Sejak awal, saya dan teman-teman memang sudah dibekali bakal ditempatkan di pelosok yang belum punya tenaga medis. Jadi, kami sudah tahu risiko yang akan kami hadapi. Terpencil, terisolir, akses jalan yang tidak mudah, warga yang belum kenal tenaga medis dan berhadapan langsung dengan para dukun sebagai alternatif pengobatan tradisional.
Desa Ploso ini memiliki 5 dusun yang daerahnya cukup menantang. Berbukit dan bahkan rata-rata rumah warganya ada di puncak gunung. Dulu sepeda saja jarang, apalagi sepeda motor. Kemana-mana, ya, jalan kaki. Jadi, 10 tahun pertama, setiap membantu warga yang melahirkan saya harus menginap. Itupun saya masih harus berhadapan dengan para dukun dan dukun bayi yang biasanya sudah datang duluan.
Pernah, saya ngumpul sama dukun ketika harus membantu melahirkan. Saat itu saya hanya menekankan, tidak boleh ada ibu atau bayi yang meninggal saat melahirkan. Tapi, ada satu pengalaman yang tidak bisa saya lupakan dan akhirnya mampu mengubah cara warga memandang saya sebagai tenaga kesehatan.
Apa itu?
Kebiasaan warga baru memanggil saya kalau sudah gawat. Misalnya, ibu yang mau melahirkan pingsan, sesak napas atau perdarahan hebat. Tahun 1993, saya dipanggil membantu salah satu warga yang akan melahirkan anak kembar, namun mengalami perdarahan hebat. Dukun yang berkumpul saat itu sudah banyak tetapi semua menyerah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Saya pun langsung memberikan pertolongan. Dan alhamdulillah berhasil, si ibu juga tidak perlu dirujuk ke rumah sakit terdekat. Ibu dan bayi selamat. Sejak saat itu banyak yang mulai ngomongin saya. Perlahan saya mulai melakukan pendekatan kepada warga supaya bisa dekat ke tenaga medis dan mengenal kesehatan.
Apa saja pendekatan yang Anda lakukan?
Kebetulan saya masih baru, jadi tidak langsung mendapat kepercayaan. Saya mulai dengan langkah sederhana, misalnya kalau awalnya warga batuk atau pilek hanya mengandalkan suwuk-suwuk, saya mulai kenalkan dengan obat. Ibu hamil diajak rutin memeriksakan diri. Pokoknya, saya terus berkeliling dan melakukan pendekatan secara personal kepada warga. Saya juga mengedukasi warga bahwa ibu melahirkan itu memiliki hak untuk hidup dan nilai sosial. Jadi enggak cuma dibiarkan terus melahirkan begitu saja. Ibu itu harus dicarikan tenaga kesehatan, diperlakukan dan ditangani dengan baik. Sampai sekarang pun bidan menjadi ujung tombak kematian ibu dan anak. Mau ada banyak resiko apa pun, tangan bidan itu yang akan membantu ibu dan anak.
Bagaimana dengan para dukun?
Soal dukun dan dukun bayi ini juga menarik. Saya tidak begitu saja menolak kehadiran mereka. Justru saya ajak para dukun dan dukun bayi untuk bekerja sama. Pelan-pelan, saya beri mereka pengertian bahwa saya juga dukun tetapi dukunnya negara yang harus memastikan keselamatan bayi dan anak. Bedanya, kalau terjadi apa-apa dengan ibu yang melahirkan saya akan menghadapi tuntutan penjara dan mempertanggung jawabkan kepada negara, sedangkan mereka tidak.
Saya juga sering membagikan informasi kepada dukun dan dukun bayi, misalnya kalau ibu habis melahirkan jangan langsung disuruh mandi, atau kalau perdarahan jangan disuruh berdiri. Pernah, agar bisa bekerja sama dengan para dukun dan dukun bayi, kami dikumpulkan dalam satu acara. Saya sampaikan bahwa bidan tidak bisa setiap hari datang untuk memandikan bayi, jadi kehadiran mereka tetap dibutuhkan, sementara bagian membantu proses melahirkan biarlah bidan yang menangani. Untungnya, waktu itu sekitar 25 dukun dan dukun bayi yang hadir sepakat dan mau bekerja sama.
Mulai kapan menggagas program kelas hamil?
Awal 2010, saya masih mencari cara untuk menekan kematian ibu dan bayi. Rata-rata, para calon ibu ini masih berumur 15 atau 16 tahun, hamil di luar nikah, dan sebagainya. Saya terpikir memberikan edukasi lewat kelas hamil. Inisiatif ini terlempar saat ada pertemuan dengan Pak Lurah serta tokoh masyarakat. Saya sampaikan keinginan saya agar semua ibu hamil datang setiap Selasa Pahing ke Polindes untuk memeriksakan kehamilan dan mendapat semua informasi tentang kehamilan. Saya juga bisa terus memantau perkembangan kesehatan mereka.