Kecil-Kecil, Kok, Suka Nenangga

By nova.id, Sabtu, 31 Juli 2010 | 17:09 WIB
Kecil Kecil Kok Suka Nenangga (nova.id)

Kecil Kecil Kok Suka Nenangga (nova.id)

"Iman/nakita "

Banyak anak yang lebih suka bermain di rumah tetangga ketimbang di rumahnya sendiri. Bahkan ada yang betah main sampai seharian. Kalau disuruh pulang malah menangis. Sebenarnya, kata Dra. Johana Rosalina K., MA, wajar saja anak bermain di rumah tetangga karena anak memang perlu bersosialisasi. "Di usia prasekolah, anak sedang dalam tahap mengembangkan self identity-nya. Jadi, sudah mengarah kepada siapa dia dan kelompoknya," terang Rosa, panggilan akrab staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.

Nah, dengan bermain di rumah tetangga, anak jadi punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya bersosialisasi, baik dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua. "Anak jadi mudah beradaptasi karena dia kaya pengalaman tentang berbagai macam manusia, berbagai kelompok usia, serta berbagai value." Anak juga akan menjadi matang dan kreatif, serta bisa melihat bahwa perbedaan usia akan berpengaruh pada perbedaan cara menangani masalah, misalnya.

Yang penting diperhatikan, lanjut Rosa, jangan sampai anak lebih betah di rumah tetangga ketimbang di rumahnya sendiri. "Kalau hanya sesekali, sih, enggak apa-apa." Misalnya, anak main play station di rumah tetangga karena di rumahnya ia memang tak punya. "Supaya anak tidak buta teknologi atau kuper." Tapi kalau mainnya setiap hari dan sampai lama, maka orang tua harus mengambil tindakan.

AJARKAN MENERIMA APA ADANYA

Menurut Rosa, anak "hobi ngelayap" ke rumah tetangga mungkin karena ingin "melarikan diri" dari rumah. "Di rumah tetangga dia merasa lebih nyaman dan aman, baik secara fisik maupun emosi." Secara fisik, misalnya, anak memperoleh makanan yang lebih enak atau mendapatkan mainan yang tak ia miliki di rumah. Sementara secara emosi, misalnya, anak merasa dirinya lebih diterima di rumah tetangga, tidak dilarang-larang atau dimarahi.

Kalau penyebabnya cuma kebutuhan fisik semata, menurut Rosa, masih belum apa-apa. Maksudnya, lebih mudah diatasi ketimbang yang penyebabnya adalah kebutuhan emosi. Yakni dengan cara mengajari anak untuk belajar menerima apa adanya. Misalnya, tetangga punya play station sementara kita tidak. Nah, katakan pada si anak, "Kamu memang enggak punya play station tapi kamu, kan, punya mainan yang lain. Mari kita bermain dengan yang kita punya." Atau, katakanlah, "Bunda memang belum punya uang untuk membeli play station, tapi Bunda punya mainan lain yang tak kalah menarik."

Menurut Rosa, orang tua sebenarnya bisa menyediakan berbagai mainan untuk anak tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. "Bermain itu, kan, enggak melulu harus yang mahal atau elektronik. Banyak sekali permainan murah dan kreatif bisa diperoleh dari alam. Bahkan, dari selembar kertas bisa dibuat boneka jari." Yang diperlukan cuma kreativitas dan keinginan orang tua untuk memberikan mainan yang berkualitas dalam keterbatasan mereka.

Begitupun bila alasannya soal makanan. Misalnya, anak lebih suka masakan Tante di sebelah rumah. Cari tahu apa makanan tersebut lalu katakan pada si anak, "Oh, kamu suka telur buatan Tante sebelah. Coba, deh, nanti Bunda tanya sama Tante cara masaknya bagaimana." Tapi kalau alasannya karena di rumah tetangga si anak bisa makan makanan yang enak-enak sementara di rumah tidak, maka dia harus diajarkan untuk menerima apa yang disediakan di rumah.

