Kita wajib introspeksi diri bila si kecil kerap bercerita ataupun menumpahkan unek-uneknya pada orang lain. Jangan-jangan karena cara kita merespon yang tak sesuai harapannya.
Awalnya, Ny. Yulia (36) tak begitu peduli kala putra sulungnya, Andi (4) langsung mencari kakeknya sepulang "sekolah" hanya untuk menceritakan pengalamannya hari itu di "sekolah". Tapi setelah beberapa kali ibu dua anak ini minta Andi menceritakan hal yang sama pada dirinya, ternyata, "Andi cuma cerita singkat saja, enggak seru seperti kalau cerita sama kakeknya. Saya kecewa sekali. Saat itu baru saya ngeh kalau selama ini Andi memang lebih sering ngobrol sama kakeknya, sementara kalau saya yang ngajak ngomong, Andi kelihatannya ogah-ogahan dan cuma menjawab seperlunya saja. Duh, rasanya nyesek banget ini dada. Saya merasa enggak dibutuhin oleh anak saya sendiri," tuturnya dengan nada sendu.
Kita pun akan punya perasaan sama bila si kecil lebih suka ngobrol apalagi "curhat" alias menumpahkan unek-uneknya pada orang ketiga. Sekalipun orang ketiga itu adalah kakek-neneknya atau om-tantenya yang masih kerabat sendiri. Sebagai orang tua, ada rasa tak rela, cemburu, dan otomatis terluka.
Tentu wajar-wajar saja bila kita punya perasaan demikian sebagaimana dikatakan dra. Enny Z. Hanum, "Namanya juga orang tua, apalagi ibu. Dia, kan, yang merasakan suka-dukanya mengandung dan melahirkan. Jadi, wajarlah kalau kemudian muncul perasaan-perasaan seperti itu." Namun begitu, ujar psikolog lulusan Fakultas Psikologi UI ini, "seyogyanya orang tua mampu berkepala dingin dalam memecahkan masalah ini."
Soalnya, perilaku si kecil yang demikian bukan tak mungkin lantaran ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman untuk berkomunikasi dengan kita. Bisa jadi ekspresi kita, cara bicara kita yang selalu mengkritik dan mengajarinya itulah yang membuatnya "lari" dari kita sebagai orang tuanya. Itulah mengapa, Enny menyarankan kita agar introspeksi diri untuk mengetahui akar permasalahannya hingga bisa diperbaiki.
ORANG ISTIMEWA
Perlu diketahui, si kecil memilih orang ketiga sebagai tempat "curhat" berarti orang tersebut istimewa di matanya hingga ia percaya penuh pada orang itu. "Biasanya karena orang ketiga ini bisa dan mau mendengar obrolan anak, bisa menerima anak tanpa mengkritik atau mengkoreksi," tutur Enny.
Jangan lupa, walau masih usia prasekolah, namun kebutuhan untuk diterima tetap ada, baik oleh orang tua maupun lingkungannya karena berkaitan dengan rasa aman yang dibutuhkannya. Tapi jangan salah sangka, lo, bukan berarti kita tak pernah menerima si kecil seutuhnya. Si kecil juga tahu, kok, dengan pasti kalau kita menerimanya. Hanya mungkin kita memberi respon tak sesuai harapannya.
Bukankah dalam menghadapi segala sesuatu pada diri anak, biasanya orang tua cenderung mengkaitkan dengan unsur pendidikan hingga segala sesuatunya selalu ditanggapi dengan penuh kritik dan koreksi? Tak demikian halnya orang ketiga, entah kakek-nenek, om-tante, atau bahkan tetangga yang jadi idola anak, tak selalu mementingkan unsur pendidikan dalam menghadapi anak."
Nah, disinilah persoalannya. Anak, tutur Enny lebih lanjut, tak selalu butuh kritik. "Ada saat-saat tertentu ia hanya butuh didengarkan omongannya, butuh didengar siapa akunya." Dengan demikian, bila kita tak menunjukkan sikap bisa memberikan sesuatu yang sesuai harapannya, tak heran bila akhirnya si kecil "lari" pada orang ketiga, ya, Bu-Pak.
REM OMONGAN KITA
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Saran Enny, kita harus cari tahu mengenai diri anak; kapan ia butuh diberi nasihat dan kritik, serta kapan ia hanya butuh didengar dan dipuji. Misal, si kecil cerita, tadi ia menumpahkan makanan namun tumpahannya sudah dilap dan tangannya pun sudah dicuci. Tentu yang ia harapkan bukan cercaan, 'Makanya kalau makan hati-hati, duduk yang manis!', melainkan pujian bahwa saya melakukan kesalahan tapi saya sudah bisa memperbaikinya.