Apa saja kegiatan Anda di Polindes?
Sehari-hari saya melayani warga desa. Saya juga buka klinik di rumah, 24 jam standby untuk melayani warga. Lokasi Polindes kebetulan dekat dengan pasar, jadi selalu ramai dikunjungi saat hari pasaran Wage dan Legi. Selain itu, ada beberapa kegiatan yang juga saya lakukan di Polindes, seperti Posyandu untuk lima dusun, Posyandu lansia dan juga kelas hamil.
Kenapa Anda memilih berprofesi sebagai bidan?
Saya punya banyak motivasi untuk menjadi seorang bidan. Yang pertama, pengalaman buruk yang pernah ibu saya alami. Saya anak ke 4 dari 8 bersaudara dari keluarga tani yang kurang mampu. Saat ibu hamil, ia hanya mampu meminta pertolongan dukun. Empat kali ibu mengalami keguguran, bahkan sempat mengalami perdarahan hebat dan hampir kehabisan darah sampai akhirnya dirujuk ke rumah sakit di Surabaya. Itu terjadi saat saya masih SMP. Saat itu, untuk melahirkan saja ibu harus susah payah mencari bapak ke tempat judi. Duh, mengingatnya saja saya ngenes dan prihatin. Jadi, saya pingin jadi bidan biar tidak semua wanita seperti ibu.
Menjadi bidan sepertinya juga sudah nasib dan garis tangan saya. Meski kondisi keuangan keluarga tidak mendukung, tetapi ternyata jalan saya jadi bidan dimudahkan. Setelah lulus SMA, saya bingung mau meneruskan sekolah atau tidak. Untungnya, saat itu sedang banyak program bantuan dari Bank Dunia dan promosi sekolah keperawatan. Saya pun memilih untuk mencoba tes di SPK Celaket, Malang. Dari 7 orang teman yang berangkat bersama naik bus, hanya saya yang lulus tes dan akhirnya bisa sekolah di SPK tahun 1989. Ini sekolah negeri jadi tidak banyak uang yang harus keluar. Saya hanya dapat uang saku ala kadarnya, yang penting bisa sekolah dan lulus.
Kemudian?
Selama tiga tahun sekolah, saya terus termotivasi untuk bisa jadi orang dan mengangkat derajat orangtua. Setelah lulus tahun 1991, saya dengar pengumuman bahwa pemerintah tengah menggalakkan program bidan masuk desa. Saya ingat betul, ketika kami dikumpulkan di aula, pemerintah menjanjikan akan memberikan beasiswa untuk meneruskan sekolah bidan dan setelah lulus langsung ditempatkan di desa pelosok sebagai pegawai negeri.
Saya langsung ikut tes untuk kembali melanjutkan Program Pendidikan Bidan (P2B). Alhamdulillah, dua tahun saya lulus dengan predikat lulusan terbaik. Lulus program P2B, saya sempat magang di rumah sakit umum Celaket selama 4 bulan dan mendapatkan orientasi selama 3 bulan. Setelah SK turun, saya langsung dapat penempatan.
Di mana penempatan pertama Anda?
Nah, ini juga ada cerita yang sepertinya tidak mungkin, tapi terjadi. Saya mendapat surat panggilan dari Departemen Kesehatan Provinsi agar berkumpul dan diundi di mana kami akan ditempatkan. Pokoknya daerah pelosok di Jawa Timur. Saya, kan, lahir dan besar di Nganjuk, jadi saya pengin bisa bekerja di luar Nganjuk seperti Madiun atau Ponorogo, tapi juga tak ingin jauh-jauh dari Nganjuk agar bisa membantu ibu dan adik-adik.
Wah, saya gelisah karena takut bakal ditempatkan jauh dari keluarga. Saya mendengar info bahwa kepala kantor departemen kesehatan itu orang Nganjuk. Saya pun menemui dan meminta saran. Saya ceritakan juga keadaan keluarga saya. Dan berkat pertolongan Allah, beliau, almarhum dr. Bagyo ini ternyata iba dan membantu saya memilihkan lokasi desa yang terhitung cukup dekat. Benar saja, akhirnya saya dapat desa Ploso. Ini daerah ujung Pacitan berdekatan dengan Ponorogo. Dan sejak tahun 1992 saya mulai mengabdikan diri di desa ini.
Apa saja tantangan bertugas di pelosok?