Istri Dominan, Suami Tertekan

By nova.id, Selasa, 27 Desember 2011 | 23:09 WIB
Istri Dominan Suami Tertekan (nova.id)

Begitu, kan, umumnya yang terlintas dibenak kita. Padahal, enggak juga, kok. Mengapa ?

Pernah dengar istilah STI alias Suami Takut Istri? Itu julukan bagi para suami yang tak berkutik di hadapan istrinya, lantaran si istri lebih dominan. Tak jarang pria-pria tersebut di kantornya adalah seorang atasan yang dikenal galak oleh anak buahnya. Jadilah setiap kali habis memarahi anak buahnya, langsung saja timbul bisik-bisik di belakang punggungnya, "Ah, dia, kan, galaknya cuma di kantor. Coba kalau di rumah, mana berani! Liat muka istrinya aja udah keder."

Benarkah suami lantas kalah pengaruh bila istrinya lebih dominan? Bisa ya, bisa juga tidak. Begitu menurut psikolog Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA. Ph.D. "Banyak juga, lo, yang suaminya malah mendukung. Artinya, si suami memang menyerahkan semua urusan pada istri. Jadi, dia tak masalah jika istrinya dominan. Sebaliknya, si istri pun senang-senang saja diberi kerjaan banyak. Toh, kalau ia merasa kebanyakan tugas dan tak bisa melakukannya, ia akan datang ke suaminya dan minta tolong," ujar Yati.

TERGANTUNG KEBUTUHAN

Kenapa harus ada sebutan yang satu lebih dominan dari lainnya? Ketika memilih pasangan, terang Yati, biasanya ada 2 cara yang diterapkan. Yang pertama, similarity atau satu sama lain mesti sama. "Ia mencari pasangan yang cara berpikirnya sama, gayanya sama, cerewetnya, dan sebagainya." Yang kedua, compatibility atau saling isi. "Yang dicari adalah pasangan yang sangat berbeda darinya." Misalnya, si kurus mencari pasangan bertubuh gemuk, yang pendiam mencari istri "ribut", sementara yang submissive (tergantung) mencari orang yang bisa ia gantungi.

Nah, kalau si pria merasa dirinya submissive, menurut Yati, mungkin memang yang dicarinya adalah istri yang berkarakter dominan, yang menentukan segalanya. "Jadi, kalau memang itu yang ia perlukan, ya, tak masalah." Kalau ditanya pun, si suami akan bilang, "Ah, peduli amat orang bilang apa. Aku bahagia, kok." Dengan kata lain, cocok tidaknya pasangan tersebut tergantung dari kebutuhan mereka masing-masing.

Memang, diakui Yati, umumnya masyarakat akan menganggap janggal bila istri lebih dominan. Sebab, pola pikir sebagian besar masyarakat kita masih bersifat paternalistik, yaitu suami harus menjadi kepala keluarga sehingga suamilah yang seharusnya lebih dominan. "Bila konsepnya terbalik, dianggap janggal. Pasti suaminya tersiksa, begitu, kan pikiran kita. Padahal belum tentu, tergantung dari kebutuhan masing-masing."

MISKOMUNIKASI

Bila memang si suami merasa tersiksa, menurut Yati, biasanya lantaran tak ada komunikasi di antara pasangan tersebut. "Si suami menganggap istrinya mengambil alih kekuasaan, sehingga ia tak bisa melakukan apa-apa. Ia merasa seolah tak dianggap, sementara istri menganggap suaminya tak tergerak melakukan apa-apa. Jadi, ada perbedaan persepsi."

Misalnya, di rumah genteng bocor, si suami diam saja. Terpaksalah istrinya yang memanggil tukang. Terus ketika mobil mogok, si suami juga cuek, sehingga istrinyalah yang harus membawa mobil tersebut ke bengkel. "Nah, hal-hal yang demikian kalau tidak dikomunikasikan, semuanya akan terakumulasi sehingga akhirnya menjadi masalah," terang Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi UI ini.

Miskomunikasi ini, lanjut Yati, biasanya terjadi sejak awal pernikahan. Karena di awal menikah, biasanya jarang sekali pasangan membicarakan soal pembagian peran. "Mereka kawin biasanya dengan pikiran, pasti cocoklah. Padahal, kenyataannya tidak demikian." Jadi, tandasnya, sebaiknya hal tersebut sudah dikompromikan berdua sejak awal, "Harus diatur, urusan sekolah anak tanggung jawab siapa, mobil tanggung jawab siapa, dan sebagainya. Apalagi kalau kedua-duanya bekerja."

Selain itu, latar belakang keluarga juga berperan terhadap timbulnya perasaan tersiksa pada suami. "Kalau ia berasal dari keluarga yang menekankan bahwa bapak harus dominan, kepala keluarga harus bapak, maka ia akan merasa tersiksa saat berumah tangga ternyata istrinya lebih dominan." Hal ini, menurut Yati, akan melukai harga dirinya. "Biasanya ia datang ke konselor dengan ucapan, 'Saya sudah tak kuat lagi. Dia tak mempercayakan segala sesuatunya pada saya, seolah-olah saya tak bisa melakukan apa-apa.'"

Seharusnya, kata Yati, hal ini juga sudah diantisipasi sejak sebelum menikah. "Kan, kalau istrinya punya karakter dominan, tentunya sudah dia ketahui sejak masa pacaran. Kalau ia merasa tak cocok dengan karakter ini, kenapa diteruskan untuk kawin?"

JADI CUEK

Apa reaksi yang muncul dari perasaan tersiksa tersebut? Bisa macam-macam. "Mungkin awalnya si suami merasa tak enak, tapi lama-lama justru keenakan. Dia pikir, biar saja semua-semua dikerjakan istri sehingga bebannya ringan."

