Nunuk Fauziyah, Tetap Berjuang di Tengah Ancaman

By nova.id, Minggu, 30 Agustus 2015 | 03:03 WIB
Nunuk Fauziyah (Foto: Gandhi Wasono M / NOVA) (nova.id)

Sekarang, seluruh keluarga besar saya dan warga desa sangat respek dan bangga dengan pekerjaan saya.

Pernah mendapat tentangan atau teror juga?

Banyak juga. Dulu di tahun 2004 awal-awal jadi aktivis saat saya mendampingi korban pemerkosaan yang salah satu tersangkanya keluarga bupati, saya sempat ditabrak tiga motor dengan enam penumpang. Saat itu salah satu dari mereka memeluk saya sambil tangannya memegang belati terhunus mengarah ke dada saya. Saat itu saya diancam akan diperkosa dan dibunuh. Bahkan belakangan ini saya juga mendapat teror luar biasa.

Bagaimana ceritanya?

Kejadiannya sekitar dua bulan lalu ketika saya melakukan pendampingan pada seorang bocah miskin bernama Vicky di Kecamatan Widang. Anak ini dituduh mencuri motor. Saat di pasar membantu ibunya dia ditangkap. Oleh seorang oknum polisi, Vicky ditelanjangi, dipukuli, dadanya, diinjak, dan mulutnya dimasuki pistol. Padahal dia bukan pelakunya. Bagaimana dia mencuri motor sementara dia tidak bisa naik motor?

Semula polisi mengelak, tetapi dengan bukti-bukti yang sangat gamblang akhirnya pelaku tidak bisa berkelit lagi. Yang terjadi, saya diteror habis-habisan. Saya diminta tidak boleh mendampingi korban lagi. Berhari-hari di depan kantor, di ujung gang, kemanapun saya pergi selalu dibuntuti orang bermobil. Telepon gelap dan ancaman pembunuhan melalui telepon saya terima.

Puncaknya ponsel saya disadap. Ponsel saya tiba-tiba kirim SMS ke teman saya padahal saya tidak merasa berkirim SMS kepadanya, demikian juga sebaliknya. Tiba-tiba kamera ponsel saya memotret sendiri dan alat rekam tiba-tiba merekam seluruh percakapan saya. Semua itu baru berhenti setelah saya dibantu sesorang yang mengerti tentang hal itu. Jujur saya sempat stres juga.

Beruntung ada Mas Hadi yang selalu mendukung. Tetapi, kalau dalam hal-hal seperti ini, saya di-support abah mertua saya, KH. Abdul Matin, Pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Abah selalu mendukung penuh sepanjang langkah saya benar.

Dengan pressure yang begitu kuat, apa Anda tidak takut? Pernah berpikir untuk berhenti saja sebagai aktivis?

Dalam batas tertentu ada perasaan takut. Tapi, saya tak akan berhenti. Kalau memang saya harus mati karena membela sebuah kebenaran, saya rela karena saya akan mati terhormat. Kalau saya berhenti, lalu bagaimana nasib orang-orang yang tertindas seperti Vicky?

Saat ini Anda dibantu berapa teman?

Sahabat-sahabat saya aktivis dulu akhirnya masing-masing menikah dan mengasuh anak-anak di rumah. Saat ini saya punya enam teman yang membantu mengelola ditambah sekitar 60 relawan yang tersebar di berbagai desa dan kecamatan. Saya akui, saya sangat sangat bangga dengan teman-teman di KPR ini. Mereka adalah anak-anak yang tangguh. Saya tidak akan bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan mereka.

Jujur saja saat ini susah mencari kader yang mumpuni. Kemampuan para mahasiswa yang melamar jauh dari harapan. Karena itu salah satu caranya saya mengkader dari awal kemudian saya kuliahkan sampai lulus dengan biaya KPR.

Ngomong-ngomong, dari mana dana untuk menjalankan semua ini berasal?

Saya dapat dana dengan melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga nasional maupun internasional yang memiliki visi yang sama tentang pemberdayaan perempuan maupun pendampingan anak dan wanita yang bermasalah.

Bagaimana kisah cinta Anda dengan suami?

Kebetulan, Mas Hadi ini teman sejak awal, jadi kita sama-sama tahu. Hanya saja Mas Hadi asal Tuban dan kuliah di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, sementara saya asal Lamongan kuliah di Tuban. Tetapi, karena sama-sama aktivis, jadi bisa menyatu. Yang membuat saya gembira, setelah pacaran dan merasa cocok, saya mengadakan “kontrak politik” dengan Mas Hadi. Saya menanyakan kepada dia, apakah setelah menikah saya masih tetap diperbolehkan berkiprah menjadi aktivis. Dan alhamdulillah Mas Hadi ternyata justru meminta saya tidak boleh berhenti (Saat ini Hadi berprofesi sebagai pengacara dan saat ini menjadi ketua Panwaslu Kabupaten Tuban)

Sampai kapan Anda akan menekuni dunia pergerakan?

Jujur, sejatinya saya ingin melakukan sesuatu yang lain. Tapi ketika masih melihat ketidakadilan yang nyata-nyata di depan mata saya tidak tega meninggalkan dunia LSM ini.

Gandhi Wasono M.