Siti Kholifah, Pembuka Kelas Hamil Di Pelosok

By nova.id, Sabtu, 17 Oktober 2015 | 04:27 WIB
Siti Kholifah (nova.id)

Apa saja kegiatan Anda di Polindes?

Sehari-hari saya melayani warga desa. Saya juga buka klinik di rumah, 24 jam standby untuk melayani warga. Lokasi Polindes kebetulan dekat dengan pasar, jadi selalu ramai dikunjungi saat hari pasaran Wage dan Legi. Selain itu, ada beberapa kegiatan yang juga saya lakukan di Polindes, seperti Posyandu untuk lima dusun, Posyandu lansia dan juga kelas hamil.

Kenapa Anda memilih berprofesi sebagai bidan?

Saya punya banyak motivasi untuk menjadi seorang bidan. Yang pertama, pengalaman buruk yang pernah ibu saya alami. Saya anak ke 4 dari 8 bersaudara dari keluarga tani yang kurang mampu. Saat ibu hamil, ia hanya mampu meminta pertolongan dukun. Empat kali ibu mengalami keguguran, bahkan sempat mengalami perdarahan hebat dan hampir kehabisan darah sampai akhirnya dirujuk ke rumah sakit di Surabaya. Itu terjadi saat saya masih SMP. Saat itu, untuk melahirkan saja ibu harus susah payah mencari bapak ke tempat judi. Duh, mengingatnya saja saya ngenes dan prihatin. Jadi, saya pingin jadi bidan biar tidak semua wanita seperti ibu.

Menjadi bidan sepertinya juga sudah nasib dan garis tangan saya. Meski kondisi keuangan keluarga tidak mendukung, tetapi ternyata jalan saya jadi bidan dimudahkan. Setelah lulus SMA, saya bingung mau meneruskan sekolah atau tidak. Untungnya, saat itu sedang banyak program bantuan dari Bank Dunia dan promosi sekolah keperawatan. Saya pun memilih untuk mencoba tes di SPK Celaket, Malang. Dari 7 orang teman yang berangkat bersama naik bus, hanya saya yang lulus tes dan akhirnya bisa sekolah di SPK tahun 1989. Ini sekolah negeri jadi tidak banyak uang yang harus keluar. Saya hanya dapat uang saku ala kadarnya, yang penting bisa sekolah dan lulus.

Kemudian?

Selama tiga tahun sekolah, saya terus termotivasi untuk bisa jadi orang dan mengangkat derajat orangtua. Setelah lulus tahun 1991, saya dengar pengumuman bahwa pemerintah tengah menggalakkan program bidan masuk desa. Saya ingat betul, ketika kami dikumpulkan di aula, pemerintah menjanjikan akan memberikan beasiswa untuk meneruskan sekolah bidan dan setelah lulus langsung ditempatkan di desa pelosok sebagai pegawai negeri.

Saya langsung ikut tes untuk kembali melanjutkan Program Pendidikan Bidan (P2B). Alhamdulillah, dua tahun saya lulus dengan predikat lulusan terbaik. Lulus program P2B, saya sempat magang di rumah sakit umum Celaket selama 4 bulan dan mendapatkan orientasi selama 3 bulan. Setelah SK turun, saya langsung dapat penempatan.

Di mana penempatan pertama Anda?

Nah, ini juga ada cerita yang sepertinya tidak mungkin, tapi terjadi. Saya mendapat surat panggilan dari Departemen Kesehatan Provinsi agar berkumpul dan diundi di mana kami akan ditempatkan. Pokoknya daerah pelosok di Jawa Timur. Saya, kan, lahir dan besar di Nganjuk, jadi saya pengin bisa bekerja di luar Nganjuk seperti Madiun atau Ponorogo, tapi juga tak ingin jauh-jauh dari Nganjuk agar bisa membantu ibu dan adik-adik.

Wah, saya gelisah karena takut bakal ditempatkan jauh dari keluarga. Saya mendengar info bahwa kepala kantor departemen kesehatan itu orang Nganjuk. Saya pun menemui dan meminta saran. Saya ceritakan juga keadaan keluarga saya. Dan berkat pertolongan Allah, beliau, almarhum dr. Bagyo ini ternyata iba dan membantu saya memilihkan lokasi desa yang terhitung cukup dekat. Benar saja, akhirnya saya dapat desa Ploso. Ini daerah ujung Pacitan berdekatan dengan Ponorogo. Dan sejak tahun 1992 saya mulai mengabdikan diri di desa ini.

