Kadang anak yang stres ini akhirnya jadi mogok "sekolah", maunya menempel terus dengan orang tua. Bisa juga si anak yang semula sudah tak mengompol, karena stres, lalu ia ngompol kembali. Atau ada yang jadi suka menggigit-gigit jari/kuku, tak mau tampil ke depan dan sebagainya. "Anak-anak ini stres karena mengalami kesulitan penyesuaian diri dengan lingkungan baru."
Sementara faktor dari dalam diri si anak bisa disebabkan ibunya selagi hamil mengalami stres, sehingga berpengaruh pada kondisi emosi si anak setelah lahir. "Bisa jadi si anak menjadi hiperaktif, mengalami kesulitan belajar atau susah menyesuaikan diri," terang Rina.
Contoh lain ialah kecacatan fisik. Umumnya anak-anak yang mempunyai cacat fisik akan rentan sekali terhadap stres. Cacatnya itu membuatnya kurang percaya diri. "Tapi kasus ini jarang sekali terjadi bila dibandingkan dengan anak yang mempunyai kecerdasan di bawah rata-rata," kata Rina.
Stres pada anak yang kecerdasannya di bawah rata-rata, tutur Rina, biasanya disebabkan orang tua sering memaksakan si anak melakukan sesuatu tanpa menyadari kemampuannya. Misalnya, memaksa anak masuk "sekolah" yang memerlukan tingkat kecerdasan tertentu sementara si anak sebenarnya tak mampu. Akibatnya, si anak merasa tertekan karena kekurangmampuannya. Streslah dia.
Lainnya ialah anak yang pemalu. Entah karena sifat bawaannya yang pendiam atau lantaran lingkungan. Kalau yang karena sifat bawaan, biasanya si anak stres lantaran kurang percaya diri sehingga ia malu dalam bergaul. Kalau yang karena lingkungan, misalnya orang tua bersikap otoriter. Anak sering didominasi atau dikerasi sehingga ia jadi takut, tak berani mengungkapkan sesuatu, selalu malu untuk tampil, tak bisa berekspresi atau berbicara, tak punya inisiatif ataupun ide, dan sebagainya. "Anak-anak yang demikian harus dibantu menumbuhkan kepercayaan dirinya agar mereka tak stres kala harus menghadapi lingkungannya."
GARA-GARA ADIK
Dari sekian banyak penyebab stres, menurut Rina, umumnya stres yang dialami anak usia 3-5 tahun berasal dari lingkungan keluarga. Adapun masalah yang terbanyak ialah kehadiran adik, karena anak merasa tak diperhatikan. "Si sulung yang tadinya menjadi pusat perhatian orang tua, kini posisinya sudah tergantikan dengan sang adik. Ia merasa tersisihkan karena merasa perhatian orang tua sudah beralih."
Apalagi jika kemudian ibunya kembali bekerja dan hanya punya sedikit waktu untuk si sulung. Semakin lengkaplah stresnya. "Jangankan yang punya adik, yang tak punya adik saja bisa stres, kok. Karena dengan ibu bekerja atau kedua orang tua bekerja, waktu mereka, kan, jadi berkurang buat anak. Akibatnya, anak merasa tak diperhatikan dan ditolak oleh orang tuanya."
Orang tua, tutur Rina, biasanya tahu bahwa ada sesuatu pada anaknya lantaran perilaku si anak berubah. Entah jadi mengompol lagi, mengedot lagi, mengigit-gigit jari/kuku ataupun menjadi pendiam, pemurung, dan sebagainya. "Bahkan ada yang menjadi hiperaktif, tak bisa diam."
Celakanya, orang tua seringkali menjadi marah pada si anak. "Semakin anak 'nakal' atau rewel, semakin anak disalahkan. Tapi ada juga orang tua yang malah biasa-biasa saja kendati tingkah laku anaknya berlebihan. Mereka tak khawatir dan menganggapnya tak apa-apa."
Padahal, seperti dikatakan Rina, jika anak menunjukkan perilaku yang berbeda dari biasanya, orang tua sebaiknya mencari tahu apa penyebabnya. "Jangan anak malah dimarahi atau dianggap tak apa-apa. Si anak, kan, lagi stres."
KERJA SAMA ORANG TUA