Muhammad Nuh: Pemerintah Harus Beri Pendampingan untuk Jalankan Kurikulum 2013

By nova.id, Senin, 8 Desember 2014 | 05:09 WIB
Muhammad Nuh Pemerintah Harus Beri Pendampingan untuk Jalankan Kurikulum 2013 (nova.id)

TabloidNova.com - Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, menilai, kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah langkah mundur. K 13 secara substansi dinilainya tak ada masalah.

"Kalau ada masalah teknis, mestinya dicarikan solusi perbaikannya, bukan kembali balik ke belakang. Sebab KTSP secara substansi ada kekurangan dan secara teknis juga perlu penyiapan lagi," kata Nuh di Surabaya, Minggu (7/12), seperti dikutip Antara.

Nuh menjelaskan, bukti K 13 tak ada masalah secara substansi adalah dengan tetap diberlakukannya kurikulum ini di 6.221 sekolah. Jika ada masalah, ujarnya, maka tentu K 13 tak akan dipakai sama sekali.

"Untuk itu, mestinya alternatifnya, ya, penerapannya tak langsung 'dibajak' dengan dibatasi pada 6.221 sekolah itu, melainkan sekolah mana saja yang siap, dipersilakan menerapkannya. Apakah siap secara mandiri atau siap berdasarkan penilaian pemerintah," katanya.

Selanjutnya, pemerintah harus memberi pendampingan untuk menjalankan Kurikulum 2013, terutama "menyiapkan" sekolah-sekolah yang tidak siap menjalankan, sampai benar-benar siap. Penyiapan guru dan buku itu, lanjut Nuh, merupakan tugas pemerintah.

"Kalau kembali pada Kurikulum 2006 atau KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), justru menjadi mundur, karena secara substansi belum tentu lebih baik. Lalu butuh waktu lagi untuk melatih guru (dengan KTSP), bahkan orangtua juga harus membeli buku KTSP," kata Nuh.

Menurutnya, Kemendikbud sudah pernah mengadakan UKG (Uji Kompetensi Guru) untuk mengevaluasi penguasaan guru terhadap KTSP pada tahun 2012 silam. Ternyata, katanya, nilai rata-rata adalah 45. Padahal Kurikulum 2006 itu sudah enam tahun berlaku.

"Jadi kita perlu pelatihan guru lagi, padahal kita sudah melatih guru untuk Kurikulum 2013 dengan nilai UKG mencapai 71, meski tentu yang bernilai pun 40 masih ada. Tapi guru dengan nilai di atas 80 juga ada," katanya.

Maka, ukuran penguasaan guru terhadap substansi dan metodologi K 13 masih lebih baik daripada penguasaan terhadap Kurikulum 2006 (KTSP). Ketika itu, UKG dilakukan pada 1,3 juta guru.

"Kami juga sudah merancang solusi untuk penyiapan guru yang nilai UKG-nya tidak bagus atau 40, yakni pendampingan dan klinik konsultasi bagi guru yang mengalami kesulitan. Bahkan kami juga sudah merekomendasikan reformasi LPTK sebagai 'pabrik guru'," katanya.

Selain itu, jika kembali ke Kurikulum 2006 (KTSP), ujar Nuh, hal itu akan membebani orangtua untuk membeli buku baru. Padahal, buku-buku K 13 selama ini sudah digratiskan. "Nantinya, 'mafia buku' akan merepotkan masyarakat lagi," katanya.

Ia mengakui, buku K 13 memang ada yang terlambat didistribusikan ke sekolah-sekolah, namun pemenuhan atas keterlambatan itu seharusnya menjadi tugas pemerintah. "Itu tugas pemerintah, bukan malah 'membajak' Kurikulum 2013. Saya kira itu tidak etis secara akademis. Tapi kalau game politik, ya, nggak tahu lah," tukas Nuh.

Menyoal keberatan para guru terhadap sistem penilaian K 13 yang naratif atau deskriptif, Nuh menganggapi, hal itu hanya soal pembiasaan karena hal baru memang membutuhkan pembiasaan.

"Yang penting, penilaian numerik disertai narasi itu lebih objektif, karena banyak negara maju atau banyak sekolah berkualitas yang pakai cara itu, sehingga dua anak yang sama-sama memiliki nilai 7 akan diketahui perbedaan dari kekurangan dari keduanya. Nilainya bisa sama, tapi kekurangannya beda," katanya.

Nuh menambahkan, Kurikulum 2006 (KTSP) juga bukan tanpa masalah, di antaranya pelajaran sejarah untuk SMK tidak ada, jam pelajaran Bahasa Inggris lebih banyak dua kali lipat daripada Bahasa Indonesia, tak adanya mata pelajaran yang mendorong analisa data (survei TIMMS/PISA), dan sebagainya.

Intan Y. Septiani/Sumber: Kompas.com/Antara