Mengunjungi bayi baru lahir juga ada etikanya, lo. Kita enggak boleh sembarangan memegang, apalagi sampai mencium dan menggendongnya.
Kelahiran bayi selalu mendatangkan kebahagiaan. Bukan hanya bagi bapak-ibunya, tapi juga kakek-nenek, paman-bibi, dan kaum kerabat lainnya, bahkan juga para sahabat dan tetangga. Itulah mengapa, para tamu yang datang berkunjung ke ruang rawat-inap ibu seolah tak putus-putusnya mengalir. Setelah ibu kembali ke rumah bersama sang bayi pun, para tamu masih terus berdatangan.
Yang sering terjadi, si tamu datangnya bukan cuma satu-dua orang tapi sekaligus satu rombongan besar, dari kakek-nenek hingga keponakan. Sudah datangnya serombongan, mereka pun biasanya akan berlama-lama di kamar pasien. Bicaranya panjang-lebar sampai jam bezuk pun tak diindahkan.
Sekalipun sudah "diusir" oleh perawat yang bertugas, tak jarang mereka tetap membandel. Sampai-sampai, perawat atau dokter yang seharusnya memeriksa, terpaksa menundanya sampai seluruh pengunjung pergi. Begitulah orang Timur, kata Dr. H.M.V. Ghazali, MBA.MM., ungkapan rasa turut berbahagianya kadang berlebihan. Lain hal dengan orang Barat, "ucapan turut berbahagia atas kelahiran bayi bisa diungkapkan hanya melalui telepon atau mengirimkan kartu. Kalaupun ada yang datang berkunjung, biasanya dari kalangan yang dekat dengan keluarga saja seperti orang tua atau kawan karib," tuturnya.
Tentu saja, kita tak bisa menyalahkan mereka yang datang menjenguk sampai serombongan, misalnya, karena kultur Timur memang seperti itu. Namun sebagai tamu, kita sebaiknya bersikap lebih arif dan bijaksana. Pasalnya, terang Ghazali, setiap bayi yang baru dilahirkan memiliki daya tahan tubuh berbeda. "Jika bayi yang kita kunjungi kebetulan memiliki daya tahan kurang bagus, berarti ia akan rentan terkontaminasi oleh lingkungan, termasuk orang-orang yang datang mengunjunginya," tutur spesialis anak ini. Kasihan, kan, si bayi.
PERHATIKAN KONDISI BAYI
Nah, agar kedatangan kita tak membahayakan si bayi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama, saran Ghazali, carilah dulu informasi mengenai kondisi si bayi. Nggak sulit, kok, Bu-Pak. Bukankah kita bisa bertanya kepada keluarga dekat si pasien seperti orang tuanya?
Adapun yang perlu kita ketahui adalah proses kelahirannya, usia kehamilan saat si bayi lahir, dan berat badannya. Soalnya, dari ketiga hal tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana daya tahan tubuh si bayi. Bila si bayi dilahirkan lewat persalinan normal, tutur Ghazali, berarti kondisinya sehat karena proses kelahiran normal biasanya dilakukan bila ibu dan janin dalam keadaan sehat.
Dengan demikian, bayi yang dilahirkan lewat persalinan normal biasanya memiliki daya tahan tubuh yang relatif baik pula. Bukankah pada masa kehamilan, sebagian besar antibodi ibu diturunkan pada bayi melalui ari-ari atau plasenta sehingga ia memperoleh antibodi secara pasif?
Bukan berarti di luar persalinan normal lantas si bayi enggak sehat, lo. Hal ini tergantung dari indikasinya; apakah karena inidikasi ibu, indikasi bayi, ataukah indikasi ibu dan bayi. Bila persalinan dengan tindakan karena indikasi ibu, maka bisa saja bayi dalam keadaan sehat. Ambil contoh seorang ibu yang bayi pertamanya dilahirkan lewat sesar, apapun sebabnya.
"Biasanya, pada kelahiran bayi kedua, si ibu pun akan melahirkan dengan cara sesar pula. Jadi, kondisi si bayi sebetulnya sehat." Contoh lain, ibu yang memiliki panggul sempit. "Walaupun bayinya sehat, tapi karena si ibu panggulnya sempit, jadi harus dilahirkan dengan cara sesar." Lain hal bila tindakan dilakukan karena indikasi bayi, bisa dikatakan si bayi memang berisiko memiliki daya tahan yang kurang. Misalnya, kelahiran yang dipercepat karena bayi mengalami infeksi di kandungan.
