Tiba-tiba tercetus ide membuat program yang bisa memberdayakan teman-teman difabel. Program ini akan saya tawarkan kepada Bupati Kebumen saat itu, Ibu Rustriningsih. Tapi ketika saya datang langsung ditolak. Mungkin melihat kondisi saya yang difabel jadi dikira cari sumbangan ya. He he he.
Tak patah arang, saya terus berusaha menemui Ibu Bupati. Setelah 14 kali gagal, kesempatan bertemu akhirnya datang juga. Saya waktu itu cuma diberikan waktu 5 menit. Untungnya, beliau langsung tertarik dan memberikan dana Rp5 juta untuk melaksanakan program pemberdayaan teman-teman difabel di Kebumen lewat kerajinan perca.
Saya segera mengontak relasi lama untuk membeli limbah perca di Semarang. Tak ketinggalan kami ajak 300 teman-teman difabel untuk membuat kerajinan perca. Atas undangan Ibu Bupati, saya minta dari 26 kecamatan yang ada dii Kebumen masing-masing kecamatan dapat mengirimkan lima peserta difabel untuk mengikuti pelatihan kain perca.
Setelah produksi berjalan, saya mendapati transportasi sebagai kendala. Karyawan tidak bisa pulang pergi karena transportasinya susah dan mahal. Akhirnya saya membuat home industry. Saya buat sistem plasma, jadi kerajinan dikerjakan di rumah masing-masing.
Lagi-lagi, kami harus berjuang keras karena sama sekali belum ada omzet. Saya dan suami belum punya pasar di Kebumen. Saat itu hanya bisa titip jual ke pasar atau ke pedagang yang datang dan mau memasarkan dari rumah ke rumah. Untuk satu keset perca saat itu harganya dari Rp3.000 hingga Rp5.000.
Lirik Pasar Jakarta
Produk kain perca yang kami hasilkan semakin menumpuk, sementara hasil penjualan tak seberapa. Saya sempat panik. Saya kemudian mendatangi pasar-pasar di Jakarta menawarkan produk keset perca. Saya dan Mas Agus harus rela naik turun bus dan angkot. Itu sungguh perjuangan yang tak bisa saya lupakan. Hampir tiga-empat tahun ini saya lakukan, sampai akhirnya saya menemukan Pasar Tanah Abang sebagai pasar potensial untuk keset perca kami.
Untuk membuat keset perca semakin menarik, saya memberikan sentuhan inovasi. Bentuk-bentuk keset perca tak hanya oval, bulat ataupun kotak seperti umumnya tapi sudah berbentuk karakter. Mulai dari binatang sampai tokoh kartun. Keset perca karakter ini akhirnya laris manis di Jakarta.
Saya ingat, suatu ketika harus membawa 5 ribu keset perca ke Jakarta. Saat itu Jakarta tengah dilanda banjir. Setiba di lokasi, 5 ribu keset yang ada di 5 karung besar itu begitu saja diturunkan oleh kondektur, tanpa ba bi bu. Hasilnya, semua basah. Saya pun harus menurunkan harga dan mengeringkannya lebih dulu.
Saya juga sempat tidur di emperan toko di Pasar Tanah Abang. Ketika terbangun pagi hari dan bersiap-siap memasarkan keset perca, tanpa sengaja ada selembar koran yang tiba-tiba melayang dan menempel ke tubuh saya. Sekilas, saya lihat ada informasi tentang lomba wirausaha dari Kemenpora. Hadiahnya, uang pembinaan sebesar Rp100 juta. “Saya harus ikut,” begitu pikir saya waktu itu.
(BERSAMBUNG)
Swita Amallia Nomor depan: Kerja keras dan ketekunan Irma dan suaminya berbuah manis. Lewat proposal bisnisnya, ia memenangi kompetisi. Sejak saat itu, ia mulai fokus menjadi sosiopreneur. Kini, Irma juga laris menjadi motivator di beberapa perusahaan besar dan berkeliling ke pelosok negeri. Berbagai penghargaan bergengsi pun diraih atas komitmennya menjadi