Apa saja tantangan bertugas di pelosok?

Sejak awal, saya dan teman-teman memang sudah dibekali bakal ditempatkan di pelosok yang belum punya tenaga medis. Jadi, kami sudah tahu risiko yang akan kami hadapi. Terpencil, terisolir, akses jalan yang tidak mudah, warga yang belum kenal tenaga medis dan berhadapan langsung dengan para dukun sebagai alternatif pengobatan tradisional.

Desa Ploso ini memiliki 5 dusun yang daerahnya cukup menantang. Berbukit dan bahkan rata-rata rumah warganya ada di puncak gunung. Dulu sepeda saja jarang, apalagi sepeda motor. Kemana-mana, ya, jalan kaki. Jadi, 10 tahun pertama, setiap membantu warga yang melahirkan saya harus menginap. Itupun saya masih harus berhadapan dengan para dukun dan dukun bayi yang biasanya sudah datang duluan.

Pernah, saya ngumpul sama dukun ketika harus membantu melahirkan. Saat itu saya hanya menekankan, tidak boleh ada ibu atau bayi yang meninggal saat melahirkan. Tapi, ada satu pengalaman yang tidak bisa saya lupakan dan akhirnya mampu mengubah cara warga memandang saya sebagai tenaga kesehatan.

Apa itu?

Kebiasaan warga baru memanggil saya kalau sudah gawat. Misalnya, ibu yang mau melahirkan pingsan, sesak napas atau perdarahan hebat. Tahun 1993, saya dipanggil membantu salah satu warga yang akan melahirkan anak kembar, namun mengalami perdarahan hebat. Dukun yang berkumpul saat itu sudah banyak tetapi semua menyerah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Saya pun langsung memberikan pertolongan. Dan alhamdulillah berhasil, si ibu juga tidak perlu dirujuk ke rumah sakit terdekat. Ibu dan bayi selamat. Sejak saat itu banyak yang mulai ngomongin saya. Perlahan saya mulai melakukan pendekatan kepada warga supaya bisa dekat ke tenaga medis dan mengenal kesehatan.

Apa saja pendekatan yang Anda lakukan?

Kebetulan saya masih baru, jadi tidak langsung mendapat kepercayaan. Saya mulai dengan langkah sederhana, misalnya kalau awalnya warga batuk atau pilek hanya mengandalkan suwuk-suwuk, saya mulai kenalkan dengan obat. Ibu hamil diajak rutin memeriksakan diri. Pokoknya, saya terus berkeliling dan melakukan pendekatan secara personal kepada warga. Saya juga mengedukasi warga bahwa ibu melahirkan itu memiliki hak untuk hidup dan nilai sosial. Jadi enggak cuma dibiarkan terus melahirkan begitu saja. Ibu itu harus dicarikan tenaga kesehatan, diperlakukan dan ditangani dengan baik. Sampai sekarang pun bidan menjadi ujung tombak kematian ibu dan anak. Mau ada banyak resiko apa pun, tangan bidan itu yang akan membantu ibu dan anak.

Bagaimana dengan para dukun?

Soal dukun dan dukun bayi ini juga menarik. Saya tidak begitu saja menolak kehadiran mereka. Justru saya ajak para dukun dan dukun bayi untuk bekerja sama. Pelan-pelan, saya beri mereka pengertian bahwa saya juga dukun tetapi dukunnya negara yang harus memastikan keselamatan bayi dan anak. Bedanya, kalau terjadi apa-apa dengan ibu yang melahirkan saya akan menghadapi tuntutan penjara dan mempertanggung jawabkan kepada negara, sedangkan mereka tidak.

Saya juga sering membagikan informasi kepada dukun dan dukun bayi, misalnya kalau ibu habis melahirkan jangan langsung disuruh mandi, atau kalau perdarahan jangan disuruh berdiri. Pernah, agar bisa bekerja sama dengan para dukun dan dukun bayi, kami dikumpulkan dalam satu acara. Saya sampaikan bahwa bidan tidak bisa setiap hari datang untuk memandikan bayi, jadi kehadiran mereka tetap dibutuhkan, sementara bagian membantu proses melahirkan biarlah bidan yang menangani. Untungnya, waktu itu sekitar 25 dukun dan dukun bayi yang hadir sepakat dan mau bekerja sama.