Hal ini berarti, bayi dilahirkan dengan kondisi yang memang sudah lemah. "Ia memerlukan bantuan obat-obatan, bantuan antibiotik, atau bantuan suntikan imun atau serum." Sementara tindakan yang disebabkan indikasi campuran atau indikasi ibu dan anak, sebenarnya indikasinya lebih pada ibu tapi berdampak pada si bayi. Misalnya, persalinan ibu tak maju, lalu dicoba dengan tindakan vakum.
"Bayinya, sih, sebenarnya sehat. Tapi karena persalinan dengan vakum, akhirnya bayi bisa mengalami gangguan di kepala, gangguan pada otak, atau mungkin pendarahan halus. Si bayi menjadi rentan terhadap penyakit, lebih rentan menjadi kuning dan rentan pada mobilisasi yang terlalu cepat," tutur Ghazali. Selanjutnya dari usia kehamilan, "biasanya berkaitan dengan berat badan bayi," ujar Ghazali; diklasifikasikan menjadi: bayi cukup bulan dengan berat badan normal, bayi cukup bulan dengan berat badan kurang, bayi kurang bulan yang berat badannya sesuai kehamilan kurang bulannya, dan bayi kurang bulan yang berat badannya kurang dengan usia kehamilannya. Nah, bayi cukup bulan dengan berat badan kurang dan bayi kurang bulan inilah yang daya tahan tubuhnya kurang bagus.
Pada bayi cukup bulan namun berat badannya kurang, terang Ghazali, kemungkinan janin mengalami gangguan pertumbuhan selama di kandungan. "Penyebabnya bisa macam-macam, entah karena gangguan suplai darah dari ari-ari ibu atau gangguan lain seperti sistem organnya yang belum sempurna sehingga membuat bayi sulit mengejar berat badan sesuai usia kehamilannya."
Konsekuensinya tentu bayi ini jadi memiliki daya tahan yang rendah. Demikian pula bayi kurang bulan, tentulah dia lebih rentan dari bayi normal. Pasalnya, pada bayi kurang bulan atau yang juga disebut prematur, seluruh sistem di tubuhnya belum matang, termasuk sistem pertahanan tubuhnya. Jadi, otomatis bayi prematur yang baru lahir ini memiliki daya tahan tubuh rendah. Nah, bayi-bayi yang rentan ini, lanjut Ghazali, perlu dirawat dulu sebelum dibawa kepada ibunya. Tak demikian halnya dengan bayi yang sehat, biasanya akan cepat dibawa kepada ibunya.
JANGAN PEGANG BAYI
Setelah mengetahui kondisi si bayi, barulah kita tanyakan di mana rumah sakitnya dan nomor kamarnya. Kita juga perlu tahu, apakah rumah sakit tersebut menerapkan pola rooming in alias rawat-gabung atau tidak. Bila ya, berarti si bayi berada dalam satu kamar dengan ibunya. Dengan demikian, bayi bisa mendapatkan ASI kapan saja sehingga ASI si ibu pun bisa cepat keluar. Bukankah produksi ASI dirangsang oleh isapan bayi? Nah, ASI ini sangat penting untuk memperkuat daya tahan bayi.
Yang jadi masalah, dengan rawat-gabung berarti si bayi mudah sekali berkontak dengan para tamu. Sementara tamu yang berkunjung, kan, beraneka ragam; dari yang sehat sampai yang kurang sehat. Nah, si ibu, terlebih yang baru pertama kali punya anak, biasanya akan dengan bangga memperlihatkan bayinya. Celakanya, si tamu bukan hanya memberi komentar, tapi juga disertai jawilan pada pipi si bayi atau bahkan mencium dan menggendongnya.
Kalau kebetulan si tamu lagi sariawan atau memiliki jamur, misalnya, lalu dia menggendong atau mencium si bayi, kan, bisa menularkannya pada si bayi. Tentu sah-sah saja bila ibu ingin memperlihatkan bayinya sebagai ungkapan rasa bahagia dan bangga, namun para tamu hendaknya jangan memegang si bayi, apalagi sampai mencium atau menggendongnya. "Dokter saja kalau mau memegang harus cuci tangan dulu. Pindah ke bayi lain, dia juga akan cuci tangan lagi. Seorang dokter berusaha tak terlalu banyak memegang bayi dan tangannya juga selalu bersih," kata Ghazali.
