Nunuk Fauziyah, Tetap Berjuang di Tengah Ancaman

By nova.id, Minggu, 30 Agustus 2015 | 03:03 WIB
Nunuk Fauziyah (Foto: Gandhi Wasono M / NOVA) (nova.id)

Kapan Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) berdiri?

KPR resmi kami dirikan 14 Februari 2004, tapi ide pendirian itu sudah ada sejak tahun 2002. Pendirinya saya bersama beberapa teman pergerakan, seperti Emy Nur Hidayati, Bulqoisus, Ira Lidyaningsih, Sulamul Hadi serta Muhaerly.

Saat itu kami menganggap perlu mendirikan lembaga ini karena semua isu atau masalah perempuan tidak bisa terakomodir dengan baik dan mandek begitu saja. Misalnya, tidak ada perwakilan perempuan di tempat-tempat pengambil kebijakan, mulai dari pemerintahan desa, kecamatan sampai kabupaten dan dewan. Termasuk di organisasi pun saat itu belum ada direktur perempuan. Pada saat deklarasi pendirian, kami mengundang berbagai pihak termasuk perwakilan partai.

Apa respons saat itu?

Saat berdiri, mulai muncul stigma-stigma buruk terhadap KPR. Misalnya, KPR dianggap sebagai lembaga sesat, dituduh memiliki pemahaman yang mengajarkan perlawanan terhadap laki-laki, ada lagi yang menduga kelak KPR ini yang akan merampok uang Pemda. Sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa KPR tidak akan bertahan lama. Singkat cerita, semua tuduhan buruk itu diarahkan kepada kami.

Reaksi Anda?

Justru dari sana menunjukkan bahwa pihak-pihak tersebut ketakutan dengan keberadaan kami. Dan itu yang membuat kami makin tertantang, adrenalin kami justru makin meningkat. Tak lama setelah itu KPR diundang partai PAN, kemudian PDIP, yang ingin sharing sebab mereka juga mengusung isu perempuan dalam visi misi partainya.

Sekitar 3 bulan berikutnya, saya yang saat itu terpilih menjadi direktur KPR menjalin kerja sama dengan sesama teman di pergerakan di Jatim yang saat itu memunculkan isu mendorong 30 persen parlemen daerah sampai pusat haruslah diisi sosok perempuan. Setelah sepakat, KPR mulai melakukan sosialisasi di berbagai Kecamatan di Tuban yang berisi tentang ajakan kepada para perempuan agar memilih wakil perempuan saat Pemilu. Saat itu tentangan makin kuat.

Tentangan yang bagaimana?

Pernah suatu ketika saat saya melakukan sosialisasi di rumah salah satu anggota komunitas di sebuah desa, tiba-tiba didatangi petugas kecamatan. Petugas mengusir kami karena kami dianggap LSM sesat. “Kami tidak butuh organisasi perempuan, di sini sudah ada PKK, Fatayat NU, Muslimat NU, juga ada Aisyiah,” kata sang petugas sambil berteriak. Demikian pula ketika kami akan mengadakan kegiatan di Pemda sempat ditolak, sebab KPR dianggap lembaga bohong-bohongan. Sejak itu KPR ini kami legalkan dengan mendaftarkan di notaris, dan lain-lain.

Setelah resmi secara hukum, kami kemudian mengajukan permohonan untuk bisa bertemu dengan Bupati Tuban Heny, yang kebetulan seorang perempuan. Yang membuat saya senang saat itu, Ibu Heny langsung meminta kami presentasi tentang program KPR untuk pemberdayaan perempuan di Tuban. Tentu saja kesempatan itu tak saya sia-siakan. Usai presentasi, Bu Bupati kemudian memberi fasilitas KPR dengan menggandeng Bapemas Kabupaten untuk melakukan sosialiasi tentang gender serta UU Perlindungan Anak di kecamatan Singgahan. Ternyata, meski pemerintah memberi fasilitas, tentangan dari masyarakat belum selesai.

Kenapa lagi?