Mulai kapan menggagas program kelas hamil?

Awal 2010, saya masih mencari cara untuk menekan kematian ibu dan bayi. Rata-rata, para calon ibu ini masih berumur 15 atau 16 tahun, hamil di luar nikah, dan sebagainya. Saya terpikir memberikan edukasi lewat kelas hamil. Inisiatif ini terlempar saat ada pertemuan dengan Pak Lurah serta tokoh masyarakat. Saya sampaikan keinginan saya agar semua ibu hamil datang setiap Selasa Pahing ke Polindes untuk memeriksakan kehamilan dan mendapat semua informasi tentang kehamilan. Saya juga bisa terus memantau perkembangan kesehatan mereka.

Saya pilih hari Selasa Pahing untuk menyesuaikan dengan jadwal pasar tutup dan mereka tidak berjualan, jadi bisa lebih fokus. Nah, saat mereka akhirnya datang, mereka tidak perlu membayar, malah saya sediakan camilan sehat dan saya berikan ilmu bagaimana menjaga kehamilan. Akhirnya, makin lama makin banyak yang rutin datang.

Perkembangannya sekarang seperti apa?

Setelah berjalan lima tahun, hampir semua ibu hamil sudah tahu kelas hamil. Para suami juga rutin mengantarkan untuk kontrol dan ikut menjaga kehamilan sang istri. Kegiatan lain juga banyak, mulai menonton video senam hamil, praktik, atau menonton informasi penting lainnya.

Ini juga karena bantuan sponsorship yang tidak sengaja saya dapatkan. Suatu ketika di tahun 2011, saya bertemu salah satusales perusahaan farmasi dan diberitahu tentang kompetisi program. Saya kemudian ikut dan mengirimkan proposal kegiatan kelas hamil yang sudah ada sejak awal tahun 2010. Saya sampaikan bahwa melalui kelas hamil saya ingin menekan angka kematian ibu dan bayi serta memberikan edukasi kepada warga. Alhamdulillah, saya menang dan dapat dana Rp10 juta. Saya belikan perlengkapan untuk kelas hamil seperti teve, video hingga konsumsi bagi peserta kelas hamil.

Anda juga mendapat banyak penghargaan, Apa saja?

Sejak memenangi kompetisi tersebut, memang banyak yang datang melihat program kelas hamil yang saya lakukan. Bahkan, sampai sekarang itu jadi percontohan bagi tempat lain. Dari program ini, saya mendapatkan penghargaan Srikandi Award tahun 2012. Dari sini, nama saya semakin dikenal oleh media dan beberapa kali diwawancarai media nasional. Saya juga mendapat penghargaan Bidan Teladan dari Dinas Kesehatan Pemkab Pacitan tahun 2014 dan Piagam Penghargaan dari Bupati Pacitan sebagai Juara 1 Bidan Teladan Kabupaten Pacitan 2014.

Bagaimana Anda membagi waktu dan perhatian dengan keluarga?

Saya beruntung memiliki suami yang sangat mendukung aktivitas saya. Sejak menikah tahun 1993, Suhardiyanto (48), suami saya, terus memberikan dukungan. Saya juga bersyukur dikaruniai tiga anak yang patuh-patuh, Chandra Ardiansyah (21), Rizal Nurdiansyah (17), dan Amelia Ardiana (8). Semuanya saya bebaskan mau jadi apa, asal bisa bermanfaat bagi orang banyak. Mereka tidak pernah menuntut saya untuk memberikan waktu lebih banyak karena tahu 24 jam saya milik warga untuk membantu melayani kesehatan.

Apa yang sekarang sedang Anda lakukan?

Saat ini saya tengah fokus melakukan pengkaderan kepada bidan-bidan baru. Saya menerima dengan tangan terbuka mereka yang ingin belajar. Klinik saya terbuka untuk praktik. Saya pengin warga semakin sadar tentang pentingnya menjaga kesehatan dan paham kesehatan reproduksi supaya tidak ada lagi ibu hamil di usia dini.

Swita Amallia