Malu. Itu yang mungkin Anda rasakan kala si kecil begitu pelitnya, tak mau meminjamkan mainannya kepada anak tetangga waktu mereka bermain bersama.
"Tak usah malu. Ini sesuatu yang normal, kok. Dan itu biasa terjadi pada anak-anak usia 2-5 tahun," tutur Drs. Monty P. Satiadarma, MS/AT, MCP/MFCC, dekan Fak. Psi. Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Pada usia ini, menurut Monty, "Ego anak mulai tumbuh. Ia mencoba mengenali dirinya sendiri dan ingin memiliki identitas diri. Mencoba menjadi berbeda dengan orang lain." Jadi, terang Monty, di saat egonya tengah tumbuh dan tiba-tiba harus berbagi (misal, ia punya mainan favorit), tentu saja ia keberatan. "Di sisi lain, karena ia masih kecil, cara yang paling sederhana dalam mengaktualisasi dirinya adalah dengan menyatakan, mainan itu miliknya," urai Monty.
Anehnya, pada sejumlah anak, mereka justru mau berbagi terhadap orang yang usianya lebih tua. Entah itu tantenya atau kakeknya. Hal yang tak ia lakukan pada teman sebayanya. "Itu karena adanya perasan kompetisi kelompok. Ia merasa senasib, seusia dengan si teman. Jadi, kenapa si teman harus lebih dari dirinya? Mengapa ia harus bagi? Justru di sini ia merasa harus berkompetisi," jelas Monty. Sedangkan tante atau kakeknya bukan termasuk dalam kelompoknya, sehingga ia tak melihat adanya kebutuhan untuk berkompetisi.
INGIN DITERIMA
Apa pun, jelas Monty, semua itu masih dalam batas wajar alias normal sehingga tak perlu terlalu dirisaukan orangtua. "Yang penting, orangtua atau pengasuh jangan salah menginterpretasikan perkembangan ini karena bisa-bisa salah mengarahkan anak," kata Monty. Misal, orangtua tanpa sadar membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain. "Jika orangtua menganggap anaknya yang paling hebat, dalam diri anak akan muncul perasaan bahwa dialah yang hebat, paling top di antara anak lainnya. Yang kemudian terjadi, muncullah rasa superior. Hal ini akan mendorongnya bersikap egosentris," terang Monty. Begitu pula sebaliknya. Jika ayah dan ibu menganggap buah hatinya kalah dibanding anak lain, ia bisa bersikap minder dan akan merasa tak memiliki apa-apa. "Jadi, sekalinya punya barang, ia tak mau membaginya dengan orang lain," tandas Monty.
Secara ringkas, dapat dikatakan, sebenarnya lingkunganlah yang memupuk ego seorang anak berkembang secara terarah atau malah sebaliknya, liar. "Bila tak dipupuk, seorang anak pasti mau berbagi, kok, pada orang lain. Tapi bila dipupuk, dibuat ada persaingan, ya, dia akan begitu. Akan bersaing," kata Monty. Bila ego anak dipupuk terus, akan berlangsung hingga tua.
Masa kritis umumnya muncul saat si kecil masuk sekolah. Di saat itu, anak mulai keluar dari lingkungan rumah dan masuk ke kelompok sosial. "Padahal, lingkungan sosial ini adalah sesuatu yang baru baginya sehingga akan timbul kompetisi. Bahkan bisa menjurus ke perkelahian," jelas Monty. Maklum, sebelumnya ia biasa bermain seorang diri di lingkungan yang "aman" (rumah), apa-apa hanya untuk dia, dan interaksinya dengan orang lain di luar keluarganya masih sedikit.
Nah, begitu sekolah, ia harus bermain secara kelompok. Mau main ayunan, harus bergiliran. Begitu ia tak mau bergiliran, teman yang lainnya marah atau memusuhinya.
Di sisi lain, menurut Monty, lingkungan sosial juga memberi keuntungan. "Justru lingkungan sosial inilah yang dapat mengontrolnya. Dia akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang didapat, bagaimana menyesuaikan diri pada kelompok sosialnya. Apakah tingkah egosentrisnya bisa diterima atau tidak oleh lingkungannya," jelas Monty. Dari pengalaman, anak akan belajar bagaimana teman-temannya bereaksi pada tingkah lakunya. "Jika hasrat untuk diterima lingkungan sosialnya kuat, ini akan mendorongnya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial," lanjut Monty.
Di saat inilah, kemurahan hatinya akan meningkat. Ia akan bersedia berbagi sesuatu dengan anak lain. "Memang, hampir semua anak kecil bersifat egois, dalam arti cenderung berpikir dan berbicara tentang diri sendiri. Apakah kecenderungan ini akan hilang atau berkembang semakin kuat, tergantung pada kesadarannya untuk diterima oleh teman-temannya," papar Monty.
