Kerap Memotong Pembicaraan Orang

By nova.id, Minggu, 9 Januari 2011 | 17:00 WIB
Kerap Memotong Pembicaraan Orang (nova.id)

Wajar, kok, Bu-Pak, bila di usia ini si kecil suka memotong pembicaraan orang. Tapi bila perilaku ini jadi kebiasaan, kita harus introspeksi diri. Jangan-jangan justru kitalah yang memberi contoh.

Tentu tak ada orang tua yang ingin anaknya berlaku tak sopan dengan selalu memotong-motong pembicaraan orang lain alias suka sekali interupsi. Sayang, perilaku demikian tak bisa kita hindari selagi si kecil di usia ini. Pasalnya, terang dra. Rose Mini A.P., M.Psi., sebelum usia 3 tahun, kapasitas kemampuan bicara anak masih terbatas hingga kemampuan untuk memotong-motong pembicaraan orang lain jelas belum ada. Disamping, ia pun masih pasrah dan tergantung pada orang tua.

Tak demikian halnya setelah usia 3 tahun, ada kematangan-kematangan perkembangan pada dirinya; baik perkembangan sosialisasi maupun kematangan untuk mencari identitas dirinya. "Ia juga mulai belajar melihat reaksi dan respon orang lain." Itulah mengapa akhirnya timbul masalah suka interupsi. Selain, rasa ingin tahunya yang mulai meningkat dan menginginkan jawaban seketika, juga memicunya jadi suka interupsi.

ORANG TUA MODEL UTAMA

Kendati perilaku suka interupsi di usia prasekolah terbilang normal, namun tak boleh dibiarkan. Jadi, si kecil harus diarahkan ya, Bu-Pak, agar perilakunya ini tak kebablasan jadi suatu kebiasaan yang melekat dalam dirinya untuk selamanya. Selain karena perilaku ini dipandang melanggar norma sopan-santun dalam budaya kita, anak usia ini juga belum tahu bagaimana norma lingkungan. "Ia, kan, belum tahu harus bersikap bagaimana, termasuk pula norma berbicara. Nah, di sini perlu peran orang tua untuk mengajarkan norma-norma tersebut pada anak," tutur Romi, sapaan akrab staf pengajar pada Fakultas Psikologi UI ini.

Untuk itu, ujar Romi, kita harus jadi model yang bagus buat anak. Maksudnya, kita pun tak boleh memotong pembicaraan orang. Bahkan, saat si kecil lagi bicara pun, kita harus tunggu sampai ia selesai bicara, baru kemudian giliran kita bicara. Dengan begitu, ia pun akan meniru hal yang sama. "Ia jadi tahu kalau bicara tak boleh memotong pembicaraan orang lain." Jangan kita malah mengajarkan hal sebaliknya, misal, memotong pembicaraan si kecil hanya karena ia seorang bocah. Jangan salah, lo, si kecil pun seperti kita, ingin dihargai.

Jadi, Bu-Pak, jangan sampai sesuatu yang tak kita inginkan keluar dari mulut si kecil justru kita sendiri melakukannya. Memang, aku Romi, bisa saja orang tua melakukannya dengan tak sengaja. Bukankah tak ada orang tua yang punya tendensi ingin membuat anaknya kurang ajar? Namun begitu, kita tetap harus hati-hati menjaga omongan kita; entah saat bicara dengan tetangga, kenalan, teman kerja, maupun dengan anak. Ingat, secara tak langsung kebiasaan ini akan ditiru si kecil.

Pokoknya, tandas Romi, bila si kecil suka memotong pembicaraan, kita harus introspeksi dulu. "Lihat dulu pola sehari-hari kita sebagai orang tua seperti apa? Apakah perilakunya itu ditiru dari diri kita atau bukan? Bukankah perilaku anak tak bakalan timbul begitu saja? Pasti ada penyebabnya, kan?" Nah, salah satunya, ya, itu tadi, contoh dari kita.

BERI KESEMPATAN BICARA

Selain jadi model, kita pun harus memberi kesempatan bicara pada si kecil. Bila tidak, jangan salahkan si kecil, lo, kala ia memotong pembicaraan Ibu-Bapak. Soalnya, perilaku interupsi juga bisa tercetus lantaran anak merasa tak punya kesempatan bicara.

Celakanya, yang sering terjadi justru kita memperlakukan anak seakan-akan anak tak punya pikiran dan keinginan. Ambil contoh dalam hal makan. Biasanya kita, kan, yang menentukan dan mengambilkan makanannya? Jarang sekali kita bertanya dulu pada si kecil, mau makan apa. Sudah gitu, kalau si kecil tak menghabiskan makanannya, kita malah marah. Begitu, kan, yang kerap terjadi, Bu-Pak? Padahal, kalau si kecil boleh memilih dan menakar sendiri makanannya, pasti makanan itu akan habis.