Bagaimanapun, kata Rosa, anak harus diajarkan bahwa walau bagaimana tidak enaknya atau sederhananya makanan/mainan di rumah, tetap itulah yang bisa diberikan orang tua. "Anak harus belajar merasa cukup dengan apa yang dia miliki dan berterima kasih atas apa yang dia miliki." Jangan sampai orang tua malah berusaha memenuhi keinginan sang anak padahal tak ada kemampuan. "Jangan lupa, sikap atau sifat materialistis akan berkembang kalau orang tua membiarkan anak menikmati apa yang sebenarnya tak bisa diberikan oleh orang tua," kata Rosa mengingatkan.

Selain itu, seperti apa nilai yang dianut oleh orang tua juga akan berpengaruh terhadap sikap anak. "Kalau si orang tua sendiri tak menghargai dan tak pernah puas dengan apa yang mereka miliki, ya, akan tercermin pada anaknya."

KECUKUPAN EMOSI DI RUMAH

Bila penyebab seringnya anak ngelayap ke rumah tetangga karena kebutuhan emosi, menurut Rosa, orang tua harus lebih mencermatinya. Sebab, kebutuhan emosi merupakan kebutuhan hakiki yang tak bisa digantikan. "Setiap anak membutuhkan rasa aman psikologis. Kecukupan emosi pada usia ini harus diperhatikan betul." Konkretnya, di usia ini anak harus cukup merasakan bahwa orang tuanya sayang dan memperhatikannya. Contoh sederhana, orang tua menanyakan apakah anak sudah makan, mengajak main bersama, dan sebagainya.

Selain itu, kata-kata yang keluar dari mulut orang tua sebaiknya juga yang bersifat mendidik. Dengan kata lain jangan sembarangan berbicara atau asal mengomel. Begitupun dalam menghukum anak harus diberikan secara tepat (sesuai dengan kesalahan si anak) dan tidak dalam bentuk fisik. Misalnya, anak dimasukkan ke kamar mandi karena merusak mainan. "Ini, kan, tidak tepat. Disamping bisa mengancam emosi anak." Bila ini yang terjadi, akibatnya anak menjadi takut dan melihat orang tua sebagai figur yang menakutkan.

Nah, dengan kondisi anak tak memperoleh kecukupan emosi di rumah, maka jangan heran bila kemudian dia lebih suka berlama-lama di rumah tetangga. "Karena di rumah tetangga dia merasa nyaman dan aman. Misalnya, setiap datang selalu disapa, 'Apa kabar, sayang? Sudah makan belum?', yang seharusnya diberikan oleh orang tua." Jadi, kalau di rumahnya si anak tak mendapatkan hal-hal yang demikian, maka nalurinya akan mengatakan bahwa ia jarus mendapatkannya dari orang lain. Ya, tetangga itulah orangnya!

Karena itulah, anjur Rosa, orang tua sebaiknya memberikan kenyamanan dan keamanan emosional ini. "Berikan perhatian secukupnya. Jangan dilarang atau dimarahi terlalu sering karena akan membuat anak 'lari'."

Penting diketahui, lanjut Rosa, bila anak lebih betah di rumah tetangga ketimbang di rumah sendiri, maka akan menciptakan gap antara anak dan orang tua. Akibat lebih jauh, anak akan merasa tak punya akar, seperti kehilangan tempat berpijak. "Bagaimanapun anak tahu bahwa Tante sebelah bukanlah keluarganya. Apalagi kalau sifatnya emosi, anak akan merasa, 'Saya ini bukan milik siapa-siapa. Di rumah, saya 'tidak diperhatikan', di rumah Tante, saya 'diperhatikan' tetapi Tante itu bukan orang tua saya.' Dengan bertambahnya usia, anak akan menyadari adanya kejanggalan semacam ini," terang Rosa.

