan polisi itu dalam merokok dan kesadarannya akan bahaya rokok. Maklum, Izzat kuliah di Fakultas Kedokteran. Diskusi mereka terus berlanjut sampai akhirnya mobil tiba di Bareskrim.

Bahagia Dapat Kesempatan

Saya lihat, Izzat tidak syok menghadapi peristiwa ini. Waktu saya masuk rumah setelah menjemput Taqi, saya sapa dia. Izzat tersenyum sambil mengacungkan dua jempolnya lalu berkata, "Kereeen..." Saya sendiri deg-degan. Siapa sih, yang tidak deg-degan mengetahui suaminya mendadak ditangkap polisi seperti ini? Tapi saya mencoba cepat mengolah pikiran, bahwa ini adalah momentum besar dan sayang kalau dilewatkan.

Ada pembelajaran luar biasa yang harus saya sampaikan pada anak-anak, berhubungan dengan momentum ini. Makanya, saya langsung singkirkan semua pikiran negatif dan mulai bermain dengan pikiran positif bersama anak-anak. Hasilnya, selama dua hari sejak Mas Bambang ditangkap, rumah ini sangat hangat. Anak-anak saya luar biasa menghadapi peristiwa ini. Kami duduk berdiskusi terus, melihat perkembangan ayah mereka sewaktu belum pulang.

Saya katakan pada mereka, "Ini lo, Nak, ini tahapan luar biasa. Kalian belajar (secara) real dari konsekuensi seorang pemimpin, seorang pejuang." Jadi, sebetulnya kami sangat bahagia mendapat kesempatan untuk mengalami peristiwa ini, karena hikmahnya sangat besar bagi kami. Saya pikir, memang setiap momentum dari Allah pasti indah, kalau kita mau melihatnya dari prospektif positif.

Selama ini, saya selalu membahasakan pada anak-anak bahwa mereka adalah calon pemimpin dan pejuang bagi kedua orangtua mereka. Jadi, saya minta mereka mengambil posisi sebagai pemimpin dan tidak menjadi follower. Itu bahasa keseharian di rumah kami. Maka, ketika momentum pembelajaran bagi calon-calon pemimpin di rumah kami ini terjadi, diskusi saya dan anak-anak juga ke arah sana. Saya katakan pada anak-anak bahwa yang namanya orang berjuang itu tidak pernah melewati jalan yang menurun, jalan yang senang-senang. (BERSAMBUNG)

(Artikel selanjutnya: Sejak anak-anak masih kecil, Dewi dan Bambang rajin mengajak mereka berdiskusi tentang berbagai hal yang terjadi di mana pun dan mengambil hikmah dari peristiwa itu. Rupanya, sejak memutuskan untuk menikah dengan Bambang, Dewi sudah siap dengan semua risiko yang harus dihadapi Bambang, yang saat ia kenal masih berkecimpung di sebuah lembaga bantuan hukum di Papua.)

 Hasuna Daylailatu