Nah, perilaku kita yang kerap membuat keputusan untuk si kecil ini, menurut Romi, lama-lama membuat si kecil merasa tak pernah diberi kesempatan dan tak punya hak bicara. Akibatnya, kala ia punya kesempatan ngomong, misal, saat kita ajak bicara, ia lantas ngomong dengan cara memotong omongan kita karena ia merasa saat itulah yang tepat untuk bicara. "Ia tak paham, perilakunya itu sebenarnya enggak sopan." Coba kalau orang lain atau gurunya yang dipotong omongannya, kita juga yang malu, kan? Jadi, kita harus memberi kesempatan pada si kecil untuk bicara, ya, Bu-Pak.

CARI PERHATIAN

Lain soal jika ia kerap interupsi saat kita tengah bicara dengan orang lain atau menelepon, menurut Romi, tak lain karena ia ingin cari perhatian. Untuk mengatasinya, kita harus lihat urgensi dari pertanyaan atau omongan si kecil, apakah perlu dijawab seketika atau masih bisa ditunda.

Bila ia memotong pembicaraan kita karena tangannya tergores pisau, misal, tentu tak bisa ditunda karena lukanya harus segera diobati. Tapi kalau masih bisa ditunda semisal minta diambilkan mainan, "beri pengertian padanya atau alihkan perhatiannya." Misal, "Kakak tunggu sebentar, ya. Nanti selesai Bunda ngomong akan Bunda ambilkan." Tentunya kita harus tepat janji. Usai telepon atau mengobrol dengan tamu, kita harus segera lakukan pembicaraan dengan anak, "Tadi Kakak minta diambilkan mainan yang mana?" Dengan begitu, si kecil merasa tetap dapat kesempatan bicara, dan ia pun tak merasa kebutuhannya diabaikan.

Jadi, Bu-Pak, kita harus tetap berkepala dingin kendati kita tahu interupsinya adalah caranya untuk menarik perhatian. Jangan kita malah membentaknya menyuruh diam atau minta pembantu menyeretnya masuk ke dalam. Soalnya, terang Romi, cara ini bisa membuat si kecil jera untuk bicara. Bukankah kalau ia bicara akan dimarahi? Tak hanya itu, cara ini juga mematikan keingintahuannya. Bukankah pada dasarnya anak bertanya karena ingin mencari jawaban dari rasa ingin tahunya? Hanya cara mendapatkan jawabannya yang enggak tepat. Jadi, yang salah bukan rasa ingin tahunya, tapi cara ia mengakomodasikan rasa ingin tahunya yang enggak tepat waktunya.

Tapi bisa juga, lo, saat itu si kecil memang berhenti menginterupsi namun tak mengubah perilakunya. "Ia akan cari celah lagi. Apalagi bila orang tua enggak konsisten; kadang mau diinterupsi, kadang tidak. Misal, kala sedang bicara sama tamu tak boleh diinterupsi, tapi giliran bicara sama pembantu boleh diinterupsi. Padahal seharusnya, kan, kepada siapa saja diberlakukan sama, tak boleh interupsi kalau orang sedang bicara."

Bila orang tua tak konsisten, lanjut Romi, anak jadi bingung, "yang enggak boleh itu bertanyanya atau waktunya yang enggak tepat. Nah, karena ia bingung, maka setiap kali ia akan coba lagi." Tapi bila kita memberlakukan aturan yang konsisten, si kecil jadi mudah mencerna dan akhirnya meniru.

LIBATKAN DENGAN TAMU

Akan halnya perilaku interupsi yang terjadi kala kita tengah mengobrol dengan tamu, menurut Romi, karena si kecil merasa diabaikan oleh si tamu hingga ia pun berusaha cari perhatian. "Sering, kan, anak bikin ulah; entah minta diambilkan sesuatu maupun minta kita menjawab pertanyaannya. Pokoknya, mencoba menarik perhatian." Biasanya lantaran saat baru datang, sang tamu tak menyapa si kecil. "Yang disapa cuma ibu atau ayahnya, padahal ia ada di situ, hingga ia jengkel pada sang tamu dan mencoba menarik perhatiannya."

