Saya dilahirkan dalam keluarga yang sederhana dan terbiasa dengan hidup prihatin. Nama lahir saya Endang Siti Sukenny, namun karena saya sering sakit dan dianggap keberatan nama, maka atas usulan nenek saya nama saya pun diganti dengan Irma Suryati. Saat lahir sebenarnya saya normal dan sehat. Sayangnya, saya mengalami petaka saat orangtua membawa saya pergi transmigrasi ke Sumatera. Ya, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, mereka memutuskan pindah ke Sumatera. Berkat kerja keras keduanya, saya pun hidup cukup, bahkan kami punya pengasuh.
Sekitar usia 4 tahun saya mengalami cedera berat di bagian kaki. Gara-garanya, saat tengah asyik bermain, pengasuh meminta saya mandi. Saya tidak mau dan berlari menghindar, setengah memaksa pengasuh membawa saya ke kamar mandi. Pengasuh saya tampak marah karena saya tidak menurut. Seketika ia melayangkan gayung mandi ke tubuh saya, saya mundur dan menghindar. Apesnya, saya jatuh terduduk dan rasanya sepertinya tulang punggung saya memang lepas.
Aduh, rasanya sakit sekali. Saya menangis kencang, tetapi pengasuh meminta saya diam dan menyuruh tidak mengadu. Saya pun menurut. Usai jatuh itu saya mengalami demam hebat dan ujungnya ketika hendak main bersama teman-teman, saya tak bisa lagi menggerakkan kaki. Peristiwa itulah yang menjadikan saya cacat fisik permanen.
Kedua orangtua saya berusaha mengobati kemana-mana. Bahkan, semua harta habis. Akhirnya mereka memilih kembali ke Desa Ngetuk, Pringapus, Kabupaten Semarang. Saya pun kemudian tumbuh dengan segala keterbatasan fisik dan harus menerima kenyataan pahit akrab dengan kruk (alat bantu berjalan-Red.). Tetapi, itu tidak menyurutkan saya untuk berkarya.
Bidang Kreatif
Menjadi difabel justru melecut saya untuk bisa terus berprestasi dan menunjukkan bahwa cacat bukanlah halangan. Kebetulan, saya sering melihat ibu membuat taplak dari kain perca. Hasilnya pun cantik. Saya jadi tertarik dan mulai membuat kerajinan dari kain perca sejak duduk di bangku SMA. Saya juga berlatih beberapa keterampilan lain, seperti menjahit.
Lulus SMA 1 Bergas, saya sebenarnya ingin melanjutkan kuliah. Niat coba-coba ikut tes di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Meskipun saya lolos tes, tapi sampai tidak daftar ulang karena tidak punya biaya. Gagal mencapai cita-cita menjadi guru, saya pun banting stir mencari pekerjaan berbekal ijazah SMA. Kebetulan, di wilayah Ungaran, Semarang, banyak perusahaan. Saya optimis bisa memperoleh pekerjaan. Namun, lagi-lagi saya harus menelan kekecawaan. Karena kondisi fisik saya, tak satupun perusahaan yang tertarik mempekerjakan.
Saya pun kembali membuat kerajinan perca sebagai obat kecewa. Hasilnya, saya jual ke tetangga dan siapa saja yang berminat. Bahan kain perca saya peroleh dari sisa kain di pabrik garmen. Penantian saya untuk bekerja ternyata tak sia-sia. Berkat bantuan salah satu kerabat, saya sempat bekerja di PT Kedaung Medan, Semarang. Selama tujuh bulan bekerja, ternyata saya justru menemukan bahwa saya tidak cocok bekerja di perusahaan, karena tidak menemukan tantangan. Akhirnya saya keluar.
Banyak yang menyayangkan keputusan saya keluar karena perusahaan itu memang peduli dengan difabel. Bahkan, kesejahteraan bagi karyawan difabel sangat diperhatikan dengan santunan khusus. Saya memilih keluar dari pekerjaan karena mendengar ada lembaga Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) yang dulu dikenal sebagai Rehabilitasi Centrum (RC) khusus penyandang disabilitas daksa di Solo.
Tahun 1994, saya pun hijrah ke Solo, mengikuti program di RC dan memilih mendalami keterampilan fotografi. Lulus dari RC tahun 1995, saya mendapatkan jodoh, Agus Priyanto, kakak kelas di RC, dan kami pun menikah.
