Etika Mengunjungi Bayi

By nova.id, Minggu, 24 Oktober 2010 | 17:01 WIB
Etika Mengunjungi Bayi (nova.id)

TUAN RUMAH HARUS BERANI MENOLAK

Sebenarnya, tutur Ghazali, tak ada salahnya bila kita memberikan ucapan selamat lewat kartu atau telepon apabila kita sudah tahu bahwa kondisi si bayi belum memungkinkan untuk dijenguk. Toh, setelah si bayi dibawa pulang ke rumah, kita masih punya kesempatan untuk menjenguknya. Bukankah bila bayi sudah boleh dibawa pulang berarti dokter sudah memutuskan bahwa bayi sudah lepas dari pengawasan dokter, bidan, dan perawat? Dengan kata lain, kondisi bayi sudah jauh lebih baik.

Walaupun begitu, tutur Ghazali, kita tetap tak boleh sembarangan memegang, menggendong, dan mencium bayi. Pasalnya, vaksinasi dasar bayi neonatus belum lengkap. "Jadi, bila tamu membawa kontaminasi kuman, bayi relatif bisa mudah terkena," tandasnya. Selain itu, pesan Ghazali, sebaiknya kita tak membawa anak. "Rasa ingin tahu anak sangat besar, lo. Kalau melihat bayi, biasanya mereka akan 'mengutak-atik'nya; entah memegang mata, kulit, atau bagian tubuh lainnya. Kita, kan, enggak tahu tangan anak kita bersih atau tidak, apakah dia habis bermain dengan tangan atau tidak."

Nah, bila anak kita tangannya kotor, tentunya akan membahayakan si bayi. Di sisi lain, kepada tuan rumah, Ghazali menganjurkan agar berani menolak secara halus, sekalipun kepada tamu yang lebih tua. "Kemukakan saja keberatan Anda dan alasannya kepada para tamu.

Toh, demi kebaikan bayi Anda sendiri." Atau, tuan rumah bisa menolak halus dengan mengatakan, "Bayi saya sedang tidur." Para tamu pun hendaknya tanggap bahwa tuan rumah tak ingin bayinya dikunjungi. Jadi, Bu-Pak, jangan tersinggung, ya, bila ditolak oleh tuan rumah. Jangan pula ngotot ingin tetap melihat si bayi. Bila demikian, berarti Bapak dan Ibu telah membuat si tuan rumah menjadi sulit posisinya. Kasihan, kan, si tuan rumah; terlebih lagi bayinya. Ingat, lo, pertahanan tubuh bayi baru lahir masih rendah. Tentunya Bapak dan Ibu juga tak ingin "mencelakakan" si bayi, kan?  

Faras