Tak berapa lama mobil melaju, kami melewati tikungan tajam. Rupanya Sholah tak bisa menguasai kemudi. Tubuh mobil bagian tengah menghantam pagar jalan. Benturan itu membuat Paman yang duduk di belakang terlempar ke depan sementara badan Umi membentur jok di depannya. Saya sendiri nyaris tak bisa napas karena leher tercekik sabuk pengaman. Lidah saya sampai luka karena tergigit.
Saya sadar, tapi Umi lebih sadar lagi. Yang ia lakukan pertama kali adalah "mengabsen", menanyakan keadaan Umar, Ayyas, dan Sholah. Lalu ia berujar, "Bagaimana caranya keluar dari mobil?" Sementara di luar, penduduk berusaha menolong kami. Tapi pintu mobil sulit dibuka.
Sulit sekali saya menjawab pertanyaan Umi. Mau bernapas saja, susah. Mungkin karena tidak mendapatkan oksigen, kepala saya pusing. Saya merasa seperti akan "lewat'! Pada saat itu, saya kaget sekali saat Umi berujar dengan suara pelan, "Abi, ini Umi sudah dalam keadaan sekaratul maut." Deg... Jantung saya seperti berhenti berdenyut. Saya mengerti sekali maksud Umi. Ia sudah mendekati ajal.
Semula, saya menduga Umi putus asa. Saya katakan, "Umi, istighfar." Ia melakukannya. Sungguh saya jadi cemas. Jangan-jangan memang betul apa yang dikatakannya. Makanya, saya membimbingnya dengan minta dia "nyebut." Dia tahu, yang saya maksud adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Umi menuruti perkataan saya. Setelah itu ia terdiam. Hati kecil saya menjerit. Saya tahu, itulah dialog saya yang terakhir kalinya dengan Umi.
Ke Kampung Halaman
Selanjutnya, mobil ambulans datang dan kami dibawa ke Rumah Sakit Mitra Plumbon. Di Ruang Gawat Darurat, kami dibaringkan bersama, hanya dibatasi kain. Dari semua anggota keluarga, hanya sopir dan Sholah yang kondisinya sehat. Saat itu Sholah melihat keadaan kami satu per satu dan sampai di ranjang Umi yang berada di sebelah saya, ia langsung menjerit, disusul ledakan tangisnya.
Ia menyaksikan Umi dalam keadaan sudah tertutup kain mulai dari ujung kaki sampai kepala. Ia langsung menghampiri saya sambil menangis, "Abi, gara-gara saya Umi meninggal!"
Saya berusaha menenangkan Sholah. "Berhentilah menangis. Umi tak bisa kembali lagi. Segera hubungi saudara dan kerabat." Itu sebabnya, pagi-pagi sekali, di stasiun TV kabar meninggalnya Umi sudah tersiar. Teman-teman dari Cirebon segera berdatangan dan menanyakan, di mana Umi akan dimakamkan.
Saya ingat betul pesan Umi. Suatu ketika, ia bertutur, "Kalau tidak lagi menjabat sebagai anggota DPR, saya mau pulang ke kampung halaman di Desa Belendung, Kecamatan Benda, Tangerang." Di sana, Umi mendirikan sekolah, tempat anak-anak desa menimba ilmu. Saya pun memutuskan, Umi dimakamkan di sana. Bukan di pemakaman umum, tapi di tanah milik keluarga.
Menjelang jenazah dibawa, saya berusaha memeluk jasad Umi. Saya lihat, dia seperti tersenyum. Saya minta maaf. Saya bisikkan di telinganya, "Terima kasih atas kebaikan Umi terhadap Abi. Selamat jalan, semoga kelak bisa bertemu lagi di surga."
Tak lama kemudian, pimpinan PKS menghubungi saya, minta agar jenazah disemayamkan dulu di rumah duka. Maksudnya dibawa ke rumah dinas di Kompleks DPR di Kalibata agar para sahabat bisa memberi penghormatan terakhir.