Menyoal keberatan para guru terhadap sistem penilaian K 13 yang naratif atau deskriptif, Nuh menganggapi, hal itu hanya soal pembiasaan karena hal baru memang membutuhkan pembiasaan.
"Yang penting, penilaian numerik disertai narasi itu lebih objektif, karena banyak negara maju atau banyak sekolah berkualitas yang pakai cara itu, sehingga dua anak yang sama-sama memiliki nilai 7 akan diketahui perbedaan dari kekurangan dari keduanya. Nilainya bisa sama, tapi kekurangannya beda," katanya.
Nuh menambahkan, Kurikulum 2006 (KTSP) juga bukan tanpa masalah, di antaranya pelajaran sejarah untuk SMK tidak ada, jam pelajaran Bahasa Inggris lebih banyak dua kali lipat daripada Bahasa Indonesia, tak adanya mata pelajaran yang mendorong analisa data (survei TIMMS/PISA), dan sebagainya.
Intan Y. Septiani/Sumber: Kompas.com/Antara