Curhat Istri Bambang Widjojanto: "Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan" (1)

By nova.id, Minggu, 1 Maret 2015 | 06:13 WIB
Curhat Istri Bambang Widjojanto Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan 1 (nova.id)

Curhat Istri Bambang Widjojanto Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan 1 (nova.id)
Curhat Istri Bambang Widjojanto Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan 1 (nova.id)
Curhat Istri Bambang Widjojanto Ini Momentum yang Sayang untuk Dilewatkan 1 (nova.id)

"Saat ayahnya ditangkap polisi, Izzat tak mau dipisahkan darinya. (Foto: Dok pri) "

---

Kabar Mas Bambang ditangkap polisi pertama kali saya dengar dari Ilmi Sakinah, anak sulung kami. Ilmi mendapat kabar lewat Line dari Izzat Nabillah, anak kedua kami yang saat penangkapan sedang bersama ayahnya. Mereka saat itu dalam perjalanan pulang dari mengantar Muhammad Yattaqi, anak bungsu kami ke sekolah. Dalam pikiran saya waktu itu, Mas Bambang ditangkap polisi lalu lintas alias kena tilang.

Jadi, saya berusaha menenangkan Ilmi. "Tenang saja, Kak. Tadi Umi (panggilan Dewi di rumah) sudah siapin dompet Abi (panggilan BW di rumah), kok, jadi insya Allah ada SIM Abi di situ," ucap saya pada Ilmi. Ha ha ha...

Saya dan Ilmi berusaha menghubungi Izzat lagi, tapi ponselnya tidak aktif. Rupanya, saat itu Izzat dan Mas Bambang sedang dalam perjalanan menuju Bareskrim Polri dan polisi yang bersama mereka memintanya menonaktifkan ponsel.

Saya sempat bermain dengan pikiran sendiri. Saya sempat panik karena tidak tahu Mas Bambang ditangkap dalam konteks apa. Lalu saya bilang pada Ilmi, sepertinya saya harus segera merapikan diri dan menyusul ayahnya. Saya langsung ganti baju dan memanaskan mobil. Dalam pikiran saya, saya harus melewati kembali jalan yang dilewati Mas Bambang tadi pagi. Siapa tahu dia masih ada di situ dan saya bisa membantunya.

Waktu itu memang tidak terpikir bahwa yang terjadi akan sedarurat itu. Sebetulnya Izzat mengirim pesan di Line sekitar pukul 07.30-08.00, tapi Ilmi baru membacanya pukul 08.30. Sebelumnya, saya mulai heran, kok, Mas Bambang dan Izzat tak kunjung pulang. Sebab, Mas Bambang sudah harus berangkat ke kantor. Ajudan dan sopirnya sudah siap menunggu di rumah. Setelah membaca Line dari Izzat, barulah kami tahu soal penangkapan itu.

Saya langsung menelepon guru kelas Taqi untuk mengetahui keberadaan Taqi. Ilmi terus berusaha mengontak Izzat. Ketika akhirnya tersambung, saya bertanya pada Izzat di mana mereka? Rupanya mereka sudah sampai di Bareskrim. Saya lalu minta bicara pada Mas Bambang, yang langsung berusaha menenangkan saya layaknya para suami yang sedang berusaha menenangkan istri. Mas Bambang mengatakan dia tidak apa-apa, dan seterusnya.

Malah Menginterograsi

Saya langsung berpikir, kalau sampai ditangkap di Bareskrim, berarti ini sesuatu yang darurat. Firasat saya mengatakan kalau saya bisa berkomunikasi dengan Mas Bambang, pasti waktunya sangat terbatas. Jadi, saya langsung memotong ucapan Mas Bambang. "Abi mohon diam, tidak usah menjelaskan apa-apa, Abi jawab saja pertanyaan saya," potong saya waktu itu. Saya lalu menanyakan lagi di mana dia berada dan dalam rangka apa ke sana.

Mas Bambang mengatakan ia ditangkap. Siapa yang menangkap? "Polisi," jawab Mas Bambang. Saya bertanya lagi, berapa orang yang menangkap? Lalu dijawab kembali. Pertanyaan saya berikutnya adalah apakah ada surat penangkapannya? Akhirnya, malah saya yang menginterograsi, ya. He he... Terakhir, saya memastikan apakah Mas Bambang betul ada di Bareskrim. Setelah itu, hati dan pikiran saya tenang.

