Banyak anak yang lebih suka bermain di rumah tetangga ketimbang di rumahnya sendiri. Bahkan ada yang betah main sampai seharian. Kalau disuruh pulang malah menangis. Sebenarnya, kata Dra. Johana Rosalina K., MA, wajar saja anak bermain di rumah tetangga karena anak memang perlu bersosialisasi. "Di usia prasekolah, anak sedang dalam tahap mengembangkan self identity-nya. Jadi, sudah mengarah kepada siapa dia dan kelompoknya," terang Rosa, panggilan akrab staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.
Nah, dengan bermain di rumah tetangga, anak jadi punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya bersosialisasi, baik dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua. "Anak jadi mudah beradaptasi karena dia kaya pengalaman tentang berbagai macam manusia, berbagai kelompok usia, serta berbagai value." Anak juga akan menjadi matang dan kreatif, serta bisa melihat bahwa perbedaan usia akan berpengaruh pada perbedaan cara menangani masalah, misalnya.
Yang penting diperhatikan, lanjut Rosa, jangan sampai anak lebih betah di rumah tetangga ketimbang di rumahnya sendiri. "Kalau hanya sesekali, sih, enggak apa-apa." Misalnya, anak main play station di rumah tetangga karena di rumahnya ia memang tak punya. "Supaya anak tidak buta teknologi atau kuper." Tapi kalau mainnya setiap hari dan sampai lama, maka orang tua harus mengambil tindakan.
AJARKAN MENERIMA APA ADANYA
Menurut Rosa, anak "hobi ngelayap" ke rumah tetangga mungkin karena ingin "melarikan diri" dari rumah. "Di rumah tetangga dia merasa lebih nyaman dan aman, baik secara fisik maupun emosi." Secara fisik, misalnya, anak memperoleh makanan yang lebih enak atau mendapatkan mainan yang tak ia miliki di rumah. Sementara secara emosi, misalnya, anak merasa dirinya lebih diterima di rumah tetangga, tidak dilarang-larang atau dimarahi.
Kalau penyebabnya cuma kebutuhan fisik semata, menurut Rosa, masih belum apa-apa. Maksudnya, lebih mudah diatasi ketimbang yang penyebabnya adalah kebutuhan emosi. Yakni dengan cara mengajari anak untuk belajar menerima apa adanya. Misalnya, tetangga punya play station sementara kita tidak. Nah, katakan pada si anak, "Kamu memang enggak punya play station tapi kamu, kan, punya mainan yang lain. Mari kita bermain dengan yang kita punya." Atau, katakanlah, "Bunda memang belum punya uang untuk membeli play station, tapi Bunda punya mainan lain yang tak kalah menarik."
Menurut Rosa, orang tua sebenarnya bisa menyediakan berbagai mainan untuk anak tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. "Bermain itu, kan, enggak melulu harus yang mahal atau elektronik. Banyak sekali permainan murah dan kreatif bisa diperoleh dari alam. Bahkan, dari selembar kertas bisa dibuat boneka jari." Yang diperlukan cuma kreativitas dan keinginan orang tua untuk memberikan mainan yang berkualitas dalam keterbatasan mereka.
Begitupun bila alasannya soal makanan. Misalnya, anak lebih suka masakan Tante di sebelah rumah. Cari tahu apa makanan tersebut lalu katakan pada si anak, "Oh, kamu suka telur buatan Tante sebelah. Coba, deh, nanti Bunda tanya sama Tante cara masaknya bagaimana." Tapi kalau alasannya karena di rumah tetangga si anak bisa makan makanan yang enak-enak sementara di rumah tidak, maka dia harus diajarkan untuk menerima apa yang disediakan di rumah.
Bagaimanapun, kata Rosa, anak harus diajarkan bahwa walau bagaimana tidak enaknya atau sederhananya makanan/mainan di rumah, tetap itulah yang bisa diberikan orang tua. "Anak harus belajar merasa cukup dengan apa yang dia miliki dan berterima kasih atas apa yang dia miliki." Jangan sampai orang tua malah berusaha memenuhi keinginan sang anak padahal tak ada kemampuan. "Jangan lupa, sikap atau sifat materialistis akan berkembang kalau orang tua membiarkan anak menikmati apa yang sebenarnya tak bisa diberikan oleh orang tua," kata Rosa mengingatkan.
Selain itu, seperti apa nilai yang dianut oleh orang tua juga akan berpengaruh terhadap sikap anak. "Kalau si orang tua sendiri tak menghargai dan tak pernah puas dengan apa yang mereka miliki, ya, akan tercermin pada anaknya."
KECUKUPAN EMOSI DI RUMAH