Suami Bangkrut, Rumah Tangga Carut Marut

By nova.id, Selasa, 20 Oktober 2009 | 06:50 WIB
Suami Bangkrut Rumah Tangga Carut Marut (nova.id)

Ibu Rieny yang terhormat, Saya, ibu rumah tangga dengan seorang putri berusia 5 tahun. Enam tahun lalu, saya menikah dengan pria pilihan hati yang punya jabatan lumayan di sebuah BUMN. Ketika umur putri kami setahun, suami memutuskan keluar dari perusahaannya dan meminta pensiun dini. Uang hasil pensiun dini itu lantas digunakan untuk modal usaha. Namun, ternyata suami tak bisa mengelola bisnisnya dengan baik. Akhirnya bangkrut. Kami pun akhirnya pindah ke rumah kontrakan kecil, karena rumah dan barang­barang berharga lain telah habis terjual guna menyambung hidup. Beruntung, pada saat itu, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan untuk bekerja. Selama 5 tahun saya bekerja, tidak ada tanda­tanda suami untuk bangkit dan berusaha cari pekerjaan lain untuk menghidupi anak-istrinya. Saya tidak berani menegur, takut suami tersinggung. Namun, saya juga merasa beban saya terlampau berat, karena harus membiayai hidup seorang diri tanpa bantuan suami, sedangkan gaji yang saya terima tidaklah terlalu besar. Sementara itu, putri kami akhirnya masuk TK. Utunglah, penghasilan saya meningkat. Problemnya, saya sering telat pulang lantaran pekerjaan, sehingga mulailah terjadi konflik/percekcokan dengan suami. Suami tidak senang saya pulang malam dengan alasan putri kami kurang perhatian dan saya kini tak lagi romantis. Akhirnya, dengan bahasa sehalus mungkin, saya minta suami membantu keuangan agar saya bisa membayar pembantu dan suami bebas mencari pekerjaan. Setiap Senin pagi, suami pergi ke rumah orang tuanya dan Jumat sore baru kembali (kota tempat tinggal kami berbeda dengan kota mertua). Akan tetapi, di rumah orang tuanya pun, suami tidak mencari pekerjaan. Ia hanya menumpang makan dan tidur. Ketika berangkat, saya harus memberinya ongkos, padahal saat ia datang tak pernah membawa uang yang saya harapkan. Suatu hari kami ribut besar dan suami pergi lebih dari 3 bulan tanpa kabar berita. Pernah saya coba mencari ke rumah orang tuanya, namun mertua malah menyalahkan. Kalau saya tidak bekerja, pasti suami tidak jadi pengangguran seperti sekarang ini. Saya sungguh kaget mendengar ucapan itu, Bu. Bukankah saya bekerja karena suami bangkrut dan tak berusaha mencari pekerjaan lagi? Dengan perasaan kecewa, saya pun pulang ke rumah. Tak lama, suami pulang ke rumah dengan kondisi yang tidak berubah sedikit pun. Saat saya tanya alasan ia pergi, dengan enteng suami menjawab agar saya mudah mengajukan gugatan cerai. Saya memintanya untuk tidak pernah melakukan hal seperti itu lagi dan bila memang ingin pisah (cerai), mohon dibicarakan baik­baik. Suatu hari, suami mengatakan sudah bekerja dan minta saya berhenti bekerja. Saya katakan, "saya bersedia!" dengan syarat setelah suami kerja 3 bulan dan menjadi karyawan tetap. Namun, suami tetap memaksa dan berhasil memengaruhi orang tua saya, sehingga mereka pun menyuruh saya berhenti kerja. Kendati berat, apalagi karier saya saat itu makin bersinar, saya pun mengalah demi tenteramnya rumah tangga. Saya pun berhenti kerja. Senin paginya, suami pergi dan minta sebagian tabungan saya untuk bisnis sampingan. Seminggu berlalu dan suami tidak pulang. Setelah saya cek ke kantornya, ternyata suami hanya bekerja selama 3 minggu saja, dan tidak pernah masuk kantor lagi setelahnya. Mertua, adik ipar, dan kakak ipar suami pun tidak mengetahui dimana keberadaannya. Saya kecewa, sedih, merana, dan terpuruk. Dengan sisa uang yang ada, saya melamar kerja kesana-kemari. Akhirnya, tabungan benar­benar habis dan saya kembali ke rumah orang tua, menititipkan hidup pada mereka, termasuk biaya sekolah putri saya. Ibu Reiny, salahkah saya bila sekarang memutuskan bercerai? Saya merasa telah dibohongi. Sampai detik ini, tidak satu pun keluarga suami yang mengetahui keberadaan suami. Mohon beri saya saran agar bisa lapang dada menghadapi kenyataan ini. Saya tidak bisa menerima kehadirannya lagi dalam kondisi yang tidak berubah. Terima kasih banyak. K.M. - Somewhere