Jadi lingkunganlah yang akan mengontrol dia. "Jika saudara atau keluarganya, kan, bukan mengontrol, tapi lebih banyak mensupport. Membuat ia jadi egosentris," kata Monty.
DESTRUKTIF
Bagaimana jika si kecil ngotottak mau berbagi? Perlukah kita memaksanya? "Lo, mengapa harus dipaksa? Kan, itu barang miliknya. Hak dia, dong, mau membaginya atau tidak. Kan, tak semua orang harus sharing. Jika semua harus sharing, bisa-bisa tak ada barang milik pribadi," jelas Monty. Kita tetap harus menyadari, ada sesuatu yang harus dibagi dan ada yang tidak. Itu pula yang diterapkan pada anak.
Sebab, menurut Monty, yang dikhawatirkan bila semua harus sharing, anak akan mengalami borderline personality. "Dia tak punya batasan, mana miliknya dan mana milik orang lain. Karena tak ada batasan, bisa saja ia memakai barang milik orang lain seenaknya saja. Tanpa mempertimbangkan bahwa orang lain pun memerlukan barang tersebut."
Jadi, bagaimana orangtua harus bersikap? "Biarkan ia tumbuh secara wajar," tegas Monty. Jangan berikan sesuatu kepada anak secara berlebihan. Cukupi kebutuhannya sesuai perkembangannya. Yaitu, kebutuhan untuk tahu. Baik tentang alam, manusia, dan benda. "Anak seusia itu masih eksploratif. Perkenalkan ia pada alam. Ia adalah bagian dari alam. Ia harus tahu tentang alam. Tentang burung, daun, pasir, dan lainnya. Jika kebutuhan akan ketiga hal itu terpenuhi, ia pasti tak akan jadi egosentris. Ia akan tahu kejadian alam ini. Alam ini harus sharing," papar Monty.
Tapi bila sejak kecil anak tak dicukupi kebutuhan akan ketiga hal itu, ia menjadi tak peduli pada lingkungan. Ia akan cuek dan bisa menjadi destruktif. Misal, cukil-cukil tembok, coret-coret tembok orang.
Jadi, bukan mencukupi kebutuhannya dengan cara membelikan segala macam yang diinginkannya. "Kemauan anak sangat banyak karena ia masih kagum pada lingkungan. Tertarik dengan segala hal yang baru baginya. Jika semua mau diberikan, ya, berabe," bilang Monty.
Juga beri batasan-batasan sesuai kaidah norma sosial yang ada. Misal, dengan menjelaskan, "Ini punya kamu dan ini milik adikmu atau kakakmu." Dengan demikian, anak tahu, mana yang miliknya dan bukan. Jika ia tak diberikan batasan yang jelas sementara egonya sedang berkembang, maka ego yang berkembang adalah ego yang kabur. Artinya, egonya tak dibatasi oleh kaidah-kaidah norma sosial melainkan diatur oleh anak sendiri. Nah, yang lebih parah jika anak terlalu dimanja oleh keluarganya dan ia menggunakan kemanjaan itu untuk memperoleh apa saja yang diinginkannya.
Berikut, yang tak kalah penting, berilah contoh yang baik pada anak. Contoh itu bisa berupa hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Jika Anda membuat kue, misalnya, beri satu pada si anak, kakaknya, tantenya, atau orang lain yang berada di rumah. Dari sini anak bisa belajar berbagi sehingga satu saat terdorong untuk melakukan hal yang sama.
MINTA IZIN
Nah, jika tak ingin anak bersikap egois, sekali lagi, orangtua jangan melakukan hal-hal yang dapat mengajari anak untuk bertindak egois. Misal, ayah atau ibu tak boleh memakai barang milik anak tanpa seizin anak. "Orangtua juga harus sadar, ini milik anaknya. Jangan mentang-mentang ia yang membelikan, lantas main ambil saja. Bukankah barang itu sudah diberikan kepada anak? Jika ia hendak memakainya, minta izin dulu pada anak. Dari situ anak akan belajar, bahwa untuk memakai barang orang lain, harus minta izin," terang Monty.
Dengan demikian, kepekaan anak akan tumbuh. Dan jika ia sudah memiliki kepekaan ini, dengan sendirinya ia tak akan keberatan bila ada teman hendak meminjam mainannya. Toh, ia tahu, mainan itu pasti akan dikembalikan dan tetap menjadi miliknya. Jadi, tak perlu sebenarnya orangtua repot-repot mengasah kepekaan anak. Biarkan ia tumbuh wajar. Cukup dengan memberinya perhatian dan contoh-contoh yang baik, kepekaan itu akan tumbuh dengan sendirinya.
Agar contoh yang diberikan orangtua dapat tersampaikan secara efektif, tentunya harus ada kedekatan antara orangtua dan anak. Selain itu, ada komunikasi dan ada bujukan. Ini yang akan menumbuhkan kepekaan anak. Hal-hal ini akan bercampur secara alamiah.
Indah Mulatsih/nakita