Lalu saya tanya lagi Izzat akan pulang bersama siapa? Menurut Mas Bambang, Izzat akan pulang diantar Kapolsek Sukamaju, polsek wilayah di mana kami tinggal. Yang pertama terlintas dalam pikiran saya saat itu adalah saya harus mengabarkan soal penangkapan itu pada ajudan Mas Bambang dan saya harus segera menghubungi orang yang bisa membantu dia untuk penanganan hukum, karena saya otomatis tidak bisa masuk ke dunia itu.

Jadi, saya menelepon salah satu sahabat Mas Bambang untuk memberitahu soal penangkapan itu dan minta beritanya dihentikan dulu untuk mengetahui perkembangannya. Beberapa menit kemudian, sahabat Mas Bambang ini memberitahu lewat telepon bahwa berita tidak bisa dihentikan karena sudah menyebar di portal berita online. Saya memutuskan untuk berbagi tugas. Urusan hukum saya serahkan pada beliau dan saya mengurus keluarga.

Saya langsung menelepon Ghazian Shidqi, anak kami yang duduk di bangku SMA, dan menyuruhnya segera pulang. Rupanya, dia sudah mendengar berita penangkapan ayahnya dari temannya. Saya segera menjemput Taqi di sekolah. Saya pikir, dalam kondisi seperti itu sebaiknya saya dan anak-anak berkumpul di rumah. Saya harus melindungi Taqi karena dia masih sangat kecil.

Saya tidak mau informasi yang ia dengar berasal dari orang lain. Jadi harus saya yang memberitahunya. Namun, beberapa guru termasuk guru kelas serta sahabat saya yang sedang mengantar anaknya sekolah juga sudah tahu. Mereka memberi dukungan pada saya. Di mobil, saya pelan-pelan memberitahu Taqi soal penangkapan ayahnya. Ternyata, reaksi Taqi biasa saja. He he.

Mobil Dipepet

Sambil menyetir, saya banyak menerima telepon dari teman-teman dan saudara. Ternyata, informasi yang beredar simpang siur. Ada yang mengatakan kemungkinan Mas Bambang diculik karena Wakapolri mengatakan bahwa tidak ada penangkapan. Pada setiap orang yang menelepon, saya berusaha meyakinkan dan menenangkan mereka bahwa Mas Bambang ada di Bareskrim dan saya sudah berbicara dengannya.

Saya minta mereka tidak panik karena insya Allah Mas Bambang tidak apa-apa. Akhirnya, malah saya yang sibuk menenangkan orang lain. Di mobil, saya minta Taqi membuka dan memakan bekalnya, karena khawatir setelah sampai di rumah suasananya akan crowded. Benar saja, ketika kami sampai di rumah, sudah banyak wartawan datang. Ada juga beberapa teman saya yang datang. Ghazian sudah pulang, begitu juga dengan Izzat yang kemudian saya suruh mandi dulu.

Setelah salat Dzuhur, barulah saya menemui para wartawan. Sorenya, saya mengajak Izzat bicara soal kronologi penangkapan. Sengaja awalnya saya tidak mau bicara soal itu dulu karena enggak mau tahu proses itu dan harus berpikir ke depan. Jadi, menjelang Magrib barulah saya ajak dia bicara. Agak prihatin juga setelah mendengar cerita Izzat dan sempat berpikir, ternyata sampai segitunya proses penangkapan Mas Bambang.

Menurut cerita Izzat, sekitar 200 meter dari sekolah Taqi, mobil yang dikendarai Mas Bambang dipepet sebuah mobil. Belakangan setelah Mas Bambang pulang, saya tanya siapa yang memepet mobil. Ternyata Kapolsek Sukamaju. Setelah memepet, Kapolsek mengatakan ada pemeriksaan mobil. Mas Bambang dipersilakan turun. Ketika dia turun itulah, orang-orang Bareskrim datang dan memberikan surat penangkapan.

Menurut Izzat, ayahnya sempat membaca dan memprotes beberapa poin di surat penangkapan itu yang tidak sesuai. Namun, orang Bareskrim langsung menarik surat itu dan tangan Mas Bambang juga langsung ditarik ke belakang, hendak diborgol. Saat itulah Mas Bambang sedikit mengadakan perlawanan dengan tidak mau diborgol ke belakang, maunya diborgol ke depan.

Tak Mau Dipisah

Setelah pulang, ketika saya tanya kenapa tidak mau diborgol ke belakang? Mas Bambang menjawab dia masih memakai sarung saat diborgol, sehingga khawatir sarung melorot. Waktu itu, dia memang baru pulang dari salat Subuh. Setelah diborgol, Mas Bambang sempat bicara pada Izzat. "Nak, kamu perhatikan betul proses penangkapan ini. Kalau bisa difoto, silakan foto. Kalau tidak, kamu ingat-ingat saja prosesnya seperti apa."