Bisa pula suami menjadi cuek, "Karena perasaan mengalah yang dipendam berlarut-larut, tak dikomunikasikan, akhirnya ia jadi pasif. Namun pasif yang agresif." Misalnya, "Bodo amat dengan genteng yang bocor. Terserah kamu. Kan, biasanya kamu yang ngatur." Jadi, di balik kecuekannya ada perasaan marah, tertekan, dan kesal sehingga ia lalu memasa-bodohkan semuanya. Biar genteng bocor di depan matanya sekali pun, ia tak ambil pusing.

Di pihak lain, istri akan beralasan, "Saya melakukan semua ini karena dia tak melakukan apa-apa. Saya jadi gemas. Saya ingin segalanya cepat beres. Tapi setiap kali saya mengingatkannya agar membawa mobil ke bengkel, memanggil tukang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, dia diam saja. Dia tak melakukan apa-apa. Ya, sudahlah, terpaksa saya kerjakan sendiri."

Nah, menurut Yati, masalah pun timbul. Jika itu yang terjadi, sarannya, segera cari solusinya. "Komunikasi harus dijalankan." Bila pasangan mengalami kesulitan untuk memulai komunikasi, anjurnya, mintalah bantuan pihak ketiga. Entah itu konselor perkawinan atau orang yang dihormati. "Nah, di situ mereka harus mau membuka diri, maunya kamu apa dan maunya aku apa. Jadi, seperti orang yang bernegosiasi." Namun, Yati mengingatkan, janganlah keburu marah atas keinginan pasangannya. Bukankah itu untuk kebaikan berdua?

Jika kesepakatan sudah dicapai, jalankanlah. "Beri waktu untuk melaksanakannya, karena untuk mengubah diri bukan hal gampang." Tentukan kesepakatan waktu secara bersama, apakah perlu sebulan atau 3 bulan. Misalnya, "Kalau dalam waktu sebulan kamu masih cuek juga, bagaimana? Apa yang mesti kita lakukan?" Dengan kata lain, bicarakanlah!

Jika waktu yang telah ditentukan sampai batasnya, lakukan evaluasi. Bisa saja, di saat ini, timbul keributan. Tapi tak apa, yang penting cari jalan keluarnya. "Dengan dibukanya jalur komunikasi, masalah pasti akan teratasi. Jangan malah didiamkan saja dengan harapan si pasangan akan mengerti perasaannya."

Padahal, lanjut Yati, kalau kita tak mengungkapkan apa yang kita inginkan, bagaimana pasangan akan tahu apalagi mengerti? "Unek-unek itu harus dibuka. Paling bagus kalau ada rapat keluarga, minimal 2 minggu sekali. Apalagi kalau anak-anak sudah mulai agak besar. Karena anak-anak justru biasanya malah bisa memberikan kontribusi yang baik sebab mereka berada di luar, sehingga bisa lebih obyektif."

ANAK BERONTAK

Yati mengingatkan, bila semua masalah tak pernah dibicarakan, akan tetap tinggal menjadi masalah. "Mungkin untuk sementara akan hilang, tapi lantas jadi pasif agresif. Ia cari kesibukan lain di luar, dan sebagainya." Lagipula, tambahnya, orang yang merasa tertekan dan tekanan itu dalam waktu lama, bisa mengakibatkan stres. "Dampak stresnya bisa luber ke mana-mana, termasuk jadi galak di kantor tadi."

Selain itu, anak-anak pun bisa kena dampaknya. "Jangan lupa, anak-anak sangat peka. Kalau bapak-ibunya ada masalah, mereka bisa merasakannya." Jadi, bila ayahnya merasa tertekan di rumah, maka anak-anak pun akan merasa tak aman.

Di samping itu, dalam pembentukan kepribadiannya, anak biasanya melakukannya dengan imitasi. Pada anak lelaki, ayah merupakan father figure buatnya. Sementara anak perempuan akan berimitisi dengan ibu. Nah, dengan memiliki ayah yang submissive dan ibu yang dominan, maka bukan tak mungkin si anak lelaki akan jadi submissive pula dan yang perempuan ikutan dominan seperti ibunya. "Karena anak belajar dari orang tuanya, walau sebenarnya anak juga punya karakter sendiri-sendiri. Kalau karakternya memang kuat, bisa jadi ia tak meniru ayah-ibunya."

Dampak lainnya ialah si anak bisa menjadi tak respek pada ayahnya. Ia menganggap ayahnya tak bisa apa-apa. Akan bertambah buruk bila si anak sudah bisa menyerap omongan/komentar orang tentang keluarganya. Ia akan memberontak, "Kok, bapakku enggak seperti bapak yang lain?" Bentuk pemberontakannya bisa berbeda-beda pada setiap anak. Ada yang lalu jadi tak menurut pada sang ayah dan hanya patuh pada ibu.

Kalau sudah begitu, orang tua harus melakukan koreksi. Misalnya, pihak ayah melakukan introspeksi diri dan ibu harus berani mencoba memperluas wawasan suami dalam arti mengajak suaminya berdialog. "Pada anak pun harus ditanamkan, apapun juga, ia harus hormat pada orang tuanya."

Lakukan hal itu bersama pasangan. Dengan kata lain, dalam menegakkan aturan di rumah, orang tua harus berada dalam satu front, "Tunjukkan pada anak, bahwa ayah dan ibunya satu 'kubu'." Kalaupun si anak masih ragu, katakan padanya, "Bukannya Bapak nggak bisa apa-apa, tapi Ibu yang enggak sabaran." Nah, tak sulit, kan?

Indah