Setelah pemateri dengan topik lain selesai, oleh Bapemas saya diberi kesempatan bicara. Tapi belum sempat saya berdiri tiba-tiba seorang bapak menyela. Dengan suara berapi-api dia mengatakan, “Saya pikir materinya sudah cukup dan Nunuk Fauziyah tidak perlu berbicara lagi. Sebab saya tahu materi yang diberikan Nunuk ini mengarah kepada ajaran perempuan melawan laki-laki. Ini adalah ajaran sesat dan tanda-tanda mau kiamat,” teriaknya. Suasana hening, dan ketua Bapemas langsung menghubungi Polsek untuk minta pengamanan. Dalam waktu singkat polisi berdatangan karena dikhawatirkan akan terjadi sesuatu. He he he.
Anda sendiri bagaimana?
Saya berusaha tenang, dan setelah bapak tersebut berhenti, saya ganti menjelaskan. Sebenarnya bapak tersebut keberatan ketika saya mau menjelaskan tetapi para ibu yang lain mencoba mempersilakan saya berbicara. “Saya minta waktu 10 menit saja untuk menjelaskan. Nanti setelah 10 menit ternyata bapak ibu masih tidak berkenan dengan penjelasan saya, maka tanpa disuruh pun saya akan pergi meninggalkan tempat ini.” kata saya dengan tenang. Dan ibu-ibu yang ada di belakang menyerukan saya untuk terus menjelaskan.
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya kemudian membuat ilustrasi tentang kegiatan seorang suami dan istri ketika di rumah. Di waktu yang singkat itu saya uraikan kira-kira bahwa setelah dihitung, aktivitas seorang perempuan di rumah jauh lebih banyak daripada seorang bapak. Rupanya penjelasan singkat itu begitu mengena sehingga ketika waktu 10 menit sudah lewat, saya ditahan tidak boleh pulang dan diminta terus melanjutkan materi.
Dan apa yang terjadi kemudian? Bapak yang semula memprotes saya tadi bersedia mendengarkan materi saya lima jam penuh dari 3,5 tiga jam yang sudah ditentukan. Dan yang membuat surprise lagi, bapak tadi akhirnya menjadi ketua kelompok dan juru bicara di acara diskusi itu.
Di akhir acara, si bapak menanyakan kepada saya tentang latar belakang pendidikan saya. Dan dia nyaris tak percaya kalau saya tamatan IKIP di Tuban, karena dia mengira saya kuliah di Yogya atau UI. Sebelum pergi dan menjabat tangan saya, saya berikan sebuah buku.
Bagaimana tanggapan keluarga besar ketika Anda memilih menjadi aktivis?
Tentu saja menentang. Maunya selesai kuliah saya diminta jadi pegawai negeri, menikah dan merawat anak di rumah. Mereka kan tidak tahu apa itu LSM atau dunia pergerakan. Soal keluarga ini saya pernah punya cerita yang cukup dramatis.
Apa itu?
Suatu ketika saya berada di sebuah lokalisasi PSK di Tuban untuk melakukan pedampingan pada seorang PSK yang saat itu mendapat masalah. Entah mungkin lagi apes, ketika saya berjalan di kompleks tersebut ada seorang tetangga desa berjalan menggandeng dua orang PSK. Semula saya biasa saja. Tapi apa yang terjadi, ketika pulang ke desa, ia menyebarkan berita kalau saya jadi PSK. Gemparlah desa waktu itu. Berita tersebut tentu membuat malu keluarga. Maklum, keluarga besar kami adalah penganut agama yang taat. Malam itu juga saya ditelepon kakak dan dipaksa pulang saat itu juga.
Dengan terpaksa di hari yang masih gelap saya pulang, dan begitu masuk rumah semua saudara menangis. Saya diminta mengenakan jarit sebatas dada, dipukuli, kemudian dibacakan ayat-ayat suci sambil dimandiin air kembang. Semua keluarga besar saya mengira saya sudah sesat sehingga sampai menjadi PSK! Saya diam saja, soalnya percuma juga membela diri dalam suasana seperti itu.
Beruntung, keesokan harinya saya minta Mas Sulamul Hadi, yang kini jadi suami saya, supaya pura-pura mengaku sebagai dosen saya dan datang ke rumah untuk menjelaskan bahwa di lokalisasi PSK tersebut saya memang benar-benar dalam tugas pendampingan. Syukurlah, Mas Hadi berhasil meyakinkan keluarga.