DILARANG SAJA

Rosa menganjurkan, anak sebaiknya dilarang saja apabila orang tua merasa si anak sudah keenakan main di rumah tetangga. "Tapi jangan asal melarang tanpa anak tahu kenapa ia tak boleh main ke rumah Tante sebelah." Jika larangannya tak jelas atau hanya sekadar orang tua merasa iri/jengkel pada tetangga, akan membuat anak merasa disalahkan tanpa tahu alasannya. "Ini akan mengganggu anak. Dia mau kembali ke rumahnya, kok, enggak aman, tapi mau ke rumah tetangga juga enggak boleh. Akibatnya, anak menjadi tak berdaya."

Kalau sudah begitu, selain si anak akan rugi, orang tuanya juga rugi. Sebab, anak yang tak berdaya biasanya tak akan berkembang. "Dia akan menjadi pasif, hanya bisa dilarang tapi enggak bisa protes." Atau protesnya nanti dalam bentuk lain, "Di usia tertentu anak akan menjadi regresi, suka mengompol, berontak, menjadi acting out, menjadi anak yang nakal. Ini karena ia protes tapi enggak bisa protes." Nah, celaka, kan!

Namun dalam melarang, lanjut Rosa, orang tua juga tak bersifat kaku dalam arti anak tak boleh lagi main di rumah tetangga. Jadi, bisa saja, misalnya, "Kakak masih boleh main tapi hanya pada hari Minggu saja." Atau, "Kakak boleh main, tapi kalau sudah waktunya makan harus pulang. Mama lebih senang kalau Kakak makan di rumah. Kan, Mama sudah memasak untuk makan kita sekeluarga." Bisa juga anak diijinkan makan di rumah tetangga namun makanannya dibawa dari rumah, "Ini Kakak bawa telurnya untuk dimakan di rumah Tante. Mama sudah buatkan khusus untuk Kakak."

Dengan demikian orang tua menunjukkan pada anak bahwa rumah, ayah dan ibu tetap merupakan yang nomor satu, tak ada yang bisa menggantikan.

Nah, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, bukan?

Hormati Norma Tetangga

Seringkali kita merasa tak enak bila si kecil berlama-lama main di rumah tetangga. Takutnya, si kecil nanti bikin ulah macam-macam sehingga mengganggu si tetangga.

Nah, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya anak kita, entah dia nakal atau pendiam dan sebagainya, maka kita harus menjalin komunikasi dengan si tetangga. Hal ini juga penting untuk kita mengamati bagaimana perkembangan anak kita, karena anak, kan, berkembang enggak melulu di dalam rumah. "Perkembangan anak yang tepat adalah bisa berada di mana pun dengan keunikannya dan ekspresi yang jelas," ujar Rosa.  

Nah, lewat kerja sama dengan tetangga, kita akan tahu tentang apa yang terjadi pada si kecil di luar pengetahuan kita. Malah bila perlu, anjur Rosa, sesekali kita juga perlu mendampingi si kecil saat bermain di rumah tetangga, sekalian bersilaturahmi dengan tetangga. "Sehingga kita bisa melihat bagaimana kemampuan anak bergaul, baik dengan temannya sebaya maupun orang dewasa."

Hanya saja Rosa mengingatkan agar kita berhati-hati, jangan sampai kita malah merasa bersaing dengan si tetangga. Maksudnya, bila kita melihat dampak buruk timbul pada si kecil gara-gara nenangga, jangan lantas kita mengatakan bahwa norma di rumah sebelah itu jelek dan norma di rumah kitalah yang bagus. Jangan pula kita menasihati si tetangga. "Kita harus menghormati norma keluarga lain, terlepas dari baik-buruk atau benar-salah. Tanggung jawab kita adalah membantu anak kita menginternalisasikan value yang kita yakini benar."

Jadi, kalau si kecil kemudian suka memukul, misalnya, lantaran melihat Tante di sebelah suka memukul anaknya, maka katakanlah, "Bunda di rumah mengajari Kakak enggak boleh memukul karena memukul itu membuat sakit. Biar saja kalau Tante di sebelah mau melakukan itu, tapi Kakak nggak boleh melakukannya."

Hasto Prianggoro / nakita