Jeng KM yang terhormat, Saya turut prihatin atas masalah yang menimpa Anda di usia pernikahan yang masih dini ini. Memang, saya mengamati adanya kecenderungan yang kuat pada individu seusia Anda (antara 25 hingga 35 tahun), baik pria maupun perempuan, untuk ingin cepat sukses. Dan ukurannya biasanya disempitkan pada dimilikinya uang dalam jumlah besar. Ini pun, di dalam waktu singkat, sehingga saya sering memakai istilah "generasi mi instan." Bukankah menghasilkan mi yang nikmat disantap dengan mi instan hanya butuh waktu 3 hingga 5 menit saja? Punya pekerjaan baik, dilepas demi pensiun dini, yang jumlahnya cukup besar. Dan, dengan perhitungan yang tidak matang, biasanya memilih menjadi wiraswasta, tetapi juga yang "keringat"-nya tidak banyak. Biasanya, "mimpi indah"nya adalah menjadi supplier untuk bekas kantornya dulu. Asumsinya sangat sederhana, "Kan, aku sudah kenal orang-orang di dalam, jadi mudah, dong, membuka jalurnya?" Padahal, kita semua tahu orang yang berpikiran demikian tidak cuma satu, dan yang biasanya berhasil tentu yang punya koneksi paling kuat, bukan? Akhirnya, uang yang cuma segitu-segitunya amblas! Dan, berbeda dengan saat melepaskan pekerjaan, yang dilakukan atas kehendak sendiri, maka ketika harus merasakan menjadi orang yang "bangkrut" karena bisnis yang jauh dari harapan, stres yang ditimbulkan terasa sangat berat, sehingga orang pun mudah merasa gagal dalam hidupnya. Saya jadi ingat masa krismon dulu, saya menyaksikan begitu banyak laki-laki yang "tumbang" karena kehilangan pekerjaan. Susah bagi mereka untuk segera bangkit karena paradigmanya sudah telanjur terbentuk mencari uang artinya bekerja pada sebuah perusahaan, bank atau instansi peemerintah. Sementara yang mencoba menjadi wiraswasta, ya seperti yang saya katakan di atas, inginnya secepat dan semudah membuat martabak. Semua bahan dicampur, aduk-aduk sebentar, goreng dan siap tersaji! Perempuan, dari pengamatan pribadi saya, justru lebih liat menyikapi keadaan seperti ini. Mereka tak malu membawa kacang goreng untuk dijual di sekolah anaknya, atau membuat makanan matang untuk dijajakan ke tetangga dan kenalan. Artinya, sangguplah berpeluh-peluh untuk mendapat uang. Pada awalnya memang mungkin cuma sedikit, tetapi kalau rasanya memang mengena, bukankah jumlah yang bisa dijual makin lama akan makin banyak dan ini berarti untungnya juga makin banyak? Nampaknya ini juga terjadi pada Anda yang sigap menyikapi kondisi suami dengan mulai bekerja, dengan penghasilan yang makin lama makin memadai. Sementara suami rupanya justru mengembangkan sikap yang secara psikologis sebenarnya ditandai oleh mekanisme penghindaran (escape, bahasa kerennya) dengan lebih banyak berada di rumah orang tuanya, untuk membuat dirinya seolah-olah percaya tidak ada masalah dalam hidupnya. Akibatnya, ia lalu memang makin jauh dan tidak peka terhadap masalah nyata yang ada di keluarganya, yaitu bahwa sebagai kepala keluarga, ia tidak berpenghasilan. Dengan menghindar dari kenyataan ini, seolah-olah ia lalu memiliki keseimbangannya lagi sebagai individu. Dikatakan seolah-olah, karena sebenarnya di sisi lain