Jadi, Bu-Pak, bila Anda menjenguk teman, sahabat, relasi, maupun anggota keluarga yang baru melahirkan dan menjalani rawat gabung, tolong diperhatikan hal tersebut, ya. Lain halnya bila si bayi tak sekamar dengan ibunya, sehingga para tamu yang ingin menjenguk si ibu tak mudah akses ke bayi. Begitu pun bila para tamu ingin melihat si bayi karena mereka melihatnya dari balik kaca kamar bayi.
SEDIAKAN BUKU TAMU
Hal lain yang perlu diperhatikan, kita sebaiknya datang bukan saat jam minum bayi. Di sini dituntut kebijaksanaan dan kearifan kita sebagai tamu. Bila kita memang sibuk sehingga waktu bezuk berbenturan dengan jam minum bayi, setidaknya kita bisa melongok dari pintu untuk mengucapkan selamat dan katakan, "Tapi, maaf, lo, aku nggak masuk karena Anda masih menyusui si kecil. Nanti, deh, aku datang ke rumah saja kalau bayi sudah pulang."
Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa kita telah memberi atensi. Kemudian, bila kita datang dan di daun pintu tercantum tulisan menyatakan tak menerima tamu, sebaiknya kita tak memaksa masuk. "Kita, kan, bisa menelepon untuk menceritakan kejadian tersebut," ujar Ghazali. Misalnya, "Eh, tadi aku sudah datang, lo, tapi enggak jadi masuk karena pintunya ada tulisan tak menerima tamu. Tapi nggak apa-apa, kok, aku bisa mengerti. Aku cuma ingin mengucapkan selamat atas kelahiran si kecil. Nanti, deh, kapan-kapan aku datang lagi."
Pihak pasien, anjur Ghazali, sebaiknya menyediakan buku tamu. Jadi, bila ada yang bermaksud mengunjungi namun tak bisa masuk, entah karena ada larangan atau pada saat itu sedang jam minum bayi, bisa menuliskan kenang-kenangan di buku tersebut. Dengan demikian, si tamu pun tak merasa kecewa karena sudah jauh-jauh datang namun pasien tak tahu. "Jadi, kedua belah pihak sebaiknya memberikan pengertian."
TUAN RUMAH HARUS BERANI MENOLAK
Sebenarnya, tutur Ghazali, tak ada salahnya bila kita memberikan ucapan selamat lewat kartu atau telepon apabila kita sudah tahu bahwa kondisi si bayi belum memungkinkan untuk dijenguk. Toh, setelah si bayi dibawa pulang ke rumah, kita masih punya kesempatan untuk menjenguknya. Bukankah bila bayi sudah boleh dibawa pulang berarti dokter sudah memutuskan bahwa bayi sudah lepas dari pengawasan dokter, bidan, dan perawat? Dengan kata lain, kondisi bayi sudah jauh lebih baik.
Walaupun begitu, tutur Ghazali, kita tetap tak boleh sembarangan memegang, menggendong, dan mencium bayi. Pasalnya, vaksinasi dasar bayi neonatus belum lengkap. "Jadi, bila tamu membawa kontaminasi kuman, bayi relatif bisa mudah terkena," tandasnya. Selain itu, pesan Ghazali, sebaiknya kita tak membawa anak. "Rasa ingin tahu anak sangat besar, lo. Kalau melihat bayi, biasanya mereka akan 'mengutak-atik'nya; entah memegang mata, kulit, atau bagian tubuh lainnya. Kita, kan, enggak tahu tangan anak kita bersih atau tidak, apakah dia habis bermain dengan tangan atau tidak."
Nah, bila anak kita tangannya kotor, tentunya akan membahayakan si bayi. Di sisi lain, kepada tuan rumah, Ghazali menganjurkan agar berani menolak secara halus, sekalipun kepada tamu yang lebih tua. "Kemukakan saja keberatan Anda dan alasannya kepada para tamu.
Toh, demi kebaikan bayi Anda sendiri." Atau, tuan rumah bisa menolak halus dengan mengatakan, "Bayi saya sedang tidur." Para tamu pun hendaknya tanggap bahwa tuan rumah tak ingin bayinya dikunjungi. Jadi, Bu-Pak, jangan tersinggung, ya, bila ditolak oleh tuan rumah. Jangan pula ngotot ingin tetap melihat si bayi. Bila demikian, berarti Bapak dan Ibu telah membuat si tuan rumah menjadi sulit posisinya. Kasihan, kan, si tuan rumah; terlebih lagi bayinya. Ingat, lo, pertahanan tubuh bayi baru lahir masih rendah. Tentunya Bapak dan Ibu juga tak ingin "mencelakakan" si bayi, kan?
Faras