Bila penyebab seringnya anak ngelayap ke rumah tetangga karena kebutuhan emosi, menurut Rosa, orang tua harus lebih mencermatinya. Sebab, kebutuhan emosi merupakan kebutuhan hakiki yang tak bisa digantikan. "Setiap anak membutuhkan rasa aman psikologis. Kecukupan emosi pada usia ini harus diperhatikan betul." Konkretnya, di usia ini anak harus cukup merasakan bahwa orang tuanya sayang dan memperhatikannya. Contoh sederhana, orang tua menanyakan apakah anak sudah makan, mengajak main bersama, dan sebagainya.
Selain itu, kata-kata yang keluar dari mulut orang tua sebaiknya juga yang bersifat mendidik. Dengan kata lain jangan sembarangan berbicara atau asal mengomel. Begitupun dalam menghukum anak harus diberikan secara tepat (sesuai dengan kesalahan si anak) dan tidak dalam bentuk fisik. Misalnya, anak dimasukkan ke kamar mandi karena merusak mainan. "Ini, kan, tidak tepat. Disamping bisa mengancam emosi anak." Bila ini yang terjadi, akibatnya anak menjadi takut dan melihat orang tua sebagai figur yang menakutkan.
Nah, dengan kondisi anak tak memperoleh kecukupan emosi di rumah, maka jangan heran bila kemudian dia lebih suka berlama-lama di rumah tetangga. "Karena di rumah tetangga dia merasa nyaman dan aman. Misalnya, setiap datang selalu disapa, 'Apa kabar, sayang? Sudah makan belum?', yang seharusnya diberikan oleh orang tua." Jadi, kalau di rumahnya si anak tak mendapatkan hal-hal yang demikian, maka nalurinya akan mengatakan bahwa ia jarus mendapatkannya dari orang lain. Ya, tetangga itulah orangnya!
Karena itulah, anjur Rosa, orang tua sebaiknya memberikan kenyamanan dan keamanan emosional ini. "Berikan perhatian secukupnya. Jangan dilarang atau dimarahi terlalu sering karena akan membuat anak 'lari'."
Penting diketahui, lanjut Rosa, bila anak lebih betah di rumah tetangga ketimbang di rumah sendiri, maka akan menciptakan gap antara anak dan orang tua. Akibat lebih jauh, anak akan merasa tak punya akar, seperti kehilangan tempat berpijak. "Bagaimanapun anak tahu bahwa Tante sebelah bukanlah keluarganya. Apalagi kalau sifatnya emosi, anak akan merasa, 'Saya ini bukan milik siapa-siapa. Di rumah, saya 'tidak diperhatikan', di rumah Tante, saya 'diperhatikan' tetapi Tante itu bukan orang tua saya.' Dengan bertambahnya usia, anak akan menyadari adanya kejanggalan semacam ini," terang Rosa.
DILARANG SAJA
Rosa menganjurkan, anak sebaiknya dilarang saja apabila orang tua merasa si anak sudah keenakan main di rumah tetangga. "Tapi jangan asal melarang tanpa anak tahu kenapa ia tak boleh main ke rumah Tante sebelah." Jika larangannya tak jelas atau hanya sekadar orang tua merasa iri/jengkel pada tetangga, akan membuat anak merasa disalahkan tanpa tahu alasannya. "Ini akan mengganggu anak. Dia mau kembali ke rumahnya, kok, enggak aman, tapi mau ke rumah tetangga juga enggak boleh. Akibatnya, anak menjadi tak berdaya."
Kalau sudah begitu, selain si anak akan rugi, orang tuanya juga rugi. Sebab, anak yang tak berdaya biasanya tak akan berkembang. "Dia akan menjadi pasif, hanya bisa dilarang tapi enggak bisa protes." Atau protesnya nanti dalam bentuk lain, "Di usia tertentu anak akan menjadi regresi, suka mengompol, berontak, menjadi acting out, menjadi anak yang nakal. Ini karena ia protes tapi enggak bisa protes." Nah, celaka, kan!
Namun dalam melarang, lanjut Rosa, orang tua juga tak bersifat kaku dalam arti anak tak boleh lagi main di rumah tetangga. Jadi, bisa saja, misalnya, "Kakak masih boleh main tapi hanya pada hari Minggu saja." Atau, "Kakak boleh main, tapi kalau sudah waktunya makan harus pulang. Mama lebih senang kalau Kakak makan di rumah. Kan, Mama sudah memasak untuk makan kita sekeluarga." Bisa juga anak diijinkan makan di rumah tetangga namun makanannya dibawa dari rumah, "Ini Kakak bawa telurnya untuk dimakan di rumah Tante. Mama sudah buatkan khusus untuk Kakak."
Dengan demikian orang tua menunjukkan pada anak bahwa rumah, ayah dan ibu tetap merupakan yang nomor satu, tak ada yang bisa menggantikan.
Nah, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, bukan?
Hormati Norma Tetangga