Merintis Bisnis
Saya dan Mas Agus sejak awal memilih hidup mandiri. Kami tinggal di LBK (Loka Bina Karya) Semarang. Bersama tiga orang lain, kami membuat Kelompok Usaha Bersama (KUBE), tapi gagal. Untungnya, saat itu Mas Agus diterima bekerja di perusahan garmen di Karangjati, Kabupaten Semarang. Kami pun pindah ke sana.
Saya kembali membuat kerajinan keset perca. Ternyata, banyak tetangga yang berminat. Setiap hari saya hanya mampu mengerjakan 5 hingga 10 keset, sementara permintaan terus bertambah dan meluas. Pelan-pelan saya mempekerjakan lima penjahit. Kebutuhan keset di pasar ternyata terus bertambah, saya pun menambah karyawan hingga 30 orang.
Melihat respons pasar yang bagus, saya mengajak Mas Agus berekspansi ke pusat-pusat perkulakan. Untuk membantu mobilitas, kami membuat motor modifikasi menjadi roda tiga. Nah, dengan motor modif itulah saya dan Mas Agus pun berkeliling ke beberapa kota di Jawa Tengah.
Setahun merintis, saya melahirkan anak pertama Ziqa Kusuma Agithia Pratama. Di tahun 1997, usaha kami maju pesat, order keset perca sudah masuk ke semua pasar lokal Jawa Tengah, swalayan dan pesanan luar Jawa. Saya pun semakin giat memberdayakan teman-teman difabel. Setidaknya ada 30 orang hingga 50 orang teman difabel yang mau bekerja dengan saya. Di tahun 1997 juga saya melahirkan anak kedua, Hafizh Al Mughni Basith. Ceritanya lucu, karena saat itu saya tengah memberikan pelatihan keset perca ini di kawasan lokalisasi Semarang. Usai memberikan pelatihan, saya kembali ke Pringapus dan mendatangi bidan. Eh, ternyata benar, tak lama kemudian saya melahirkan. Tapi siangnya pukul 2, saya kembali lagi ke pelatihan untuk menyelesaikan tugas. Semua peserta pelatihan terheran-heran melihat kemuculan saya. Ha ha ha.
Usaha kami semakin maju. Puncaknya tahun 2000, saya bisa meraih omzet Rp850 juta dengan 50 karyawan yang terdiri dari 30 penjahit, 3 manajer dan 15 sales. Aset yang saya miliki saat itu berupa rumah, dua kios di Pasar Karangjati dan empat unit mobil.
Musibah Tiba
Ketika kondisi kami sudah mapan, Allah memberikan cobaan berupa bencana kebakaran. Ya, kebakaran hebat melanda Pasar Karangjati di tahun 2001. Semua milik kami habis terbakar, bahkan uang sepeser pun tak ada. Pasalnya, Mas Agus baru saja berbelanja dan menaruh semuanya di kios. Kami down. Tapi kami meyakini bahwa ini adalah titipan dari Allah dan kami tak punya kuasa ketika Allah sudah berencana.
Suami yang baru beberapa waktu membuka usaha servis elektronik harus membayar ganti rugi barang-barang elektronik milik pelanggan yang bertumpuk dan jadi abu karena kebakaran. Investor banyak yang langsung menarik uangnya dan tak mau tahu kondisi kami. Kami berupaya bertahan, namun perlahan semua aset habis.
Untuk bertahan, saya dan suami mengambil peluang apa saja. Saat itu saya berpikir daripada membangun yang sudah hancur mending membuat usaha baru. Mulai dari jual beli
handphone, bed cover, sampai akhirnya saya mengamini keputusan suami pulang ke kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah.
Mengubah Nasib
Tahun 2002, kami boyongan ke Kebumen, tinggal bersama mertua. Aset yang saya miliki hanya satu mesin jahit, etalase dan kelengkapan menjahit. Saya ingat betul satu kejadian tak terlupakan. Ketika harus pulang dengan naik bus, saya dan suami kan tidak bisa menggendong putra kedua kami yang masih berumur 4 tahun. Susah payah kami menaikkannya, bahkan sempat terjatuh. Celananya kotor. Duh, ngenes sekali karena saya sudah enggak punya uang untuk membelikan celana pengganti.