hatinya, ia sadar cuma sedang melarikan diri dari kenyataan saja. Karena Anda bukan psikolog, tidak dapat saya salahkan bila lalu Anda membiarkan ini karena takut menyinggung perasaannya. Padahal, yang seharusnya dilakukan justru mengajaknya berani menatap realitas yang ada dan kemudian merancang tindakan untuk mengatasinya. Di saat ia tidak bekerja dan terus lari-lari dari kenyataan itu, terjadi pula erosi dari rasa percaya dirinya, Bu KM. Kenapa? Karena untuk seorang laki-laki, bekerja adalah bagian yang paling bermakna dari identitas dirinya! Makin lama menganggur, makin rendah rasa percaya dirinya, sehingga untuk mengatasinya, cara paling mudah ya dengan "menarik" istrinya ke posisi yang sama dengan dirinya, bukan? Tak heran bila ia rajin benar mengondisikan kepada Anda bahwa timbul banyak masalah karena Anda bekerja. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya, dengan Anda bekerja, banyak masalah di keluarga yang dapat Anda atasi. Kalaulah mau disebut sebagai kesalahan, ya inilah kesalahan Anda dalam menyikapi masalah ini. Saya tak bermaksud menyudutkan atau menyalah-nyalahkan Anda ya, Bu KM, tetapi semata-mata agar di masa mendatang Anda tidak membuatnya lagi. Di saat pasangan hidup kita sedang limbung dan tak punya pegangan (dalam hal ini artinya adalah pekerjaan tetap), kita sebagai istrinya-lah yang harus berfungsi sebagai "jangkar," sehingga perahu rumah tangga ini tak makin gonjang-ganjing! Kini, baik suami maupun pekerjaan ternyata sudah "terbang." Lalu, apa yang harus Anda lakukan? Ada sebuah kebimbangan yang masih Anda perlihatkan melalui kalimat Anda tak dapat menerimanya tanpa perubahan. Bagaimana bila ini datang dalam bentuk janji? Katakanlah pada suatu hari ia datang dengan penampilan lusuh, kurus dan tidak terawat disertai ekspresi wajah memelas, lalu berlutut di hadapan Anda dan mengatakan: "Aku janji, deh, akan bekerja, apa saja asal kau terima aku kembali." Saya duga, perasaan-perasaan ini masih ada di diri Anda, karena Anda memang cinta (atau minimal pernah cinta-lah) padanya. Tetapi, Bu, kinilah saatnya Anda membuat keputusan tanpa embel-embel, di saat Anda masih muda-cantik dan berpeluang untuk meniti karir lagi. Dan saya akan minta Anda berpikir 1.000 kali lagi dengan bertanya pada diri: "Berapa lama lagi aku harus menunggu dia akan berubah menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab?" Ini akan membuat Anda berada dalam posisi aktif, di saat membuat keputusan dan tidak hanya reaktif saja. "Kalau ia berubah, ya aku terima lagi. Kalau tidak berubah, ya aku cerai." YA atau TIDAK-nya, mestinya tidak karena sesuatu di luar diri Anda lagi, melainkan datang sebagai keputusan yang mandiri, artinya yang memang sudah Anda pikir masak-masak untung-ruginya bila perkawinan ini diteruskan. Karena Anda beragama Islam dan ia sudah cukup lama menelantarkan Anda, saya yakin bila Anda memutuskan bercerai, tidaklah susah untuk meyakinkan Hakim di Pengadilan Agama kelak bahwa Anda berhak memeroleh kehidupan yang lebih cerah ketimbang hanya "mengambang" dalam status menikah tetapi tak tahu suami ada dimana dan tak pula dinafkahinya. Jangan berhenti berusaha bekerja kembali, Bu. Datangi lagi tempat kerja yang dulu, siapa tahu mereka mau mempertimbangkan menerima Anda lagi karena sudah tahu kemampuan Anda. Dalam kondisi sekarang ini, tak perlu merasa gengsi melakukan apa saja, asalkan halal dan tidak melanggar perintah Allah. Setuju? Buatlah keputusan yang bijaksana, utamanya dilandasi keyakinan bahwa Anda BERHAK memperoleh kedamaian, kebahagiaan dan rasa aman di dalam menjalani hidup ini. Salam sayang. ***