Anak Dan Binatang Piaraan

By nova.id, Jumat, 14 Mei 2010 | 17:09 WIB
Anak Dan Binatang Piaraan (nova.id)

Binatang piaraan ternyata banyak manfaatnya buat perkembangan anak. Tentu saja asal jangan sampai anak "melupakan" teman-teman sebayanya.

"Ayah, Ayah, tadi si Toni bawa kelincinya ke 'sekolah'. Ih, lucu, deh. Aku juga mau, ah. Boleh ya, Yah," pinta Dina, gadis cilik usia 4 tahun, setengah merajuk.

Menurut Drh. Sutarman MS, Kepala Bidang Pelestarian Flora dan Fauna di Taman Margasatwa Ragunan, anak usia prasekolah memang sering gemas melihat kelucuan binatang. Mereka seringkali merengek minta dibelikan binatang tertentu untuk dipelihara. "Kebanyakan anak mulai menyukai binatang lantaran ia punya pengalaman intens sejak kecil dengan binatang. Biasanya mencontoh dari orang tuanya," tutur dokter hewan yang mayoritas pasiennya merupakan binatang piaraan anak usia 3-5tahun.

Misalnya, tiap pagi si anak melihat burung kakaktua kesayangan ayahnya dimandikan lalu dijemur. "Lama-lama, ia jadi tertarik. Apalagi kalau sang ayah memperbolehkan ia ikut memandikan, misalnya. Akhirnya, dia pun ikut-ikutan memelihara binatang."

JADI ALAT TERAPI

Memang, ada pula anak yang tak dibesarkan dalam keluarga penyayang binatang, tapi ingin punya binatang piaraan. "Mungkin ia menganggap, binatang itu lucu. Atau melihat temannya punya binatang, dia pun ikut-ikutan," jelas psikolog Aswini Widjaya dari Universitas Tarumanegara Jakarta.

Malah di beberapa kelompok bermain, tuturnya, ada yang membuat semacam kebun binatang mini. Di situ terdapat burung, kelinci, anjing, kambing maupun hamster (tikus putih kecil). Binatang-binatang itu bisa dirawat bersama oleh murid-murid. Bahkan, pada hari-hari tertentu, murid-murid diizinkan membawa binatang piaraannya masing-masing. "Hal ini bagus sekali. Paling tidak, anak-anak jadi melihat ada makhluk lain yang perlu dirawat dan bisa dijadikan teman. Mereka juga merasa mempunyai teman yang bisa diajak bermain serta bercanda."

Karena itulah Aswini melihat, ketertarikan anak usia prasekolah terhadap binataan piaraan tak bisa dilepaskan dari perkembangan belajar si anak tentang berteman. "Di usia prasekolah, anak mulai mengembangkan kemampuan sosialisasinya dengan belajar berteman. Nah, dalam belajar berteman, ia lalu melihat, ada mahluk lain yang lucu, yang bisa dijadikan teman. Ia menganggap, binatang pun bisa dijadikan teman."

Pendapat ini dibenarkan Sutarman. Anak, katanya, jadi berpikir, "Saya punya sesuatu yang bisa dielus-elus, disayang, dipelihara. Anak jadi merasa exciting, senang." Dengan demikian, sambung Aswini, anak pun belajar, berteman berarti juga memberikan kasih sayang dan perhatian.

Bahkan, seperti ditulis Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya, anak juga belajar berempati. Sebab, anak tak bisa selalu bersikap dominan terhadap binatang. Kadang si hewan menolak perintah "tuan"nya. Anak pun jadi belajar bagaimana cara berempati, yang merupakan modal penting baginya dalam menjalin hubungan dengan teman.

Sedangkan Alsion Miles, ahli perilaku binatang dari Inggris dan meneliti persahabatan antara anjing dan manusia, binatang piaraan bisa dijadikan alat terapi bagi anak-anak bermasalah. Anak yang agresif, misalnya. "Anak-anak agresif, kan, sering tak terkontrol. Mereka perlu memegang sesuatu yang lembut untuk dibelai-belai. Nah, binatang piaraan dapat membantunya."

Selain itu, binatang piaraan juga membuat anak belajar disiplin pada waktu. Sebab, pada jam-jam tertentu, binatang harus diberi makan/minum, diajak berjalan-jalan, dan lainnya.

