Irma Suryati, Berdayakan Difabel Lewat Keset (1)

By nova.id, Minggu, 25 Oktober 2015 | 03:45 WIB
Irma Suryati (nova.id)

Saya kembali membuat kerajinan keset perca. Ternyata, banyak tetangga yang berminat. Setiap hari saya hanya mampu mengerjakan 5 hingga 10 keset, sementara permintaan terus bertambah dan meluas. Pelan-pelan saya mempekerjakan lima penjahit. Kebutuhan keset di pasar ternyata terus bertambah, saya pun menambah karyawan hingga 30 orang.

Melihat respons pasar yang bagus, saya mengajak Mas Agus berekspansi ke pusat-pusat perkulakan. Untuk membantu mobilitas, kami membuat motor modifikasi menjadi roda tiga. Nah, dengan motor modif itulah saya dan Mas Agus pun berkeliling ke beberapa kota di Jawa Tengah.

Setahun merintis, saya melahirkan anak pertama Ziqa Kusuma Agithia Pratama. Di tahun 1997, usaha kami maju pesat, order keset perca sudah masuk ke semua pasar lokal Jawa Tengah, swalayan dan pesanan luar Jawa. Saya pun semakin giat memberdayakan teman-teman difabel. Setidaknya ada 30 orang hingga 50 orang teman difabel yang mau bekerja dengan saya. Di tahun 1997 juga saya melahirkan anak kedua, Hafizh Al Mughni Basith. Ceritanya lucu, karena saat itu saya tengah memberikan pelatihan keset perca ini di kawasan lokalisasi Semarang. Usai memberikan pelatihan, saya kembali ke Pringapus dan mendatangi bidan. Eh, ternyata benar, tak lama kemudian saya melahirkan. Tapi siangnya pukul 2, saya kembali lagi ke pelatihan untuk menyelesaikan tugas. Semua peserta pelatihan terheran-heran melihat kemuculan saya. Ha ha ha.

Usaha kami semakin maju. Puncaknya tahun 2000, saya bisa meraih omzet Rp850 juta dengan 50 karyawan yang terdiri dari 30 penjahit, 3 manajer dan 15 sales. Aset yang saya miliki saat itu berupa rumah, dua kios di Pasar Karangjati dan empat unit mobil.

Musibah Tiba

Ketika kondisi kami sudah mapan, Allah memberikan cobaan berupa bencana kebakaran. Ya, kebakaran hebat melanda Pasar Karangjati di tahun 2001. Semua milik kami habis terbakar, bahkan uang sepeser pun tak ada. Pasalnya, Mas Agus baru saja berbelanja dan menaruh semuanya di kios. Kami down. Tapi kami meyakini bahwa ini adalah titipan dari Allah dan kami tak punya kuasa ketika Allah sudah berencana.

Suami yang baru beberapa waktu membuka usaha servis elektronik harus membayar ganti rugi barang-barang elektronik milik pelanggan yang bertumpuk dan jadi abu karena kebakaran. Investor banyak yang langsung menarik uangnya dan tak mau tahu kondisi kami. Kami berupaya bertahan, namun perlahan semua aset habis.

Untuk bertahan, saya dan suami mengambil peluang apa saja. Saat itu saya berpikir daripada membangun yang sudah hancur mending membuat usaha baru. Mulai dari jual beli

handphone, bed cover, sampai akhirnya saya mengamini keputusan suami pulang ke kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah.

Mengubah Nasib

Tahun 2002, kami boyongan ke Kebumen, tinggal bersama mertua. Aset yang saya miliki hanya satu mesin jahit, etalase dan kelengkapan menjahit. Saya ingat betul satu kejadian tak terlupakan. Ketika harus pulang dengan naik bus, saya dan suami kan tidak bisa menggendong putra kedua kami yang masih berumur 4 tahun. Susah payah kami menaikkannya, bahkan sempat terjatuh. Celananya kotor. Duh, ngenes sekali karena saya sudah enggak punya uang untuk membelikan celana pengganti.

Setiba di Kebumen, saya dan suami tidak bercerita kondisi kami yang tengah terpuruk. Mertua juga sepertinya tak ingin bertanya lebih jauh karena takut kami tersinggung. Selama dua minggu, saya dan Mas Agus berkeliling Kebumen mencari teman-teman difabel dan coba mencari tahu potensi yang bisa dikembangkan.