Begitu, kan, umumnya yang terlintas dibenak kita. Padahal, enggak juga, kok. Mengapa ?
Pernah dengar istilah STI alias Suami Takut Istri? Itu julukan bagi para suami yang tak berkutik di hadapan istrinya, lantaran si istri lebih dominan. Tak jarang pria-pria tersebut di kantornya adalah seorang atasan yang dikenal galak oleh anak buahnya. Jadilah setiap kali habis memarahi anak buahnya, langsung saja timbul bisik-bisik di belakang punggungnya, "Ah, dia, kan, galaknya cuma di kantor. Coba kalau di rumah, mana berani! Liat muka istrinya aja udah keder."
Benarkah suami lantas kalah pengaruh bila istrinya lebih dominan? Bisa ya, bisa juga tidak. Begitu menurut psikolog Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA. Ph.D. "Banyak juga, lo, yang suaminya malah mendukung. Artinya, si suami memang menyerahkan semua urusan pada istri. Jadi, dia tak masalah jika istrinya dominan. Sebaliknya, si istri pun senang-senang saja diberi kerjaan banyak. Toh, kalau ia merasa kebanyakan tugas dan tak bisa melakukannya, ia akan datang ke suaminya dan minta tolong," ujar Yati.
TERGANTUNG KEBUTUHAN
Kenapa harus ada sebutan yang satu lebih dominan dari lainnya? Ketika memilih pasangan, terang Yati, biasanya ada 2 cara yang diterapkan. Yang pertama, similarity atau satu sama lain mesti sama. "Ia mencari pasangan yang cara berpikirnya sama, gayanya sama, cerewetnya, dan sebagainya." Yang kedua, compatibility atau saling isi. "Yang dicari adalah pasangan yang sangat berbeda darinya." Misalnya, si kurus mencari pasangan bertubuh gemuk, yang pendiam mencari istri "ribut", sementara yang submissive (tergantung) mencari orang yang bisa ia gantungi.
Nah, kalau si pria merasa dirinya submissive, menurut Yati, mungkin memang yang dicarinya adalah istri yang berkarakter dominan, yang menentukan segalanya. "Jadi, kalau memang itu yang ia perlukan, ya, tak masalah." Kalau ditanya pun, si suami akan bilang, "Ah, peduli amat orang bilang apa. Aku bahagia, kok." Dengan kata lain, cocok tidaknya pasangan tersebut tergantung dari kebutuhan mereka masing-masing.
Memang, diakui Yati, umumnya masyarakat akan menganggap janggal bila istri lebih dominan. Sebab, pola pikir sebagian besar masyarakat kita masih bersifat paternalistik, yaitu suami harus menjadi kepala keluarga sehingga suamilah yang seharusnya lebih dominan. "Bila konsepnya terbalik, dianggap janggal. Pasti suaminya tersiksa, begitu, kan pikiran kita. Padahal belum tentu, tergantung dari kebutuhan masing-masing."
MISKOMUNIKASI
Bila memang si suami merasa tersiksa, menurut Yati, biasanya lantaran tak ada komunikasi di antara pasangan tersebut. "Si suami menganggap istrinya mengambil alih kekuasaan, sehingga ia tak bisa melakukan apa-apa. Ia merasa seolah tak dianggap, sementara istri menganggap suaminya tak tergerak melakukan apa-apa. Jadi, ada perbedaan persepsi."
Misalnya, di rumah genteng bocor, si suami diam saja. Terpaksalah istrinya yang memanggil tukang. Terus ketika mobil mogok, si suami juga cuek, sehingga istrinyalah yang harus membawa mobil tersebut ke bengkel. "Nah, hal-hal yang demikian kalau tidak dikomunikasikan, semuanya akan terakumulasi sehingga akhirnya menjadi masalah," terang Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi UI ini.
Miskomunikasi ini, lanjut Yati, biasanya terjadi sejak awal pernikahan. Karena di awal menikah, biasanya jarang sekali pasangan membicarakan soal pembagian peran. "Mereka kawin biasanya dengan pikiran, pasti cocoklah. Padahal, kenyataannya tidak demikian." Jadi, tandasnya, sebaiknya hal tersebut sudah dikompromikan berdua sejak awal, "Harus diatur, urusan sekolah anak tanggung jawab siapa, mobil tanggung jawab siapa, dan sebagainya. Apalagi kalau kedua-duanya bekerja."
Selain itu, latar belakang keluarga juga berperan terhadap timbulnya perasaan tersiksa pada suami. "Kalau ia berasal dari keluarga yang menekankan bahwa bapak harus dominan, kepala keluarga harus bapak, maka ia akan merasa tersiksa saat berumah tangga ternyata istrinya lebih dominan." Hal ini, menurut Yati, akan melukai harga dirinya. "Biasanya ia datang ke konselor dengan ucapan, 'Saya sudah tak kuat lagi. Dia tak mempercayakan segala sesuatunya pada saya, seolah-olah saya tak bisa melakukan apa-apa.'"