Setiba di Kebumen, saya dan suami tidak bercerita kondisi kami yang tengah terpuruk. Mertua juga sepertinya tak ingin bertanya lebih jauh karena takut kami tersinggung. Selama dua minggu, saya dan Mas Agus berkeliling Kebumen mencari teman-teman difabel dan coba mencari tahu potensi yang bisa dikembangkan.
Tiba-tiba tercetus ide membuat program yang bisa memberdayakan teman-teman difabel. Program ini akan saya tawarkan kepada Bupati Kebumen saat itu, Ibu Rustriningsih. Tapi ketika saya datang langsung ditolak. Mungkin melihat kondisi saya yang difabel jadi dikira cari sumbangan ya. He he he.
Tak patah arang, saya terus berusaha menemui Ibu Bupati. Setelah 14 kali gagal, kesempatan bertemu akhirnya datang juga. Saya waktu itu cuma diberikan waktu 5 menit. Untungnya, beliau langsung tertarik dan memberikan dana Rp5 juta untuk melaksanakan program pemberdayaan teman-teman difabel di Kebumen lewat kerajinan perca.
Saya segera mengontak relasi lama untuk membeli limbah perca di Semarang. Tak ketinggalan kami ajak 300 teman-teman difabel untuk membuat kerajinan perca. Atas undangan Ibu Bupati, saya minta dari 26 kecamatan yang ada dii Kebumen masing-masing kecamatan dapat mengirimkan lima peserta difabel untuk mengikuti pelatihan kain perca.
Setelah produksi berjalan, saya mendapati transportasi sebagai kendala. Karyawan tidak bisa pulang pergi karena transportasinya susah dan mahal. Akhirnya saya membuat home industry. Saya buat sistem plasma, jadi kerajinan dikerjakan di rumah masing-masing.
Lagi-lagi, kami harus berjuang keras karena sama sekali belum ada omzet. Saya dan suami belum punya pasar di Kebumen. Saat itu hanya bisa titip jual ke pasar atau ke pedagang yang datang dan mau memasarkan dari rumah ke rumah. Untuk satu keset perca saat itu harganya dari Rp3.000 hingga Rp5.000.
Lirik Pasar Jakarta
Produk kain perca yang kami hasilkan semakin menumpuk, sementara hasil penjualan tak seberapa. Saya sempat panik. Saya kemudian mendatangi pasar-pasar di Jakarta menawarkan produk keset perca. Saya dan Mas Agus harus rela naik turun bus dan angkot. Itu sungguh perjuangan yang tak bisa saya lupakan. Hampir tiga-empat tahun ini saya lakukan, sampai akhirnya saya menemukan Pasar Tanah Abang sebagai pasar potensial untuk keset perca kami.
Untuk membuat keset perca semakin menarik, saya memberikan sentuhan inovasi. Bentuk-bentuk keset perca tak hanya oval, bulat ataupun kotak seperti umumnya tapi sudah berbentuk karakter. Mulai dari binatang sampai tokoh kartun. Keset perca karakter ini akhirnya laris manis di Jakarta.
Saya ingat, suatu ketika harus membawa 5 ribu keset perca ke Jakarta. Saat itu Jakarta tengah dilanda banjir. Setiba di lokasi, 5 ribu keset yang ada di 5 karung besar itu begitu saja diturunkan oleh kondektur, tanpa ba bi bu. Hasilnya, semua basah. Saya pun harus menurunkan harga dan mengeringkannya lebih dulu.
Saya juga sempat tidur di emperan toko di Pasar Tanah Abang. Ketika terbangun pagi hari dan bersiap-siap memasarkan keset perca, tanpa sengaja ada selembar koran yang tiba-tiba melayang dan menempel ke tubuh saya. Sekilas, saya lihat ada informasi tentang lomba wirausaha dari Kemenpora. Hadiahnya, uang pembinaan sebesar Rp100 juta. “Saya harus ikut,” begitu pikir saya waktu itu.
(BERSAMBUNG)
Swita Amallia Nomor depan: Kerja keras dan ketekunan Irma dan suaminya berbuah manis. Lewat proposal bisnisnya, ia memenangi kompetisi. Sejak saat itu, ia mulai fokus menjadi sosiopreneur. Kini, Irma juga laris menjadi motivator di beberapa perusahaan besar dan berkeliling ke pelosok negeri. Berbagai penghargaan bergengsi pun diraih atas komitmennya menjadi