SAHABAT DEKAT

Yang perlu diperhatikan, jangan sampai si anak terlalu dekat dengan binatang piaraannya sehingga akhirnya ia lebih suka berkutat dengan kucing atau kelincinya, ketimbang bergaul dengan kawan sebayanya. Dengan kata lain, ia jadi malas bergaul.

Ini bisa terjadi, menurut Aswini, karena orang tua salah memberi pembelajaran sosialisasi. "Anak kurang diajar bergaul dengan rekan sebaya. Jadi, bukan karena si anak kelewat sayang pada kucing atau kelincinya." Nah, kalau memang si kecil punya minat besar terhadap binatang piaraan dan amat menyayanginya, "Jangan pikir segalanya beres karena si anak sudah punya teman. Anak harus tetap diajarkan bergaul." Apalagi, kata Aswini, dengan menyayangi binatang, "Anak akan mudah care pula terhadap temannya."

Aswini juga mengingatkan, anak usia 3 tahun biasanya sudah mulai bermain fantasi. Ia menganggap kelincinya sebagai sahabat yang selalu siap diajak bicara. "Ayo, Putih, kita mandi!" Bahkan kadang, sambil mengembangkan fantasinya, ia berlaku seolah-olah ayah atau ibu bagi si binatang. "Normal-normal saja, kok, sikap seperti ini. Yang penting, jangan sampai ia terlalu dekat secara emosional dengan binatang piaraannya." Caranya, antar lain, jangan biarkan ia seharian mencurahkan waktu hanya untuk kelincinya. "Sebab, pergaulan dengan teman dan sosialisasi di luar, tetap amat penting baginya.

DITINGGAL TEMAN

Begitu sayangnya anak pada binatang piaraannya, saat si binatang sakit apalagi mati, ia pun merasa sedih alang kepalang. Sutarman bertutur, seorang klien ciliknya tak henti menangis gara-gara anjing kesayangannya mati karena terlambat disuntik distampler. "Karena terus menangis, ibunya bingung dan menelepon ke semua toko hewan, berusaha menemukan hewan serupa untuk anaknya. Tapi ketika dapat pun, si anak menolaknya mentah-mentah."

Perasaan sedih semacam itu, kata Aswini pada kesempatan terpisah, amat wajar. "Ia sedih karena kehilangan 'teman' baiknya. Apalagi jika ia sudah menjalin kedekatan emosi sedemikian rupa, tak mudah baginya menerima pengganti kendati mirip atau sama." Si kecil, kata Aswini, merasa terpukul batinnya."Sulit baginya menerima kenyataan, anjing kesayangannya mati. Ia merasa sedih dan hampa. Ia juga merasa marah, entah pada dokter hewan atau dirinya sendiri karena tak dapat menyelamatkan 'teman'nya."

Nah, kesedihannya akan pulih setelah ia bisa menerima kenyataan pahit itu. Berapa lama waktunya, tergantung masing-masing anak. Ada yang dalam waktu sebulan, sudah bisa melupakan peristiwa itu, tapi ada juga yang perlu waktu lebih lama. "Tergantung ikatan emosi anak dengan si hewan. Semakin erat ikatan itu, makin lama pula waktu yang diperlukannya untuk memulihkan kondisi batinnya."

Apa yang bisa dilakukan orang tua? "Beri reaksi positif! Tunjukkan bahwa kita juga ikut kehilangan dan hormati rasa sedih anak. Jangan menganggap rasa kehilangan yang diderita anak sebagai sesuatu yang ringan atau bahkan mencap si kecil sebagai anak cengeng," tutur Aswini. Apalagi kita sampai berkata dengan entengnya, ""Ah, itu, kan, cuma binatang. Kita bisa cari gantinya!" Buat anak, tak ada yang bisa menggantikan anjing kesayangannya karena ia menganggap, si binatang punya keunikannya tersendiri yang membuat ia menyayanginya.

Karena itu, lanjut Aswini, pahamilah apa arti binatang kesayangan bagi si anak. "Biarkan ia menangis dan mengungkapkan kesedihannya. Jika mungkin, tawarkan kepadanya untuk ikut melihat penguburan binatang kesayangannya agar ia juga belajar menerima kenyataan. Tapi jika ia tak mau, jangan memaksanya."