Setelah itu, Izzat hendak dimasukkan ke mobil lain, sedangkan Mas Bambang akan dibawa dengan mobil Bareskrim. Namun, keduanya sepakat menolak dipisahkan. Izzat bersikeras untuk terus mendampingi ayahnya, sedangkan ayahnya mengatakan bahwa dia datang dengan Izzat dan pergi pun harus dengan Izzat.

Akhirnya, keduanya dimasukkan ke mobil Bareskrim. Hanya saja, karena tempat duduknya hanya cukup untuk tiga orang dan Mas Bambang diapit dua polisi, akhirnya Izzat duduk dipangku ayahnya. Dalam perjalanan, Mas Bambang mengeluarkan kembali surat penangkapan sambil berkata pada Izzat, "Nak, ini pelajaran pertama yang harus Abi jelaskan ke kamu. Proses penangkapan yang sebenarnya itu harusnya seperti ini (Bambang lalu menjelaskan pada Izzat)."

Menurut Izzat, polisi yang ada di dalam mobil itu tidak begitu suka dengan penjelasan Bambang, lalu bertanya ke yang lain apakah ada lakban? Mas Bambang lalu diam. Saat itu, Izzat berpikir bagaimana caranya agar dia bisa terus bicara, untuk menetralisir suasana agar tidak makin memanas. Ia lalu mengambil topik tentang rokok. Kebetulan, salah satu polisi yang ada di dalam mobil mengeluarkan rokok untuk dinyalakan.

Izzat lalu minta maaf dan mengatakan bahwa ia tidak terlalu suka pada rokok. Izzat dan polisi itu lalu berdiskusi soal rokok, termasuk kebiasaan polisi itu dalam merokok dan kesadarannya akan bahaya rokok. Maklum, Izzat kuliah di Fakultas Kedokteran. Diskusi mereka terus berlanjut sampai akhirnya mobil tiba di Bareskrim.

Bahagia Dapat Kesempatan

Saya lihat, Izzat tidak syok menghadapi peristiwa ini. Waktu saya masuk rumah setelah menjemput Taqi, saya sapa dia. Izzat tersenyum sambil mengacungkan dua jempolnya lalu berkata, "Kereeen..." Saya sendiri deg-degan. Siapa sih, yang tidak deg-degan mengetahui suaminya mendadak ditangkap polisi seperti ini? Tapi saya mencoba cepat mengolah pikiran, bahwa ini adalah momentum besar dan sayang kalau dilewatkan.

Ada pembelajaran luar biasa yang harus saya sampaikan pada anak-anak, berhubungan dengan momentum ini. Makanya, saya langsung singkirkan semua pikiran negatif dan mulai bermain dengan pikiran positif bersama anak-anak. Hasilnya, selama dua hari sejak Mas Bambang ditangkap, rumah ini sangat hangat. Anak-anak saya luar biasa menghadapi peristiwa ini. Kami duduk berdiskusi terus, melihat perkembangan ayah mereka sewaktu belum pulang.

Saya katakan pada mereka, "Ini lo, Nak, ini tahapan luar biasa. Kalian belajar (secara) real dari konsekuensi seorang pemimpin, seorang pejuang." Jadi, sebetulnya kami sangat bahagia mendapat kesempatan untuk mengalami peristiwa ini, karena hikmahnya sangat besar bagi kami. Saya pikir, memang setiap momentum dari Allah pasti indah, kalau kita mau melihatnya dari prospektif positif.

Selama ini, saya selalu membahasakan pada anak-anak bahwa mereka adalah calon pemimpin dan pejuang bagi kedua orangtua mereka. Jadi, saya minta mereka mengambil posisi sebagai pemimpin dan tidak menjadi follower. Itu bahasa keseharian di rumah kami. Maka, ketika momentum pembelajaran bagi calon-calon pemimpin di rumah kami ini terjadi, diskusi saya dan anak-anak juga ke arah sana. Saya katakan pada anak-anak bahwa yang namanya orang berjuang itu tidak pernah melewati jalan yang menurun, jalan yang senang-senang. (BERSAMBUNG)

(Artikel selanjutnya: Sejak anak-anak masih kecil, Dewi dan Bambang rajin mengajak mereka berdiskusi tentang berbagai hal yang terjadi di mana pun dan mengambil hikmah dari peristiwa itu. Rupanya, sejak memutuskan untuk menikah dengan Bambang, Dewi sudah siap dengan semua risiko yang harus dihadapi Bambang, yang saat ia kenal masih berkecimpung di sebuah lembaga bantuan hukum di Papua.)

 Hasuna Daylailatu