Ih, Pelitnya .............

By nova.id, Rabu, 17 Februari 2010 | 17:03 WIB
Ih Pelitnya (nova.id)

Apa pun, jelas Monty, semua itu masih dalam batas wajar alias normal sehingga tak perlu terlalu dirisaukan orangtua. "Yang penting, orangtua atau pengasuh jangan salah menginterpretasikan perkembangan ini karena bisa-bisa salah mengarahkan anak," kata Monty. Misal, orangtua tanpa sadar membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain. "Jika orangtua menganggap anaknya yang paling hebat, dalam diri anak akan muncul perasaan bahwa dialah yang hebat, paling top di antara anak lainnya. Yang kemudian terjadi, muncullah rasa superior. Hal ini akan mendorongnya bersikap egosentris," terang Monty. Begitu pula sebaliknya. Jika ayah dan ibu menganggap buah hatinya kalah dibanding anak lain, ia bisa bersikap minder dan akan merasa tak memiliki apa-apa. "Jadi, sekalinya punya barang, ia tak mau membaginya dengan orang lain," tandas Monty.

Secara ringkas, dapat dikatakan, sebenarnya lingkunganlah yang memupuk ego seorang anak berkembang secara terarah atau malah sebaliknya, liar. "Bila tak dipupuk, seorang anak pasti mau berbagi, kok, pada orang lain. Tapi bila dipupuk, dibuat ada persaingan, ya, dia akan begitu. Akan bersaing," kata Monty. Bila ego anak dipupuk terus, akan berlangsung hingga tua.

Masa kritis umumnya muncul saat si kecil masuk sekolah. Di saat itu, anak mulai keluar dari lingkungan rumah dan masuk ke kelompok sosial. "Padahal, lingkungan sosial ini adalah sesuatu yang baru baginya sehingga akan timbul kompetisi. Bahkan bisa menjurus ke perkelahian," jelas Monty. Maklum, sebelumnya ia biasa bermain seorang diri di lingkungan yang "aman" (rumah), apa-apa hanya untuk dia, dan interaksinya dengan orang lain di luar keluarganya masih sedikit.

Nah, begitu sekolah, ia harus bermain secara kelompok. Mau main ayunan, harus bergiliran. Begitu ia tak mau bergiliran, teman yang lainnya marah atau memusuhinya.

Di sisi lain, menurut Monty, lingkungan sosial juga memberi keuntungan. "Justru lingkungan sosial inilah yang dapat mengontrolnya. Dia akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang didapat, bagaimana menyesuaikan diri pada kelompok sosialnya. Apakah tingkah egosentrisnya bisa diterima atau tidak oleh lingkungannya," jelas Monty. Dari pengalaman, anak akan belajar bagaimana teman-temannya bereaksi pada tingkah lakunya. "Jika hasrat untuk diterima lingkungan sosialnya kuat, ini akan mendorongnya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial," lanjut Monty.

Di saat inilah, kemurahan hatinya akan meningkat. Ia akan bersedia berbagi sesuatu dengan anak lain. "Memang, hampir semua anak kecil bersifat egois, dalam arti cenderung berpikir dan berbicara tentang diri sendiri. Apakah kecenderungan ini akan hilang atau berkembang semakin kuat, tergantung pada kesadarannya untuk diterima oleh teman-temannya," papar Monty.