Sementara Sutarman menyarankan, orang tua tak usah buru-buru mencari binatang pengganti. "Beri anak kesempatan untuk berduka dan menjalani proses menerima kenyataan. Ini penting agar ia mengerti, kehilangan tersebut sebagai sebuah pengalaman berharga. Itu akan membantunya memahami arti kematian dan menyiapkannya menghadapi terjadinya kehilangan-kehilangan selanjutnya di dalam kehidupannya."

Yang tak kalah penting, sambung Aswini, orang tua harus sabar mendampingi anak tengah bersedih. Rasa kehilangan ini bisa berlangsung lama sebelum ia akhirnya siap menerima binatang piaraan baru. "Pada sejumlah kasus, malah si anak tak mau lagi memiliki binatang piaraan. Mungkin ia takut bakal ditinggal lagi oleh binatang kesayangannya."

Soal hewan pengganti, kata Aswini, "Serahkan pada anak apakah ia ingin mencari penggantinya atau tidak. Anak, kan, seperti kita juga, yang kalau kehilangan teman baik, belum tentu kita menginginkan penggantinya walaupun kehilangan itu sudah berlangsung lama sekali."

Agar Anak Aman Bersama Binatang Kesayangan

Tak semua binatang layak dipelihara. Umumnya, hewan peliharaan adalah kucing, kelinci, burung, atau anjing. Kendati ada pula yang memiliki hewan "aneh" semisal ular atau iguana. "Yang bahaya, mentang-mentang orang tuanya memelihara satwa liar, lalu anak-anaknya disuruh memelihara dan merawat binatang sejenis. Lebih bahaya lagi jika orang tua tak cukup punya pengetahuan mengenai binatang buas itu," tutur Drh. Sutarman MS.

Di bawah ini ada beberapa patokan yang harus menjadi perhatian orang tua:

* Pastikan anak tak menderita alergi terhadap bulu binatang. Jika alergi, anak akan bersin atau batuk-batuk kala berada di dekat binatang. Kalau ia memang alergi, tak perlu memaksanya memelihara binatang.

* Setelah dibeli, segera mandikan binatang peliharaan dengan air hangat yang dicampur cairan antibiotik. Jika hewan masih kecil atau bayi, cukup diseka dengan handuk kecil yang dibasahi air hangat tersebut.

* Bawa segera ke klinik hewan untuk untuk mendapatkan pemeriksaan endoparasit dan esktoparasit. Pemeriksaan endoparasit dimaksudkan untuk memeriksa apakah ada virus-virus di dalam tubuhnya yang harus dibasmi. Sedangkan ekstoparasit adalah pemeriksaan bagian luar hewan (kutu, penyakit kulit).

* Beri aneka vaksin seperti distampler, rabies, muntaber atau anti-tetanus.

* Jangan lupa memberi obat cacing karena hewan seperti anjing dan kucing, mudah terkena cacingan. Pemberian bisa dilakukan dua bulan sekali.

* Anak-anak harus mencuci tangan setiap kali usai memegang dan bermain-main dengan hewan kesayangannya.

* Bersihkan kebun dari kotoran binatang. Sebenarnya hewan peliharaan dapat diajarkan, di mana ia harus buang air kecil/besar. Biasakan agar ia keluar rumah bila hendak kencing atau buang hajat.

* Untuk membersihkan kotoran hewan, anak tak perlu dilibatkan. Sebab, kotoran kucing, misalnya, mengandung troposit, bibit telur yang bila terkena manusia bisa menyebabkan parasit toksoplasma.

* Jika ingin membawa hewan peliharaan ke dalam rumah, pastikan ia benar-benar bersih, bebas dari segala macam parasit maupun kutu yang dapat berpindah ke tubuh manusia.

* Sebelum memelihara binatang, jelaskan seluruh konsekuensinya pada anak. Anak harus dijarkan bertanggung jawab terhadap teman barunya itu. Misalnya, dengan memintanya mengingat-ingat kapan si binatang harus diberi makan. Jadi, anak juga diberi tahu, ada teman lain yang harus dipikirkan dan diperhatikan.

* Untuk urusan memberihkan kotoran atau memandikan hewan, harus dilakukan orang dewasa. Selesai si kucing dimandikan, misalnya, anak boleh membantu mengeringkan dan menyisir bulu-bulu sahabatnya.

Santi Hartono/nakita