Sejak ia kecil, kulitnya tergolong sangat sensitif. Diolesi losion pelembab saja kulitnya merah seperti terbakar. Bila memakai kosmetik atau perawatan tubuh yang mengandung bahan kimia, kulitnya juga langsung bereaksi. Ini membuat Erika jadi ketergantungan pada dokter kulit.
Namun, suatu hari kondisi finansial Erika tidak memungkinkan berobat ke dokter kulit. Ia ditipu partnernya ketika berbisnis kuliner, sampai bangkrut. Erika yang kala itu tinggal di kos, terpaksa makan sehari sekali dengan uang Rp10.000, setiap pukul 15.00.
Seolah belum cukup nasib naasnya, dalam keadaan ia tak punya pekerjaan dan uang, ayahnya harus dirawat di rumah sakit karena stroke. Tak tahu harus bagaimana lagi, ia melamar jadi TKI ke Kanada. Namun, ketika surat balasan untuk jadi pengasuh di sana tiba, pikiran Erika goyah. “Saya pikir, kenapa harus jadi TKI ke luar negeri? Indonesia, kan, kaya akan bahan alami dan tingkat konsumsi masyarakatnya tinggi. Kenapa enggak bikin produk berbahan alami saja?” tukas Erika. Ia lantas membatalkan niatnya.
Maka, di kamar kosnya yang berukuran 3x4 meter, mulailah Erika bereksperimen dan belajar membuat sabun berbahan alami pada Februari 2012. “Ternyata berhasil. Kulit yang tadinya merah jadi membaik. Teman-teman yang bertanya, kemudian membeli dan usul agar saya menjualnya,” papar Erika. Setelah riset selama setahun, akhirnya Erika menjual sabunnya. Modalnya ia peroleh dari hasil mengajar secara privat.
Namun, kesibukan bekerja kantoran yang dilakoninya pada 2013 membuatnya merasa produknya kehilangan jati diri. Bahkan, ia sempat berniat menutup usahanya pada akhir 2013. Saat itu ia bertemu seorang pegawai sebuah peternakan kambing Ettawa yang sudah 15 tahun berpengalaman di bidangnya. “Saya lalu merekrutnya untuk memberikan pelatihan beternak kambing Ettawa di Keyra sejak 2014,” ujar Erika yang memulai bisnisnya dengan satu ekor kambing Ettawa. Sejak itu, ia mulai merilis kembali Keyra dengan produk yang lebih baik, dengan susu kambing Ettawa. Pelan-pelan usahanya meningkat.
Bahkan, sabun kulit delima yang ia buat sejak tahun lalu jadi best seller hingga sekarang. Penghasilannya ia sisihkan sebagian untuk membeli kambing. Tahun 2014, Erika mendapatkan penghargaan Shell Livewire. Kini, ia memiliki 7 ekor kambing dewasa dan 5 ekor anak kambing. "Saya memang ingin mengangkat hasil alam Indonesia dalam bentuk skin care dengan memberdayakan peternak dan petani."
Diakuinya, mengedukasi orang awam untuk menggunakan produk perawatan tubuh tanpa bahan kimia cukup sulit pada tahun pertama. Apalagi, bahan bakunya yang tanpa campuran bahan kimia apa pun membuat harga produknya tinggi. Namun, ia tak mau menyerah. Meski harus sendirian keluar masuk kampung dan hutan untuk mendapatkan bahan baku berkualitas bagus, kini ia bersyukur masyarakat mulai “melek” terhadap produk-produk natural. Dalam sebulan, ratusan buah sabun berhasil ia jual.
“Saya ingin memberikan produk yang benar-benar natural. Saya ingin Keyra jadi jembatan antara petani atau peternak dengan produk akhir,” ujar lulusan Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta yang tahun lalu mengundurkan diri dari pekerjaannya di bagian penelitian dan pengembangan di perusahaan makanan ini.
Untuk sabun seberat 80 gram, Erika menjualnya dengan harga Rp50.000. “Produk Keyra tanpa pengawet, pewarna, maupun pewangi kimia. Sebab, kami menggunakan essential oil yang kami suling sendiri,” ujar Erika.
Kini sabun yang ia buat terdiri dari tiga varian, yaitu sabun unscented yaitu sabun tanpa ekstrak tanaman dan essential oil, sabun susu kambing yang dipadu kulit delima, dan sabun susu kambing yang dipadukan lemon grass. Semuanya diproses tanpa pemanasan alias cold process. Sedangkan essential oil yang ia produksi antara lain patchouli (nilam), citronella, emon grass, peppermint, pala, kunyit, dan bunga kenanga. Untuk ukuran 10 ml, harga patchouli, kenanga, dan peppermint masing-masing Rp78.000, citronella Rp60.000, dan kunyit Rp110.000-120.000.
Hasuna Daylailatu