Terlebih lagi bila ibu atau ayahnya juga tak mengenalkan ia pada sang tamu. "Tapi jika ibu atau ayah memperkenalkan sejenak dan membiarkan ia mengobrol sebentar dengan si tamu, tentu keinginannya terpenuhi." Nah, sesudah ia puas mengobrol dan puas disapa, alihkan perhatiannya, "Kak, sekarang Bunda dan Ayah mau bicara dulu sama Om dan Tante. Kakak tunggu sebentar, ya, sebab Om dan Tante mau cepat-cepat. Nanti waktu Kakak sama Bunda, kan, lama. Eh, Bunda punya cerita lucu, lo. Sekarang Kakak ambil dulu bukunya, deh, nanti Bunda ceritakan." Dengan cara ini, si kecil tak akan berkutat di sekitar kita dan memotong-motong terus pembicaraan kita.

Pengalihan ini, tutur Romi lebih lanjut, sekaligus memberi pengertian pada si kecil bahwa kita bersedia menjawab pertanyaannya atau melayani omongannya tapi bukan sekarang. Tentunya, sekali lagi, kita harus tepat janji, ya, Bu-Pak. Kalau tidak, si kecil merasa dibohongi dan tak percaya lagi, lo. Kala ada tamu lagi dan kita menjanjikan hal yang sama, ia tak mau terima dan tetap menuntut jawabannya saat itu juga.

AJARKAN SOPAN SANTUN BICARA

Tentu si kecil juga harus diajarkan sopan santun dalam berbicara, termasuk mengajarkan bahwa memotong pembicaraan orang tak boleh dilakukan karena tak sopan. Tapi kita pun harus pula mengajarkan caranya agar tetap bisa bertanya atau memperoleh jawaban yang diinginkan tanpa harus memotong pembicaraan orang.

Jadi, kala ia sedang menginterupsi omongan kita, katakan, "Kakak tunggu dulu. Bunda mau ngomong dulu." Setelah kita selesai bicara, tawarkan padanya, "Nah, sekarang giliran Kakak, mau ngomong apa?" Dengan demikian, kita mengajarkan si kecil kapan ia harus bicara dan kapan harus mendengarkan.

Begitupun bila kakak atau adiknya melakukan hal yang sama, kita harus menegur secara halus, "Eh, Adik, Kakak lagi ngomong, kok, dipotong?", atau, "Kakak, Adik lagi ngomong, tuh. Kok, Kakak ngomong juga? Nanti enggak dengar, dong, kalau dua-duanya ngomong." Hingga, hal ini terus tertanam dalam diri si kecil.

Kadang, kala anak bicara dan ada yang memotong, ia juga akan marah. Nah, kesempatan ini bisa kita manfaatkan, "Kakak juga tak mau, kan, omongannya dipotong? Maka dari itu, Kakak juga jangan suka memotong pembicaraan orang lain." Hal-hal seperti ini adalah contoh-contoh konkret yang membuat ia sadar.

Pokoknya, tandas Romi, setiap kali ia interupsi, minta ia menunggu dulu pembicaraan kita sampai habis. Ajarkan agar ia jadi pendengar dan pembicara yang baik. Hal ini juga akan mengajarkan padanya, "Kalaupun saya memotong pembicaraan Bunda dengan tamu, pasti Bunda akan minta saya menunggu dulu."

Selain itu, tunjukkan juga konsekuensi dari perbuatannya. Misal, "Kalau terus-menerus Kakak ganggu, Bunda jadi nggak selesai-selesai bicara sama Tante Ani. Jadinya, kan, Bunda tak bisa menemani Kakak cepat-cepat. Nah, Bunda selesaikan dulu bicara sama Tante Ani, ya, agar bisa cepat menemani Kakak." Hal ini sekaligus juga mengajarkan anak pada skala prioritas bahwa kalau ia terus mengganggu maka konsekuensinya akan semakin lama waktu kita untuk tamu. Ia harus belajar bahwa ia pasti akan kebagian, tapi harus menunggu dulu.

Yang harus diingat, mengubah kebiasaan anak bukan pekerjaan mudah yang bisa diharapkan hasilnya dalam sekejap. "Perlu waktu lama untuk mengubah suatu perilaku yang telah jadi kebiasaan. Ia perlu contoh yang disuguhkan kepadanya sehari-harinya. Ingat, kepada anak itu harus konkret operasional. Jadi, kalau ingin mengubah perilaku anak, ya, beri contoh yang seharusnya karena apa yang dilihatnya itulah yang akan jadi kebiasaan atau habitnya selanjutnya."

Jadi, panjang sabar, ya, Bu-Pak, kalau ingin si kecil tak lagi memotong-motong pembicaraan orang.

Indah Mulatsih/nakita