Etika Mengunjungi Bayi

By nova.id, Minggu, 24 Oktober 2010 | 17:01 WIB
Etika Mengunjungi Bayi (nova.id)

Mengunjungi bayi baru lahir juga ada etikanya, lo. Kita enggak boleh sembarangan memegang, apalagi sampai mencium dan menggendongnya.

Kelahiran bayi selalu mendatangkan kebahagiaan. Bukan hanya bagi bapak-ibunya, tapi juga kakek-nenek, paman-bibi, dan kaum kerabat lainnya, bahkan juga para sahabat dan tetangga. Itulah mengapa, para tamu yang datang berkunjung ke ruang rawat-inap ibu seolah tak putus-putusnya mengalir. Setelah ibu kembali ke rumah bersama sang bayi pun, para tamu masih terus berdatangan.

Yang sering terjadi, si tamu datangnya bukan cuma satu-dua orang tapi sekaligus satu rombongan besar, dari kakek-nenek hingga keponakan. Sudah datangnya serombongan, mereka pun biasanya akan berlama-lama di kamar pasien. Bicaranya panjang-lebar sampai jam bezuk pun tak diindahkan.

Sekalipun sudah "diusir" oleh perawat yang bertugas, tak jarang mereka tetap membandel. Sampai-sampai, perawat atau dokter yang seharusnya memeriksa, terpaksa menundanya sampai seluruh pengunjung pergi. Begitulah orang Timur, kata Dr. H.M.V. Ghazali, MBA.MM., ungkapan rasa turut berbahagianya kadang berlebihan. Lain hal dengan orang Barat, "ucapan turut berbahagia atas kelahiran bayi bisa diungkapkan hanya melalui telepon atau mengirimkan kartu. Kalaupun ada yang datang berkunjung, biasanya dari kalangan yang dekat dengan keluarga saja seperti orang tua atau kawan karib," tuturnya.

Tentu saja, kita tak bisa menyalahkan mereka yang datang menjenguk sampai serombongan, misalnya, karena kultur Timur memang seperti itu. Namun sebagai tamu, kita sebaiknya bersikap lebih arif dan bijaksana. Pasalnya, terang Ghazali, setiap bayi yang baru dilahirkan memiliki daya tahan tubuh berbeda. "Jika bayi yang kita kunjungi kebetulan memiliki daya tahan kurang bagus, berarti ia akan rentan terkontaminasi oleh lingkungan, termasuk orang-orang yang datang mengunjunginya," tutur spesialis anak ini. Kasihan, kan, si bayi.

PERHATIKAN KONDISI BAYI

Nah, agar kedatangan kita tak membahayakan si bayi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama, saran Ghazali, carilah dulu informasi mengenai kondisi si bayi. Nggak sulit, kok, Bu-Pak. Bukankah kita bisa bertanya kepada keluarga dekat si pasien seperti orang tuanya?

Adapun yang perlu kita ketahui adalah proses kelahirannya, usia kehamilan saat si bayi lahir, dan berat badannya. Soalnya, dari ketiga hal tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana daya tahan tubuh si bayi. Bila si bayi dilahirkan lewat persalinan normal, tutur Ghazali, berarti kondisinya sehat karena proses kelahiran normal biasanya dilakukan bila ibu dan janin dalam keadaan sehat.

Dengan demikian, bayi yang dilahirkan lewat persalinan normal biasanya memiliki daya tahan tubuh yang relatif baik pula. Bukankah pada masa kehamilan, sebagian besar antibodi ibu diturunkan pada bayi melalui ari-ari atau plasenta sehingga ia memperoleh antibodi secara pasif?

Bukan berarti di luar persalinan normal lantas si bayi enggak sehat, lo. Hal ini tergantung dari indikasinya; apakah karena inidikasi ibu, indikasi bayi, ataukah indikasi ibu dan bayi. Bila persalinan dengan tindakan karena indikasi ibu, maka bisa saja bayi dalam keadaan sehat. Ambil contoh seorang ibu yang bayi pertamanya dilahirkan lewat sesar, apapun sebabnya.

"Biasanya, pada kelahiran bayi kedua, si ibu pun akan melahirkan dengan cara sesar pula. Jadi, kondisi si bayi sebetulnya sehat." Contoh lain, ibu yang memiliki panggul sempit. "Walaupun bayinya sehat, tapi karena si ibu panggulnya sempit, jadi harus dilahirkan dengan cara sesar." Lain hal bila tindakan dilakukan karena indikasi bayi, bisa dikatakan si bayi memang berisiko memiliki daya tahan yang kurang. Misalnya, kelahiran yang dipercepat karena bayi mengalami infeksi di kandungan.

Hal ini berarti, bayi dilahirkan dengan kondisi yang memang sudah lemah. "Ia memerlukan bantuan obat-obatan, bantuan antibiotik, atau bantuan suntikan imun atau serum." Sementara tindakan yang disebabkan indikasi campuran atau indikasi ibu dan anak, sebenarnya indikasinya lebih pada ibu tapi berdampak pada si bayi. Misalnya, persalinan ibu tak maju, lalu dicoba dengan tindakan vakum.